POLDA
Sulut ‘’konon’’ telah menetapkan Bupati Bolmong,
Yasti Soepredjo Mokoagow, sebagai tersangka pengerusakan bangunan milik PT
Conch North Sulawesi Cement di Desa Solog, Lolak. Kabar yang masih ‘’konon’’
ini—sebab hingga tulisan ini diunggah, saya mendapat informasi valid, baik
Yasti, kuasa hukum, maupun Pemkab Bolmong belum menerima dokumennya—memicu
reaksi warga Mongondow, termasuk demo ribuan orang yang memacetkan trans
Sulawesi, Senin, 31 Juli 2017.
Isu yang melibatkan Bupati/Pemkab
Bolmong-PT Conch Nort Sulawesi Cement-PT Sulenco Bohusami Cement (yang
‘’katanya’’ mengandeng Conch menanamkan investasinya di Bolmong), kini memang
menjadi perhatian publik hingga skala nasional. Kecuali Polda Sulut yang sudah
menetapkan 27 anggota Satpol PP Pemkab Bolmong sebagai tersangka peristiwa
penertiban di areal pembangunan pabrik semen PT Conch, Senin, 5 Juni 2017,
orang banyak (termasuk anggota DPR RI dan para pakar) umumnya berpihak pada
Bupati Yasti.
Merunut kronologi aksi Bupati Bolmong dan
jajarannya, yang antara lain telah dibeber lengkap dan dapat diunduh dari situs
www.rilis.id, Kupas Tuntas ‘’Kisruh’’ Pemkab Bolmong dengan PT Conch (http://www.rilis.id/kupas-tuntas-kisruh-pemkab-bolmong-dengan-pt-conch.html),
landasan tindakan penertiban—oleh Polda Sulut dinyatakan sebagai
pengerusakan—itu sangat kuat dan absah. Bagaimana Pemda Bolmong, khususnya
Bupati sebagai otoritas pemerintahan tertinggi, membiarkan sekelompok orang
dari korporasi asing yang bertingkah seenak jidat dan udel-nya sendiri dengan menerabas hukum, perundangan-undangan, dan
turunannya?
Tak perlu diperdebatkan bahwa pembangunan
pabrik semen oleh PT Conch di Desa Solog nyatanya tak dilengkapi legalitas yang
mutlak dimiliki setiap entitas bisnis dalam menjalankan usahanya di Indonesia.
Izin prinsip PMA yang mereka kantongi bukanlah tiket emas yang meniadakan izin-izin
lain sebelum PT Conch berhak mulai mendirikan pabriknya. Demikian pula, PT
Sulenco yang mengaku memiliki hak WIUP dan IUP (Eksplorasi dan Operasi
Produksi) cebakan kapur (yang menjadi bahan baku utama semen) di Solog,
ternyata putar bale belaka.
Dengan informasi yang sudah dibeber dan
terbeber, termasuk yang terakhir keramaian dugaan suap-menyuap ke kalangan
birokrasi dan DPRD Bolmong (sebelum era Bupati Yasti), hingga PT Conch—dan PT
Sulenco—bebas melenggang, yang dipicu (antaranya) pemberitaan totabuan.co, Senin, 31 Juli 2017, Data Delapan LSM,
Diduga Mantan Bupati Bolmong Terima Suap dari PT Sulenco
(http://totabuan.co/2017/07/data-delapan-lsm-diduga-mantan-bupati-bolmong-terima-suap-dari-pt-sulenco/),
semestinya menyadarkan publik bahwa ada yang sejak mula sudah bengkok dalam isu
pabrik semen di Solog itu. Apalagi bila ditelisik lebih jauh, masuknya Anhui
Conch Cement Company Ltd ke Indonesia seluruhnya diwarnai kisruh dan
gunjang-ganjing.
Di Kabupaten Serang, Provinsi Banten, ulah
PT Conch mirip dengan apa yang mereka lakukan di Desa Solog, Kabupaten Bolmong.
Mulai dari izin yang tak karuan hingga tenaga kerja asing yang tak jelas
statusnya (tenaga kerja yang menyaru jadi turis, profesional dengan dokumen
legal lengkap, atau apa?). Publikasi bantenraya.com,
Jumat, 23 Oktober 2015, Komisi IV Minta
PT Conch Ditutup (http://bantenraya.com/banten-raya/serang/15270-komisi-iv-minta-pt-conch-ditutup-),
bisa menjadi salah satu refensi bagaimana brengseknya praktek bisnis perusahaan
ini.
Kasus yang sama terjadi di Kabupaten
Tabalong, Kalsel. Di daerah ini, pabrik yang dioperasikan perusahaan asal
Provinsi Anhui, Cina, ini dikesankan lebih tertutup dibanding markas tentara
atau fasilitas militer rahasia. Bahkan tentara pun tak mudah mengakses pabrik
semen perusahaan ini, sebagaimana yang ditulis jawapos.com, Kamis, 15 Desember 2016, PT Conch South
Kalimantan Sangat Tertutup, Tentara Saja Sulit Masuk
Tidak jauh dari Bolmong, tepatnya di Desa Seppe’e, Kecamatan Barru (sekitar
110 km utara kota Makassar), Sulsel, PT Conch juga berulah dengan membangun
pabrik semen tanpa dilengkapi izin. Mereka juga tak peduli dan tetap melanjutkan
aktivitasnya kendati dipersoalkan banyak pihak, termasuk DPR RI dan bahkan MUI
Sulsel. Bebal dan kebalnya PT Conch di Sulsel itu antara lain dipaparkan dengan
cukup lengkap oleh tribunnews.com, Rabu, 5 April 2017, Perusahaan Semen
China di Barru PT Conch Akui Tak Punya Izin, 'Beraninya Mereka Buka Pabrik
Semen' (http://makassar.tribunnews.com/2017/04/05/perusahaan-semen-china-di-barru-pt-conch-akui-tak-punya-izin-beraninya-mereka-buka-pabrik-semen).
Rekam jejak Conch yang buruk di Indonesia kian
lengkap karena di Distrik Momiwaren, Kabupaten Manokwari Selatan, Provinsi Papua Barat,
perusahaan ini bahkan terlibat konflik tanah dengan masyarakat setempat. Situs awasmifee.potager.org, Selasa, 25 April 2017, Kepentingan Korporasi Dibalik Alih Fungsi
Hutan (https://awasmifee.potager.org/?p=1522&lang=id)
, mencatat konflik ini berkelindang dengan persoalan lingkungan dan bahkan
perburuhan.
Merunut isu-isu yang mengiringi masukanya
Conch di beberapa daerah di Indonesia itu, yang tampaknya mirip satu dengan
yang lain, semestinya telah memberi pelajaran penting bagi pihak-pihak yang
terlibat dan berkepentingan. Dan pihak yang utama, tentu saja, adalah Anhui
Conch Cement dan pemerintah serta masyarakat Indonesia. Sayangnya, pelajaran
penting itu tampaknya: Bagi Conch, ternyata di Indonesia menerabas aturan boleh
saja. Cukup dengan izin prinsip, langsung bangun pabrik dan beroperasi. Toh pada akhirnya pemerintah dan
masyarakat Indonesia, yang butuh investor dan investasi, tidak bakal
menghentikan ‘’gerbong dan lokomotif’’ yang sudah berderak. Akan halnya
pemerintah dan masyarakat Indonesia, apa boleh buat, menyerah dan berkompromi
dengan alasan investor dan investasi mustahak bagi pembangunan dan ekonomi.
Soal harga diri negara dan bangsa, yang
terang-terangan diinjak seenak jidat dan udel, tampaknya mesti ditelan
sekalipun pahit dan pedih.
Pertanyaannya: apakah hanya karena
pentingnya investor dan investasi lalu pemerintah dan seluruh elemen bangsa di
negeri ini sukarela bersujud? Takluk tanpa daya? Jika demikian, mengapa belakangan
ini pemerintah dan bangsa Indonesia bisa menunjukkan keperkasaan dan ketegasan
tatkala berhadapan dengan—misalnya—PT FI atau PT NNT?
Apa yang membedakan Conch dan dua raksasa
tambang itu? Mengapa Bupati yang menegakkan aturan terhadap Conch, sekalipun
barangkali dengan agak ceroboh dan emosional, dengan mudah menjadi tersangka;
sementara kepala daerah lain yang bersikap lebih tegas, keras, dan dingin
terhadap perusahaan (tambang) lain justru dianggap membela kepentingan negara
dan bangsa?
Jangan-jangan, sekadar syak dan wasangka
yang memantik pertanyaan (syukurlah belum ada tindak pidana untuk pikiran dan
pertanyaan): Apakah karena backing
Conch amat sangat perkasa hingga mereka bebas merajalela di negeri ini? Backing yang kelasnya setengah dewa itu,
tentu bukan orang atau kelompok sembarangan. Yang mengerikannya pasti membuat
jerih dan lunglai.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
Bolmong: Bolaang Mongondow; DPR:
Dewan Perwakilan Rakyat; DPRD: Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah; FI:
Freeport Indonesia; Kalsel:
Kalimantan Selatan; IUP: Izin Usaha
Pertambangan; LSM: Lembaga Swadaya
Masyarakat; Ltd: Limited; NNT: Newmont Nusa Tenggara; Pemda: Pemerintah Daerah; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; PMA: Penanaman Modal Asing; Polda: Kepolisian Daerah; PP: Pamong Praja; PT: Perseroan Terbatas; RI:
Republik Indonesia; Satpol: Satuan
Polisi; Sulsel: Sulawesi Selatan; Sulut: Sulawesi Utara; dan WIUP: Wilayah Izin Usaha Pertambangan.