LAMA hanya
terdengar samar-samar, antara disidik atau di-Surat Perintah Penghentian
Perkara-kan (SP3), isu keabsahan ijazah Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong),
Salihi Mokodongan, mendadak mencuat lagi. Adalah Lembaga Pemantau Penyakit KKN
Pejabat Sulawesi Utara (Sulut), tulis situs Tribun
Manado (http://manado.tribunnews.com/2012/09/03/bupati-bolmong-dilaporkan-ke-polda-terkait-ijazah-palsu),
Senin (3 Agustus 2012), yang melaporkan dugaan ijazah ‘’abal-abal’’ itu ke
Kepolisian Daerah (Polda) Sulut.
Berita Bupati Bolmong
Dilaporkan ke Polda Terkait Ijazah Palsu saya baca dengan perasaan déjà vu. Bagai pengulangan –dengan setting waktu berbeda— dari kejadian
yang sama berkaitan dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Bolmong 2011
lalu. Ketika itu Ketua Forum Pemuda
Peduli Bolmong (FP2BM), Roni F Mokoginta, menjadi garda depan mempermasalahkan
keabsahan ijazah Salihi Mokodongan.
Isu ijazah itu terus bergulir tatkala gugatan para pesaing
Bupati-Wakil Bupati (Wabup) Bolmong terpilih, Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, berlangsung
di Mahkamah Konstitusi (MK). Perhatian warga Mongondow kian terbetot karena ada
bumbu penyedap: Dugaan itu juga dilaporkan oleh Widi Mokoginta ke Markas Besar
Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri).
Siapa pun yang mengikuti riwayat terpilihnya Bupati-Wabup
Bolmong 2011-2016, terutama saat sidang di MK, pasti masih mengingat tuduhan
ijazah palsu Salihi Mokodongan menjadi salah satu topik utama selama proses
persiangan berlangsung. Seingat saya MK tidak memutus soal ijazah, tetapi yang
pasti gugatan bakal calon dan calon Bupati-Wabup Bolmong pesaing Salihi
Mokodongan-Yani Tuuk ditolak.
Karena laporan ke Mabes Polri tak pernah dicabut, diam-diam
perkaranya bergulir. Terakhir yang saya tahu –itu pun dari pemberitaan media online dan cetak yang terbit di Sulut--,
laporan dilimpahkan ke Polda Sulut. Konon sedang disidik, tetapi ada info lain
(lebih sebagai rumor dan duga-duga), kasusnya sudah di SP3.
Saya sendiri penasaran. Kalau sedang disidik, lama betul
kerja Polda Sulut untuk urusan segampang itu. Walau pun saya juga tak heran
karena beberapa kasus yang melibatkan elit politik atau elit birokrasi di
Bolmong khususnya, bernasib mirip lumba-lumba di lautan: Tampak di depan mata,
timbul-tenggelam, tapi tak pernah ditangkat jaring. Sedang bila di SP3, apakah
benar surat penting ini sudah keluar? Terhitung sejak kapan dan dengan alasan
apa?
***
Kini di tengah ketidak-jelasan nasib laporan polisi oleh
Widi Mokoginta, Lembaga Pemantau Penyakit KKN Pejabat Sulut (saya sempat
terusik mengapa bukan penyakit jantung, penyakit paru, atau kencing manis yang
dipantau) beraksi dengan mengklaim memiliki bukti-bukti kuat. Sambil tak lupa
Direktur Eksekutifnya, Stenly Daniel Sendouw, mengaku mendapat mandat dari
masyarakat Bolmong. Masyarakat yang manakah itu?
Walau lebih banyak berada di luar Mongondow, saya masih
menjadi bagian dari masyarakat Bolmong. Sebagai warga Mongondow, saya berhak
tahu siapa masyarakat yang diatas-namakan itu. Atas nama di negeri ini sudah
sejak lama patut dicurigai, dipertanyakan, dan ditelisik dengan serius.
Karna mandat itu pula, tak lupa dia mengecam Widi Mokoginta
karena tidak menindak-lanjuti kasus itu. Kecaman ini pertegas dengan duga-duga
(khas aktivis pemula yang baru kenal teori konspirasi) ada kongkalingkong
antara Widi dan Bupati Salihi Mokodongan. Lalu demi menegaskan keseriusannya,
Stenly Daniel Sendouw dengan heroik mengumumkan akan mengawal kasus itu,
termasuk dengan menggelar demo besar-besaran di Mapolda Sulut.
Ah, membaca pernyataan ‘’calon pahlawan’’ penyakit KKN itu,
spontan mulut saya mencetuskan, ‘’Rupa
butul-butul jo….’’ Pertama, Widi
Mokoginta telah melaporkan dugaan adanya pelanggaran hukum dari ijazah yang
dikantongi Salihi Mokodongan. Dia, sepengetahuan saya (setidaknya yang ada di
ranah publik), tidak pernah mencabut laporan itu. Artinya, mau ke pengadilan
atau ke laut, didesak, dikawal, dipelototi atau tidak, sepenuhnya menjadi
wewenang pihak kepolisian. Mau ribuan orang berdemo, membangun tenda, benteng
atau kamp konsentrasi di Mapolda Sulut, bila polisi menyatakan kasusnya masih dalam
penyidikan, Anda bisa berbuat apa?
Kedua, institusi
apa Lembaga Pemantau Penyakit KKN Pejabat Sulut ini? Sejak kapan dia berdiri? Di
mana kantornya dan apa fokus kerjanya? Mengapa repot-repot mengurusi dugaan
ijazah ‘’abal-abal’’ Salihi Mokodongan sementara kasus-kasus yang tergolong
kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) kelas ‘’hiu’’ dan ‘’naga’’ berserak di
tingkat provinsi. Lebih penting mana, Salihi Mokodongan yang ada di Lolak sana
–hampir 200 km dari Manado—atau gonjang-ganjing di Universitas Sam Ratulangi
(Unsrat) misalnya?
Dan ketiga,
tampaknya Direktur Eksekutif lembaga itu bangun kesiangan. Yang dia klaim sebagai
bukti, termasuk bahwa selisih waktu antara didapatnya ijazah paket B dan C
hanya 20 bulan, sudah habis-habisan dikupas di MK. Saya tidak segan mengatakan,
sudah kesiangan, pekak pula. Tahukah Stenly Daniel Sendouw bahwa banyak pejabat
di Sulut yang menggunakan gelar master hanya dengan berkuliah (yang hebatnya
dilakukan di kelas jauh) selama satu tahun. Normalkah S2 hanya setahun? Kalau
itu dianggap wajar, maka 20 bulan Salihi Mokodongan bukanlah masalah.
***
Terlepas dari tingkah lebay
Lembaga Pemantau Penyakit KKN Pejabat Sulut, pihak kepolisian memang semestinya
segera menuntaskan dugaan yang ditudingkan terhadap Bupati Bolmong itu.
Masyarakat Mongondow, khususnya warga Bolmong (Induk), lebih dari pantas
mempertanyakan dan menagih hasil kerja polisi yang sudah lebih setahun lamanya
sejak Widi Mokoginta pertama kali melapor ke Mabes Polri.
Tanpa bermaksud membela Salihi Mokodongan (terlebih warga
Mogondow tahu bahwa belakang saya secara terbuka mengkritik dia habis-habisan),
polisi yang selama ini mengkampayekan stabilitas dan keamanan seharusnya tahu
bahwa dugaan ijazah palsu Salihi Mokodongan yang --saya kian curiga—dibuat terkatung-katung,
adalah bom waktu yang mencemaskan. Sewaktu-waktu isu ini mudah digulirkan bukan
hanya untuk menggoyang Salihi Mokodongan dari kursi Bupati Bolmong; provokasi
yang memecah belah masyarakat ke posisi pro dan kontra; melainkan juga sebagai
pancing dan umpan mengail di air keruh.
Apalagi ihwal mengail di air keruh bisa dibungkus dengan
aneka alasan: Atas nama aspirasi warga, demi memberantas KKN, atau sejenisnya.***