KERIUHAN
pengunduran diri Medy Lensun dari jabatan Wakil Bupati (Wabup) Bolaang
Mongondow Timur (Boltim) yang kemudian batal, mulanya adalah dinamika dan
diskursus sosial-politik menarik. Tapi saking banyaknya pengomentar, pendukung,
analis hingga ‘’tukang kompor’’ yang angkat bicara dan ngalor-ngidul kemana-mana, dengan cepat isu ini jadi menjengkelkan.
Dari cermatan saya kebanyakan orang yang omongannya dikutip
media –termasuk analisis dari yang ditahbis
sebagai pakar--, sekadar menambah ramai teater politik itu dengan
mengesampingkan aspek-aspek substansial dan fundamental dari pernyataan dan langkah-langkah
yang diambil Medy. Alih-alih mendudukkan dan menjernihkan tindakkan tiap
aktor-aktor utama yang terlibat, para
pemain tambahan jadi tak beda dengan penonton sabung ayam. Mendorong-dorong,
menyoraki, dan menyemangati ayam jagoannya masing-masing.
Sejumlah pernyataan yang dipublikasi Harian Manado Post, Kamis (6 September 2012),
misalnya, hanya melebar-lebarkan isu dan memperuncing hubungan Sehan Lanjar
(sebagai pribadi dan Bupati Boltim) dengan Medy Lensun. Apalagi para komentator
yang dikutip di berita AMTI Kecam
Pernyataan Lanjar itu, adalah mereka yang memposisikan diri sebagai
penyokong Medy.
***
Begini, sidang pembaca, bagaimana kalau kita urut fakta-fakta
dan ujung-pangkal drama pengunduran diri Medy sebelum menyimpulkan (mirip karya
ilmiah anak sekolah) apa yang semestinya dilakukan semua pihak ke depan.
Pertama, Sehan
Lanjar (yang akrab disapa Eyang)-Medy Lensun mencalonkan diri sebagai
Bupati-Wabup Boltim dengan sokongan lima partai; dan terpilih. Masyarakat
Boltim tahu mereka memilih pasangan ini bersama sejumlah komitmen dan janji seperti
yang mereka kampanyekan.
Di balik punggung masyarakat diam-diam ada perjanjian
politik yang ditanda-tangani keduanya, disaksikan ketua-ketua partai pengusung.
Perjanjian itu (sebagaimana yang sudah saya tuliskan), tidak ada hubungannya
dengan pemerintahan yang efisien, efektif, dan bersih; apatah lagi
kesejahteraan dan kemaslahatan warga Boltim. Tidak pula ada dasar mengapa
mereka membuat kesepakatan itu serta sanksi apabila ada yang melanggar.
Ringkasnya, kandungan substantif perjanjian itu justru
(meminjam pengakuan Eyang sendiri) sesat.
Kedua, setelah
terpilih, Eyang-Medy bersama-sama menjalankan pemerintahan, yang tampaknya
serius demi kemaslahatan orang banyak. Ada beberapa prestasi yang layak dicatat
dan dipuji; demikian pula dengan kekeliruan dan kegagalan, termasuk penilaian disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) terhadap pengelolaan keuangan Boltim dua tahun terakhir.
Dalam menjalankan tanggungjawab, wewenang dan fungsi Bupati-Wabup,
keduanya tentu memilih para pembantu (sekretaris daerah –Sekda-- serta Kepala
Satuan Kerja Perangkat Daerah --SKPD—dan jajaran di bawahnya) dengan pendekatan
kompetensi. Saya pribadi tidak pernah mendengar, misalnya, Sekda Boltim dipilih
karena dia kerabat Bupati dan Kepala Dinas A sebab posisi itu jatah Wabup.
Demikian pula dengan proyek-proyek yang dibiayai Anggaran
Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD), sepengetahuan saya dikerjakan oleh
kontraktor atau pemasok tertentu yang terpilih juga tidak berdasarkan jatah
pembagian untuk Bupati dan Wabup.
Ketiga, di tengah
pemahaman umum seperti itu, tiba-tiba Medy mengumumkan pengunduran diri dengan
alasan Eyang melanggar perjanjian yang mereka tanda-tangani saat mencalonkan
diri. Artinya: Medy tidak sedang mempermasalahkan wewenangnya sebagai Wabup
sesuai undang-undang (UU) dan turunannya, melainkan kekecewaan terhadap bagi-bagi
porsi yang ternyata dianggap tidak sesuai dengan perjanjiannya (sebagai
pribadi) dengan Eyang (sebagai pribadi pula).
Sebelum orang-orang yang kini berhadapan di posisi pro dan
kontra meradang, saya harus mengingatkan bahwa perjanjian antara Eyang dan Medy
harusnya boleh digugat sebagai pelanggaran hukum. Sebab berdasar perjanjian itu
keduanya terbukti mengikatkan diri dalam mufakat (dan bersama ketua lima partai
pengusung bersekongkol) menyalahgunakan wewenang dan tanggungjawab sebagai
Bupati-Wabup. Mencermati kandungannya, saya tak ragu menyatakan institusi dan
aparat berwenang semestinya dapat menggunakan perjanjian itu sebagai dasar
adanya rencana jahat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Keempat, dengan
dalih tidak disetujui pendukungnya (yang merampas dan menyobek-nyobek surat
pengunduran diri yang siap diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat –DPR—Boltim),
Medy membatalkan niatnya. Pada saat membatalkan pengunduran dirinya itu tidak
disinggung apakah dengan demikian Medy membatalkan dan mencabut pula semua tuduhan
dan serapah yang sudah dilontarkan terhadap Eyang. Tidak ada juga permintaan
maaf secara terbuka terhadap seluruh warga Boltim, mengingat dia bukan hanya
Wabup dari para pendukungnya, tetapi pemimpin dari orang se kabupaten.
Dan lima, atas
rencana pengunduran diri dan
pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Medy, utamanya terhadap Eyang
(yang saya cermati umumnya bersifat pribadi), mendapat respons yang gradually dari Bupati. Mulanya Eyang terkesan
mengalah dengan mengatakan tidak tahu alasan rencana pengunduran diri Wabup.
Namun bersamaan dengan meningginya intensitas isu, terlebih setelah Medy
melontarkan aneka tuduhan yang cukup memerahkan kuping, Eyang ‘’tampaknya’’ tak kuasa mengontrol kesabarannya.
Reaksi Eyang pun tak kurang pedas. Dari menyindir Medy di
Paripurna DR Boltim, Senin (3 September 2012), bahwa kalau dia yang
mengundurkan diri, cukup suratnya dititip ke pengendara becak motor (bentor)
atau ojek; menjelaskan bahwa perjanjian antara dia dan Medy adalah sesat; menjawab
pertanyaan media tentang batalnya pengunduran diri Wabup dengan ‘’Ha ha ha….’’ saja;
menilai sebagian pendemo yang mendukung Medy bukanlah warga Boltim; hingga
menolak kemungkinan rekonsiliasi di antara keduanya.
***
Dari fakta-fakta itu, apa langkah terbaik dari pihak-pihak
terkait dan konsern agar isu yang membuat demam dinamika sosial-politik di
Boltim mereda? Satu-satunya upaya yang paling masuk akal adalah Eyang dan Medy segera menghentikan saling lontar komentar atau pernyataan (termasuk di media
sosial). Mereka berdua juga perlu dengan tegas meminta (dan memerintahkan) orang-orang
yang mengaku sebagai pendukung untuk tak menambah keruh situasi dengan aneka ocehan
dan manuver.
Hanya dengan upaya itu diharapkan tensi tinggi antara para
elit di Boltim perlahan-lahan mendingin. Setelah itu (yang saya perkirakan
memerlukan waktu berbulan) barulah rekonsiliasi antara Eyang dan Medy mungkin
di wujudkan. Di tahap ini partai-partai pendukung, atas kesediaan dua tokoh
yang berseteru, mengupayakan pertemuan tertutup di mana proses yang terjadi di
dalam ruangan haram hukumnya dijadikan konsumsi publik.
Mendorong dua tokoh yang sudah terlanjur saling melukai
untuk segera duduk bersama, seperti yang disarankan sejumlah suara netral, tak
beda dengan menyediakan peluang dan kesempatan buat keduanya berhadap-hadapan
langsung, menghunus senjata berat, dan saling bantai. Dua gajah yang berseteru,
didukung gerombolan penyokong masing-masing, niscaya hanya memporak-porandakan
hutan dan menjatuhkan banyak korban ikutan.***