WAKIL Bupati
(Wabup) Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Medy Lensun, Senin (3 September
2012), tiba di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Boltim, memenuhi janji
mengundurkan diri dari jabatan sebagaimana digembar-gembor sejak pekan lalu.
Massa yang disebut-sebut sebagai pendukungnya bersiaga, menyambut bahkan dengan
deraian air mata seperti yang ditulis Tribun
Manado (http://manado.tribunnews.com/2012/09/03/seorang-pengunjuk-rasa-menangis).
Sebagai penggemar teater dan film, saya membayangkan prosesi
pengunduran diri Medy dari jabatan Wabup Boltim bakal jadi sesuatu yang
dramatis dan ikonik. Pengunduran dirinya akan dibicarakan hingga tahun-tahun
mendatang sebagai contoh politikus idealis. Yang dihadang apapun tak goyah dari
pendirian dan prinsip yang dimaklumatkan, sebab ‘’jabatan bukanlah tujuan’’ dan
Bupati Sehan Lanjar lancung serta tak dapat lagi dipercaya sebagai partner.
Skenario di otak saya menggambarkan Medy turun dari mobil
pribadi (dia tidak lagi menggunakan kendaraan dinas karena akan menggundurkan
diri), tegak di tengah massa di bawah panggangan terik matahari, menenangkan
beberapa orang yang mungkin kalap dan histeris, lalu memberi pernyataan.
Dengan ekspresi teduh, suara lembut yang terdengar hingga
melewati batas halaman Kantor DPR Boltim, Medy menjelaskan mengapa dia mundur.
Pilihan mundur dia ambil karena menghormati dukungan orang banyak yang percaya
bahwa (sebagai pasangan Bupati-Wabup) dia dan Sehan Lanjar mampu
mempertanggungjawabkan amanat yang dibebankan. Tersebab Bupati bengkok dan
sebagai Wabup dia tak kuasa lagi meluruskan, jalan terbaik adalah berpisah.
Melihat dan mendengar pemimpinnya tampil sebagai pemimpin,
saya yakin massa segera terbakar. Ada teriakan dan aneka ekspresi yang mendesak
Medy tak mengundurkan diri. Sesuatu yang galib dipraktekkan dalam ‘’pentas
teater politik’’ di Indonesia. Ada tokoh yang menggertak melepaskan atau mundur
dari jabatan, lalu ada sekelompok massa yang sebenarnya lingkaran orang-orang
serta sedulur dekat yang menggelar aksi heboh menolak, dan akhirnya demi orang
banyak niat yang telah selurus tegakan Monas harus dibatalkan. Biasanya alasan
yang mengemuka adalah demi stabilitas dan hajat hidup publik.
Telah terpatri di benak saya bahwa Medy Lensun bukanlah
politikus biasa. Dia adalah anak muda yang rela melepaskan jabatan karena ingin
meluruskan sesuatu yang lancung, yang semestinya dapat dilakukan bila Bupati
sebagai partner tidak mengebiri kewenangannya.
Adegan berikut setelah pikuk permohonan massa agar Medy
membatalkan niat adalah: Dia akan meneteskan airmata, terseret dalam haru-biru dukungan
orang banyak. Tapi kemudian Medy menyampaikan penegasan bahwa dia tetap pada pendirian
yang sudah diucapkan, sebab kata-katalah yang paling utama yang harus digenggam
dari seorang pemimpin. Apalagi salah satu alasan utamanya mengundurkan diri justru
karena tak bisa lagi memegang kata-kata Bupati Sehan Lanjar.
Massa kian histeris, lalu setelah menit-menit yang menjurus
ke anarki, mereka perlahan-lahan menyurut. Orang-orang tunduk pedih karena
mereka tak sedang menyaksikan seorang Wabup yang mundur dari jabatan, melainkan
pemimpin dengan kualitas kepemimpinan yang layak dipanuti, dengan atau tanpa
jabatan politik dan birokrasi formal.
***
Pembaca, imaji heroik saya terputus telepon dari seorang
teman jurnalis yang sedang berada di Tutuyan, yang mengabarkan bahwa Medy
Lansun batal mengundurkan diri. Massa yang hadir di halaman Kantor DPR Boltim
menolak niatnya, merampas dan menyobek-nyobek surat pengunduran diri yang
disiapkan. Ringkasnya: Hingga usai jam kerja resmi instansi dan lembaga
pemerintah hari ini, Medy Lensun masih tetap Wabup Boltim.
Terus-terang saya kecewa dengan batalnya Medy mengundurkan
diri. Sebagai pemimpin yang sudah membulatkan tekad, dia harus berani
menegaskan pada massa yang mendukung bahwa pengunduran diri itu telah menjadi senilai
harga dirinya. Toh Medy-lah yang
mengumumkan ke seantero jagad rencananya; yang saya yakin dilakukan tidak di
bawah todongan pistol, parang, atau kepungan bandit-bandit jahat.
Kalau alasannya karena massa menolak, bagaimana kalau besok
jumlah yang lebih banyak berdemo untuk mendukung pengunduran diri itu? Demikian
pula dengan surat yang dirampas dan disobek, cuma perkara teknis yang dapat
disusulkan besok. Dia cukup menemui Ketua dan para anggota DPR Boltim,
menyampaikan secara verbal (namun resmi), lalu masalah administrasi menyusul.
Yang jelas harga dirinya telah ditegakkan.
Kekecewaan saya yang lain karena (seperti ditulis situs Tribun Manado) di pertemuan dengan Ketua
DPR Boltim, Sumardia Modeon, dia justru sibuk menyoal poin-poin kesepakatan
politiknya dengan Sehan Lanjar saat mereka mencalonkan diri sebagai pasangan
Bupati-Wabup, yang dia anggap telah dilanggar. Saya menghormati dan menyayangi
Medy, tetapi di titik ini saya terpaksa menyatakan: Dia sedang membuka kotak
pendora aib politiknya sendiri.
Saya tahu persis ada perjanjian di atas meterai antara Sehan
Lanjar dan Medy Lensun dengan saksi lima Ketua Dewan Pengurus Cabang (DPC)
partai yang mendukung pencalonan mereka. Masalahnya, bila Medy lebih berkepala
dingin dan cermat, perjanjian yang dia buat dengan Sehan Lanjar bukanlah
dokumen legal yang memiliki kekuatan hukum. Isinya bahkan sama sekali tidak
menyinggung tuntutan atau sanksi bila salah satu pihak melakukan pelanggaran.
Di sisi lain, bila perjanjian itu dijadikan dasar tuduhan
Sehan Lanjar tukang telikung janji dan dibuka ke publik, saya yakin masyarakat
Boltim justru akan meradang. Pembaca, perjanjian itu tidak ada hubungannya
dengan memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Tidak pula ada relevansinya dengan
melaksanakan pemerintahan yang mengabdi
pada kepentingan orang banyak
Perjanjian keduanya, menurut saya, adalah ‘’dagang’’ politik
dan kekuasaan biasa antara dua orang politikus. Tidak lebih dan tidak kurang.
Tidak punya kekuatan apa-apa selain senjata bagi rakyat banyak yang justru
suara dan dukungannya ternyata sekadar komoditas politik belaka.
***
Dari Tutuyan, Boltim, hari ini saya gagal turut bangga
karena masih ada politikus yang –minimal—ucapannya bisa dipegang dan dipercaya.
Kalau pun ada pelajaran yang pantas dipetik dari pertunjukan dengan aktor utama
Wabup Boltim itu, hanya sesuatu yang tua dan klasik: Seorang politikus harus
bisa mengontrol emosi dan mulut. Bila tidak, dia bakal jadi olok-olok dan
cemooh.
Benar, dengan batalnya Medy mengundurkan diri, kita harus
mahfum bahwa memang salah satu keistimewaan Boltim adalah para pemimpinnya ternyata
cuma rajin ba garta’, sementara
rakyatnya terbukti sangat hobi ba dola’.
***