DITERIMA di halaman dengan pintu utama rumah yang
tertutup, bagi adab Mongondow, hanya punya satu tafsir: Na’a in baloi-ku, bo mo’-iko komintan in tonga’ bi’ kon kintal. Seolah-olah
saya dan hadirin yang hanya diizinkan menginjak halaman rumah adalah para
maling dan pencoleng yang mesti diwaspadai mengutil barang berhargai atau
minimal merusak dan mengotori sakralitas rumah mentereng sang pengundang.
Di usia
yang sebentar lagi manginjak 50 tahun, saya belum pernah merasa terhina di
Mongondow, kecuali di hari sinonsoma’an
dan memenuhi sonsoma di rumah dan
halaman ‘’wah’’ Limi Mokodompit. Dan saya marah! Menyesali diri mengapa
bersedia memenuhi sonsoma yang sejak
awal semestinya saya tahu sangat politis dan sumir.
Adab Mongondow
yang saya tahu, sesap, dan turut praktekkan adalah: Bila mengundang orang
datang ke kediaman Anda, sekecil, sesempit, dan seburuk apapun rumah itu; buka
dan terima mereka di dalamnya. Setelah itu para tamu dipersilahkan mencari
tempat paling nyaman, di sepetak tanah atau di cabang satu-satunya pohon mangga
yang tegak di halaman karena hanya itu yang tersedia; tidak akan menyebabkan
ada rasa yang tergores, ada diri yang terhina.
Diundang
menghadiri pertemuan politik di bawah pohon kelapa atau di pondok tepi kolam
yang gelap, bernyamuk dan bertungau, bukan masalah. Politik adalah politik;
lengkap dengan sisi gelap dan konspiratifnya; termasuk bila perlu dengan
bersiasat dan mengendap-ngendap agar luput dari pengetahuan orang banyak.
Tidak
demikian dengan silaturahmi sosial, terlebih ada konteks menjalin hubungan
persahabatan atau kekeluargaan di Idul Fitri.
Barangkali
saya terlampau naïf menjadikan keseharian di kediaman sendiri di Malalayang
(Manado) atau kerelaan Syarif Mokodongan dan istrinya membuka seluas-luasnya
rumah mereka di Jalan Mantan sebagai referensi. Mungkin kami hanyalah sisa dari
peradaban djadoel dan bodoh yang tak
sungkan memamerkan ‘’keapa-adaan’’ sehari-hari pada yang dianggap dan
diperlakukan sebagai saudara, kerabat, dan karib akrab.
Yang
pertama disua siapa pun yang berkunjung ke rumah saya di Malalayang adalah
dapur dan ruang makan. Dua alasan melatari penempatannya: Pertama, selain kamar tidur suami-istri, menurut hemat saya dapur
sesungguhnya adalah ruang pribadi. Meletakkan dapur dan ruang makan di depan
adalah pernyataan ‘’tak ada tamu di rumah ini’’. Maka perlakukanlah rumah ini
seperti rumah sendiri. Dan kedua,
ultimatum pada seluruh penghuni agar dapur yang menjadi etalase utama rumah
mesti selalu bersih.
Barangkali
tidak adil membandingkan ‘’sepatu saya dan sepatunya Limi Mokodompit’’. Rumah
sederhana saya dan kediaman megah miliknya; tata cara mengapresiasi adab umum
dan lebih khusus lagi Mongondow dalam hubungan-hubungan sosial. Barangkali saya
yang terlampau peka dan mengada-ada,.
Yang
pasti saya sudah menghadiri silaturahmi politis Limi Mokodompit dan
meninggalkan kediamannya dengan marah dan sesal. Malam harinya, hingga
menjelang pukul 03.00 Wita, perasaan, pendapat, dan sikap saya terhadap adab
sosial dan politik Limi sudah ditumpahkan di hadapan sejumlah elit (termasuk
ketua Parpol dan beberapa tokoh politik Mongondow) yang bergabung berbual-bual
di ‘’rumah merdeka’’ kami di Jalan Mantan.
Tidak
akan saya tutup-tutupi, bahwa sebelum memenuhi sonsoma’an dari Limi, saya sempat terpengaruh approach sejumlah sahabat bahwa dia pantas didukung sebagai salah
satu calon Bupati Bolmong 2016-2021. Sekeluar dari halaman rumahnya, sikap saya
tegas: Prek! Bahkan bila 100% warga Bolmong aklamasi memilih dia menjadi
Bupati.***