INI kisah tentang
seorang kawan dekat yang sangat saya hormati. Mengingat dia cukup populer di
Sulawesi Utara (Sulut), namanya tidak akan saya tuliskan. Akan halnya cerita
yang dibeber di tulisan ini, saya yakin dia akan sama dengan Anda sekalian,
Pembaca: Menikmati dengan senyum dikulum.
Tersebutlah kawan ini dan istrinya, yang sebagaimana
pasangan lain, tak lepas dari cekcok dan silang-selisih. Bedanya, di kalangan
yang dekat dan tahu persis kelakuan keduanya, kebanyakan peristiwa cekcok mereka
berakhir sebagai bahan lelucon.
Satu ketika istri kawan ini meradang karena suaminya
terus-menerus pulang larut malam, bahkan tidak sekali-dua menjelang subuh.
Pecahlah pertengkaran di antara mereka. Masing-masing pihak melontarkan gertak
dan ancaman. Si istri melolongkan maklumat akan pulang ke rumah orangtuanya,
kawan saya mengultimatum mau bunuh diri dengan minum racun serangga.
Keriuhan rumah tangga di mana-mana mengundang longokkan
tetangga dan keluarga dekat. Satu per satu keluarga dari kedua pihak tiba dan
berusaha menenangkan keduanya. Suami-istri bertengkar itu biasanya, tapi kalau
jadi tontonan massal bukan hanya keduanya yang malu, tapi penonton pun akhirnya
jengah.
Melihat orang-orang berkumpul, entah dibisikkan oleh ilham
apa, kawan saya masuk ke dapur, diam-diam menyembunyikan kerupuk yang baru
digoreng sang istri, bergegas ke kamar, mengunci pintu rapat-rapat dan
berteriak: ‘’Kalu bagitu ngana pe mau,
biar kita mati jo!’’
Bersama teriakan itu dia mulai mengunyah kerupuk sembari
menghancurkan obat anti nyamuk bakar yang memang selalu tersedia di rumah mereka.
Obat anti nyamuk bakar itu kemudian dia lulurkan di sekitar mulutnya.
Mendengar teriakan mati
jo itu, paniklah para sanak kerabat. Pintu kamar di dobrak dan mereka
menemukan kawan saya yang menggeletak, akting seolah-olah racun obat anti
nyamuk bakar yang dikunyah sudah bekerja. Geger pun meletus. Beberapa lelaki
segera meringkus kawan ini, menahan tangan, kaki, dan mengekang mulutnya
erat-erat. Yang lain bersigegas memanjat kelapa, mengukur dan memeras
santannya. Konon salah satu obat pertolongan pertama keracunan makanan adalah
dengan menggelontorkan santan kelapa kental pada korban.
Kawan saya yang melihat lima liter santan kelapa siap
dicekokkan, kontan panik, meronta-ronta, dan mati-matian ingin mengatakan bahwa dia
mengunyah kerupuk, bukan obat anti nyamuk bakar yang remah-remahnya berceceran.
Tapi mulutnya sudah dikunci dan mulailah lima liter santan kelapa dipompakan
oleh para kerabat dan tetangga hingga kawan ini kembung dan muntah-muntah.
Lima hari dia harus menanggung akibat drama ancaman bunuh
dirinya. Badan remuk-redam, mulut kebas, dan diare akibat hantaman lima liter
santan kelapa.
***
Lain hari, kawan yang saya ceritakan ini bertengkar lagi
dengan istrinya. Penyebabnya pun bukan soal gawat yang berpotensi mengguncang
stabilitas rumah tangga. Kadang-kadang cuma karena kawan ini malas-malasan
mengurusi permintaan sepele istri, semisal menyiangi pohon pisang goroho yang tumbuh merimbun di sampaing
rumah mereka.
Buat kawan saya, pohon pisang memang harus rimbun dan
sedikit acak-acakan. Bagi istrinya, tidak mesti begitu karena banyak
pertimbangan kalau: kalau jadi sarang ular, sarang kaki seribu, sarang semut,
bahkan penyebab kebakaran karena suaminya sembarangan menjentikkan puntung
rokok dan mendarat di daun pisang kering.
Perkara sepele sekali lagi memicu pertengkaran hebat.
Tetangga yang kembali mendapat tontonan meriah, mulai keluar satu per satu
menunggu aksi apa lagi yang akan dilakukan salah satu di antara pasangan ini.
Sanak kerabat juga berdatangan dan mengingatkan agar mereka menggunakan akal
sehatnya. Tidak baik keseringan bertengkar, hebat pula, sebab anak-anak mulai
besar dan bisa membuat mereka malu melihat ayah-ibunya lebih mirip pesilat
mabuk daripada orangtua yang memberi contoh positif.
Mendapatkan angin karena penonton sudah terkumpul, istri
kawan ini mulai mengeluarkan jurus mematikan: ‘’Cere jo pa kita…. Cere jo pa kita….!’’
Ditohok ancaman seperti itu, kawan saya melompat dari kursi
yang diduduki, masuk kamar tidur, membanting pintu dan mengaduk-aduk isi lemari
tempat penyimpan berkas. Mencari surat nikah mereka. Ketika itu matanya
tersirobok pada sepotong map hijau bekas tempat dokumen pekerjaan kantor.
Dengan segera diraihnya map itu, menyobek-nyobek dengan bunyi keras sembari
berteriak, ‘’Ngana pe mau bagitu, noh kita
rabe-rabe ini surat nikah!’’
Perlu beberapa menit bagi kawan saya untuk membuat map hijau
bekas dokumen itu menjadi serpihan-serpihan kecil. Agar lebih dramatis, sambil
menyobek-nyobek, dia juga melayangkan tendangan ke ranjang, kursi, lemari
pakaian, dan meja rias istrinya.
Yang tak kawan saya duga aksi teaterikalnya itu ternyata
sejak awal sudah ditonton sang istri dari jendela yang terbuka. Bersama
melayangnya serpihan terakhir map hijau yang disobek-sobek sang suami, dari
balik jendela istrinya melontarkan
komentar di antara tawa tertahan: ‘’Yang
dia robe’-robe’ bukan surat nikah noh….’’
***
Saya teringat pada kawan dan istrinya itu (sampai hari ini keduanya
masih suami-istri yang harmonis dengan cara mereka sendiri) tatkala membaca Keputusan Medy Batal dalam Hitungan Menit
di situs Tribun Manado (http://manado.tribunnews.com/2012/09/04/keputusan-medy-batal-dalam-hitungan-menit),
Selasa (4 September 2012). Ada semacam kebetulan yang lucu dari kisah
suami-istri dan peristiwa yang terkait dengan Medy Lensun.
Map yang disobek-sobek kawan yang bertengkar dengan istrinya
berwarna hijau, demikian pula dengan map yang ‘’katanya’’ berisi surat
pengunduran diri Medy Lensun sebagai Wakil Bupati Bolaang Mongondow Timur
(Wabup Boltim) yang dilumat pendukungnya di halaman Kantor DPR Boltim, Senin
kemarin (3 September 2012).
Dan demikianlah tulisan ini berakhir. Pembaca boleh menafsir
makna yang terkandung secara bebas, sesuai keyakinan dan persepsi masing-masing.***