HARI-HARI itu
seperti baru kemarin. Dengan segala kelebihan dan kekurangan, prestasi dan
kegagalan, mantan Bupati Marlina Moha-Siahaan (sahabat dan koleganya menyapa
dia dengan ‘’Butet’’, sedang kebanyakan orang belakang menggunakan ‘’Bunda’’)
yang berkuasa selama 10 tahun di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) layak
dijaga integritas dan kehormatannya.
Di masa kepemimpinnya, dibanding siapa pun di Mongondow,
saya nyaris menjadi ‘’musuh laten’’. Lepas tahun kedua periode pertama
kepemimpinan Bupati Marlina, saya mulai mengkritik dia dan jajarannya dengan
sangat keras lewat tulisan yang berserak di media (cetak) terbitan Manado dan blog. Padahal tulisan-tulisan itu, yang
kerap disambut pro-kontra (beberapa bahkan debat panjang penuh ancaman
–termasuk fisik—dari para pendukung Bupati) sama sekali tidak diniatkan
menjatuhkan seorang pemimpin yang memegang jabatan publik. Tidak pula untuk menciderai
dan menjatuhkan nama baik Bupati, jajaran, dan para pendukungnya.
Yang saya tuliskan adalah kontrol terhadap keawasan dan
kewarasan tak hanya bagi Bupati Marlina seorang, melainkan orang-orang yang dia
pimpin (termasuk partai politik di mana di menjadi Ketua Dewan Pengurus Daerah
–DPD), serta masyarakat Mongondow umumnya. Di atas semua itu, berulang-ulang
saya tegaskan, alangkah bahagianya kita bisa menyaksikan seorang pemimpin (yang
masa jabatannya dibatasi waktu), setelah tak lagi duduk di kursi puncak, terbebas
dari apa pun yang tidak seharusnya menjadi beban.
Usai memimpin Bolmong, termasuk memekarkan kabupaten ini
menjadi satu kota dan tiga kabupaten baru, Bupati Marlina harusnya menjadi
mantan yang integritasnya kita jaga sebagai kekayaan sosial Mongondow. Dan itu
terlepas dari apakah dia memilih tetap bergiat sebagai praktisi politik (dengan
memimpin Partai Golkar Bolmong atau mencalonkan diri untuk jabatan lebih lebih
tinggi) atau menekuni aktivitas ekonomi, sosial, budaya, bahkan keagamaan.
Alasannya sederhana –selalu sederhana. Kehormatan seorang
mantan pemimpin yang dijaga dan dirawat oleh seluruh warga masyarakat,
menunjukkan tingkat keberadaban masyarakat itu sendiri. Seorang pemimpin yang
menjadi bulan-bulanan kasus setelah dia melepaskan jabatan mengindikatorkan
banyak kekeliruan dan ketidak-bacusan orang banyak: Kita semua gagal
mengingatkan dia, gagal memaksa dia agar tetap amanah, dan gagal menyayangi
dengan tulus karena membiarkan (lebih buruk lagi mendorong) dia lancung dari
tanggungjawab.
***
Hari ini, Rabu (12 September 2012), saya membaca berita Kapolres: Butet Tersangka di situs
Harian Manado Post (http://www.manadopost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=115631)
dengan perasaan pilu. Saya merasa menjadi bagian dari orang-orang yang gagal
menjaga dan merawat kehormatan mantan pemimpinnya. Kurang dari dua tahun
setelah meletakkan jabatan, mantan Bupati Marlina resmi didudukkan sebagai
tersangka dugaan korupsi dana Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintah Desa (TPAPD) yang
terjadi di masa kepemimpinannya.
Kita
semua tahu kisah dugaan penyelewengan keuangan itu. Media (termasuk media
sosial) sudah mengupas lengkap tuntas –dengan berbagai versi. Orang-orang yang
kini didudukkan di kursi pesakitan sebagai terduga penyeleweng dana itu, yang
dulunya hanya sekadar dugaan, kian benderang pula wujudnya. Sekali pun sedih,
sesungguhnya orang-orang yang mengikuti isu ini dengan saksama tak heran bila
akhirnya tokoh sekelas mantan Bupati Marlina, mantan Sekretaris Daerah (Sekda)
Ferry Sugeha, dan Sekda (saat ini) Farid Asimin akan terjerat.
Mempertanyakan
apa dan siapa penyebab utama terjadinya penyelewenangan dana itu juga tidak
relevan lagi. Kalau pun mencoba menjadi bijak, saya pribadi hanya menyesali
kasus itu seharusnya tidak terjadi bila para bawahan yang kini beramai-ramai
diseret ke meja hijau melaksanakan tugas dengan profesional. Soalnya
remeh-temeh belaka: Ada perintah menyediakan dana dari seorang Bupati pada
birokrat bawahannya yang tentu saja mesti patuh. Birokrat profesional dan tahu
ada kemungkinan mereka bersama-sama akan terjerumus, tidak serta-merta
bersigegas melaksanakan perintah itu.
Semestinya
ada saran dan pertimbangan, yang apabila tak diterima, maka perintah itu harus
dituangkan (minimal) dalam bentuk tertulis. Memo, nota dinas, atau apa kek. Sepanjang syarat minimal
administrasi ini tak terpenuhi, saya yakin birokrat berotak waras yang tidak
gila jabatan, hanya bisa menjilat dan menyenang-nyenangkan atasan, pasti
menjawab tegas: Tidak bisa!
Nyatanya,
sebagaimana yang saya ikuti di media, milyaran rupiah dana TPAPD berpindah
begitu saja hanya dengan perintah lisan. Sungguh tak masuk akal. Dengan kata
lain, peringatan, kritik, dan cacian yang saya tulis berulang kali, bahwa
kebanyakan orang yang menunjukkan kepatuhan (semu) pada Bupati Marlina selama
masa kepemimpinannya, sebenarnya secara sadar dan sengaja memang mendorong dia
satu saat terjerembab ke dasar sumur.
Dasar
sumur yang dingin dan gelap itu sekarang ada di hadapan mantan Bupati Marlina.
***
Di
balik musibah selalu ada pelajaran yang dapat dipetik. Ditetapkannya mantan
Bupati Marlina dan sejumlah elit pemerintahan Bolmong sebagai tersangka menjadi
pelajaran penting, bahwa: Pertama,
wahai para pemimpin di Mongondow saat ini, selalulah mendengarkan suara yang
tidak menyenangkan hati. Kepatuhan buta dan puja-puji biasanya manis, tetapi
juga amat sangat beracun. Dua, para
bawahan, penyokong dan supporter, saya
kembali mengingatkan: berkata jujur di hadapan seorang penguasa kerap berakhir
pahit, tapi ahirnya kita akan tidur nyenyak sekali pun mungkin dengan melepas
aneka privilege. Dan ketiga, bagi kita rakyat banyak,
mengingatkan para pemimpin terhadap tanggungjawab mereka, setiap saat, akhirnya
adalah ikhtiar menjaga integritas dan kehormatan kita semua.
Di
luar tiga poin itu, bersama ditetapkannya mantan Bupati Marlina dan dua elit puncak
di birokrasi Bolmong sebagai tersangka dugaan penyelewengan dana TPAPD, kepada
jajaran aparat berwenang saya ingin bertanya: Bagaimana dengan dugaan
penyalahgunaan lain yang melibatkan petinggi politik dan birokrasi di
Mongondow, semisal kasus CPNS Kota Kotamobau (KK) 2009 yang hanya menjerat
hingga level Sekretaris Kota
(Sekkot)? Padahal di persidangan mereka yang kini sudah divonis hukuman di
tingkat Pengadilan Negeri (PN) secara terbuka menyebutkan keterlibatan
atasannya?
Apakah
pihak kepolisian akhirnya berani menyentuh mantan Bupati Marlina karena dia tak
lagi ‘’bergigi’’? Atau kini memang ada upaya lebih serius mengungkap aneka
borok dan aib di Mongondow?***