KURANG dari sejam
setelah mengunggah Boltim: ‘’Pemimpin
Rajin Ba Garta’, Rakyat Hobi Ba Dola’’, saya mendapat komplein: ‘’Apa
maksud tulisan itu? Ada sentimen apa dengan Wabup Boltim? Mengapa Anda kok seperti mendorong-dorong dia melepas
jabatan?’’
Sederet pertanyaan itu valid dan pantas dikemukakan dengan
penuh syak dan curiga. Apalagi sebagai isu, keriuhan rencana mundurnya Medy
Lensun sebagai Wakil Bupati Bolaang Mongondow Timur (Wabup Boltim) boleh dikata
tergolong peristiwa pertama di Sulawesi Utara (Sulut).
Warga Mongondow umumnya tahu persis bagaimana buruknya
hubungan antara Walikota Kota Kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit, dan Wakil
Walikota (Wawali), Tatong Bara. Bila perpecahan Bupati Sehan Lanjar dan Wabup
Medy Lensun mengemuka setelah hampir dua tahun dilantik, Walikota-Wawali KK
justru terjadi hanya dalam hitungan bulan.
Tapi kita belum pernah mendengar ada pernyataan bakal
melepaskan jabatan dari Tatong Bara. Salah satu faktor utama, menurut saya,
karena Tatong Bara (dan partai pengusung) tahu persis, ‘’saham’’ politik
Djalentik Mokodompit lebih kecil dibanding mereka. Faktor lain, Tatong Bara
lebih keras kepala dan berani head to
head dengan Walikota-nya.
Saya tidak bermaksud membandingkan Medy dan Tatong, apalagi
konteks hubungan keduanya dengan partner
mereka juga berbeda. Boleh dibilang secara politik Sehan Lanjar-Medy Lensun
setara. Diusung oleh partai gabungan (di mana kelimanya sama-sama memiliki
kursi tidak signifikan di Dewan Perwakilan Rakyat –DPR—Boltim); serta keduanya
menyumbangkan kontribusi yang juga relatif berimbang: Sehan Lanjar dengan
kepiawaian komunikasi dan persuasi ke konstituen dan Medy Lensun lewat dana
(demikian yang diketahui umum) dan sokongan warga dari wilayah Modayag dan
sekitarnya.
Hubungan yang relatif lebih setara itu memang mudah
menciptakan tarik-menarik, bahkan perpecahan.
***
Kali ini saya tidak akan membahas penyebab mengapa
Bupati-Wabup Boltim yang dulunya mesra kini bagai dua macan yang cakar-cakaran.
Saya akan fokus pada tiga pertanyaan yang dilontarkan: Apa maksud tulisan itu?
Ada sentimen apa dengan Wabup Boltim? Mengapa Anda kok seperti mendorong-dorong dia melepas jabatan?
Pertama, saya
menulis Boltim: ‘’Pemimpin Rajin Ba
Garta’, Rakyat Hobi Ba Dola’’ dengan perasaan patah hati. Secara pribadi
banyak harapan yang saya tumpukan ke pasangan Bupati-Wabup ini. Hingga saat ini
saya tetap berkeyakinan semestinya mereka berdua adalah pemimpin daerah yang
ideal: Paduan senior dan yunior dari sisi usia dan pengalaman politik; praktisi
otodidak dan pengusaha dengan pendidikan yang cukup tinggi; pemain lokal dan
internasional; serta yang tak kurang penting melintas-batasi suku, agama, ras
dan antar golongan (SARA).
Lewat tulisan itu (juga tulisan sebelumnya), saya
sesungguhnya mengingatkan Medy bahwa satu-satunya masalah di antara mereka
adalah ego masing-masing. Sayangnya (sekali lagi), tampaknya usia muda
membuatMedy kehilangan kontrol terhadap ego itu. Konsekwensinya, demi harga
diri dan integritas, dia harus menengakkan apa yang sudah dinyatakan.
Kedua, barangkali
tak banyak warga Mongondow yang menelisik dan mengingat, bahwa Medy Lensun
pernah bermukim di Jepang, negara dengan dinamika politik luar biasa sekaligus
contoh di mana para politikusnya menerapkan budaya harga diri dan integritas
tinggi. Terlampau banyak fakta bagaimana politikus Jepang (di posisi perdana
menteri, menteri atau pemimpin partai) yang mengundurkan diri hanya karena
masalah yang di negeri ini barangkali sepele.
Pejabat publik di Jepang, tanpa tekanan, mengundurkan diri
ketika terbukti punya hubungan dengan peristiwa suap-menyuap senilai (setara)
Rp 200 juta. Padahal skandal itu terjadi bertahun-tahun sebelum dia menduduki
jabatan. Atau seorang politikus terkemuka mundur hanya karena terbukti
memberikan privilege pada kelompok
bisnis tertentu.
Hebatnya, pengunduran diri politikus atau pejabat publik di
Jepang dilakukan tanpa pengumuman terlebih dahulu. Mundur, ya, mundur.
Tanggungjawab sudah ditunaikan. Selesai.
Saya yakin Medy Lensun punya pengetahuan yang lebih baik
dari saya berkaitan dengan etos, etika, dan moral politik yang dipraktekkan itu.
Karenanya, ketika dia mengumumkan pengunduran diri, saya tak kuasa menahan
kesedihan (sembari tidak cerewet mempertanyakan alasannya). Saya menafsirkan
tindakan itu sebagai cara berpolitik penuh harga diri yang dia pelajari sembari
berkarir sebagai profesional di Jepang.
Andai sebelum mengambil langkah kontroversial itu Medy
menginformasikan ke saya, advise saya
tegas: Hadapi Sehan Lanjar hingga masa bakti keduanya selesai. Sebab mundur di
negeri ini bukanlah simbol kebesaran, tetapi lebih kerap dimaknai sebagai
‘’menyerah’’.
Ketiga, saya akan
menjawab pertanyaan dengan pertanyaan: Apakah mendukung seseorang menegakkan
harga diri dan integritasnya adalah perbuatan keliru? Tidakkah kita semua akan
sangat terhormat bila Medy Lensun yang sudah menyampaikan kebulatan tekadnya
kita antar sebagai orang yang paripurna menunjukkan harga diri dan
integritasnya?
Itu sebabnya saya menolak tudingan menulis demi
mendorong-dorong agar Medy Lensun melepaskan jabatan Wabup Boltim. Terlalu
sayang tokoh semuda dengan prospek cerah seperti Medy kita sia-siakan.
***
Tidak adakah jalan tengah mendinginkan suhu tinggi politik
dan ego para pelaku utamanya di Boltim? Menurut pendapat saya, satu-satunya
solusi adalah kearifan dan kebesaran hati Bupati Sehan Lanjar. Bupati yang kita
sapa akrab dengan Eyang ini cukup memaklumatkan penolakannya terhadap
permintaan mundur Wabup, mengundang Medy dan lima Ketua partai pengusung
mereka, dan duduk menyelesaikan apapun yang menjadi silang-selisih.
Konsekwensinya: Apakah Medy Lensun bersedia merendahkan
hati, termasuk (mungkin) meminta maaf secara terbuka pada Eyang atas semua
pernyataan yang sudah dipublikasi media beberapa hari terakhir? Permintaan maaf
itu penting untuk menunjukkan kebijaksanaan dan kearifan Eyang disambut dengan goodwill dan good faith dari Medy.
Di titik ini, kembali ego, harga diri dan integritas menjadi
taruhan.***