DI
PERAIRAN MINAHASA, Sulut, 15 kapal asing
diledakkan. Terima kasih pada peradaban digital modern karena peristiwa yang
terjadi Rabu, 20 Mei 2015, silam ini mudah ditemukan dan disimak lagi dari
jagad Internet, salah satunya di situs sindonews.com
(https://daerah.sindonews.com/read/1003427/193/15-kapal-asing-diledakkan-di-perairan-minahasa-1432133182).
Saya juga mesti berterima kasih pada
seorang ‘’adik ‘’ yang berprofesi pewarta, Chendry Mokoginta, yang dengan baik
hati mengirimkan tautan berita itu. Juga, atas ide yang terpantik karena
celutukannya ihwal (catatan saya: kacamata kuda) Polda Sulut dalam menilai
sebuah peristiwa yang melibatkan pejabat publik atau aparat pemerintahan yang
sah: apakah dia penegakan kewenangan atau peristiwa pidana?
Ledak-meledakkan kapal (terutama asing)
yang maraup ikan dari perairan Indonesia, terutama yang tak berizin, punya
dokumen tapi abal-abal, dan keras kepala tetap menjalankan aksinya, sejak era
Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla memang kerap jadi headline media massa, hingga internasional. Penggagas dan kemudian
pengawal utama pelaksanaan ‘’eksekusi bakar kapal’’ ini adalah Menteri Kelautan
dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.
Menteri Susi memang ‘’gile bener’’. Di
awal-awal program’’tangkap dan bakar kapal ilegal’’ itu, dia tidak hanya
dihujani pujian. Terang-terangan maupun di balik punggung dia dihujani
caci-maki dan aneka ancaman. Termasuk segala siasat agar Menteri Susi dilengser
dari jabatannya.
Kekayaan laut Indonesia yang melimpah dan
lama dieksploitasi sesukanya, lengkap dengan segala backing dan konspirasi—uang, politik, kekuasaan, kewenangan, dan
sebagainya—, telah membuat nyaman para pemainnya. Langkah Menteri Susi adalah
gangguang yang bagai pedang menebas pohon pisang berbuah ranum, yang untunglah
didukung penuh (setidaknya) oleh ‘’pengawal laut Indonesia’’: TNI AL.
Tanpa dukungan TNI AL, lengkap dengan
kapal-kapal perang dan personil terlatih (tentu atas restu otoritas tertinggi
di negeri ini), saya yakin kebijakan Menteri Susi yang sekolahnya cuma sampai
SMP—tetapi khatam sebagai pengusaha perikanan, dan belakangan bisnis penerbangan,
sukses—bakal sekadar macan ompong. Bisa apa KKP dengan kapal-kapal seadanya
(umumnya bertonase dan kecepatan kecil) menghadapi luasnya wilayah laut
Indonesia? Jika KKP dibiarkan sendirian di laut Indonesia menghadapi
kapal-kapal asing yang lalu lalang, kementerian ini ibarat anak TK ditanding
kepiawaian dengan kelas lulusan doktor.
Memangnya kapal asing dari macam-macam
negara yang masuk mengaduk laut Indonesia cuma semodel perahu pelang, dengan teknologi baca bintang, kira-kira arah angin,
dan duga-duga isi laut? Yang melindungi mereka hanya preman kampung bersenjata
golok dan panah wayer? Dan uang yang
terlibat dalam bisnis ini cuma senilai investasi warung kopi?
Buat mereka yang waras, Menteri Susi dan
jajarannya harus didukung 1.000%. Dia tidak sekadar berupaya menyelamatkan
kekayaan laut Indonesia. Pesan utama yang disampaikan kebijakannya ke dunia
luas adalah: ‘’bangsa dan negeri ini punya harga diri. Bukan bangsa dan negeri
yang bisa seenaknya dimasuki, diaduk-aduk, dan disedot. Anda boleh datang ke
sini, bikin apa saja, tetapi pakai aturan dan cara yang benar.’’
Itu sebabnya, barangkali, Menteri Susi
belum dijadikan tersangka melanggar Pasal 170 ayat (1) KUHP atau pasal 170
ayat (2) ke-1 KUHP jo pasal 52 KUHP Jo pasal 55, 56 KUHP atau pasal 406 KUHP Jo
pasal 52 KUHP jo pasal 55, 56 KUHP seperti yang ditimpakan Polda Sulut kepada
Bupati Bolmong, Yasti Soepredjo Mokoagow. Atau, barangkali karena belum satupun
pemilik kapal, terutama 15 kapal asing yang diledakkan di perairan Minahasa, Mei
2015 lalu, yang membersitkan di kepala melaporkan pengerusakan barang yang
didalangi Menteri Susi ke Polda Sulut.
Demi keadilan dan kesetaraan di depan
hukum, patut disarankan pada (minimal) pemilik 15 kapal yang diledakkan di
perairan Minahasa itu, agar melaporkan mengalami tindak pidana ke Polda Sulut.
Saya kok punya keyakinan, aparat
Polda Sulut yang sangat pintar memahami KUHP—sembari meniadakan UU yang
lain—bakal bersigegas mengurus kasusnya. Apalagi kalau ada kapal Cina di antara
15 kapal asing yang dikorbankan itu.
Terlebih pula bila masuknya kapal asing itu
diimbuhi sebagai ‘’investasi asing’’, tak peduli legal maupun ilegal. Sudah
mengantongi izin prinsip, tetapi belum mengurus izin-izin yang lain. Pokoknya
bilang investasi asing, masuk, selebihnya: benar-salah, urusan belakangan. Kan
ada polisi yang akan mengawal dengan saksama dan tegas perkara ini.
Dan apakah perlu ada aduan terlebih dahulu?
Kelihatannya, dengan merujuk pada kutipan yang dipublikasi gemarakyat.id (http://www.gemarakyat.id/waduh-penetapan-tersangka-bupati-bolmong-kapolda-sulut-itu-arahan-langsung-presiden/),
Jumat, 28 Juli 2017, polisi mestinya bertindak sebab peristiwanya bukan delik
aduan. Kasusnya tidak beda dengan apa yang dilakukan Bupati Yasti di Bolmong
terhadap PT Conch.
Saya tidak mengarang, karena situs
itu—sebagai disclaimer: jika ini
salah, maka yang keliru pasti gemarakyat.id—jelas menuliskan: Kapolda Sulut Irjen Pol Bambang Waskito
sebelumnya sudah menegaskan, dalam pertemuan bersama presiden, ada arahan
langsung terkait investor. Atas dasar itu, Waskito tak ragu bertindak tegas.
Investor yang sudah masuk harus mendapat rasa aman dan nyaman. “Terkait
pengrusakan PT Conch, sekalipun sudah ada kesepakatan damai, polisi akan
memproses terus. Ini bukan delik aduan,” tegas Waskito.
O, demi rasa aman dan nyaman investor toh? Jika demikian, Pak Kapolda, izinkan
dengan rendah hati saya bertanya: tahukah Bapak jika ada investasi (asing), PT
MMP, yang sedianya mengoperasikan tambang pasir besi di Pulau Bangka, Minut,
Sulut, yang seluruh duitnya terpaksa hangus ke laut karena gugatan beberapa
orang? Yang oleh MA, berdasar putusan No. 255 K/TUN/2016, memerintahkan
Kementerian ESDM untuk mencabut SK No. 3109 K/30/2014 tentang IUP Operasi
Produksi PT MMP.
Di manakah logika dan fakta hukum ‘’rasa
aman dan nyaman’’investor dalam kasus PT
MMP? Apakah putusan PTUN Jakarta yang kemudian dikuatkan Pengadilan Tinggi TUN
Jakarta dan MA, yang membuat Menteri ESDM mencabut IUP Produksi PT MMP pada 23
Maret 2017, berarti tidak memberi ‘’rasa aman dan nyaman’’ dan melindungi
investor?
Pak Kapolda yang terhormat, kapan kira-kira
para penentang PT MMP, Ketua PTUN Jakarta, Ketua Pengadilan Tinggi TUN Jakarta,
Ketua MA, dan Menteri ESDM akan ditetapkan sebagai tersangka menghalang-halangi
investasi di Sulut? Sebab jangankan aman dan nyaman, dengan tindakan seluruh
orang itu, investasi mereka justru menguap dalam tempo yang
sesingkat-siangkatnya. Demi konsistensi kerja profesional polisi, dan agar
dijeratnya Bupati Yasti dan 27 aparat Satpol PP Bolmong dalam kasus PT Conch
tidak dimaknai sekadar ‘’unjuk kekuatan dan wewenang’’ polisi —atau lebih
buruk lagi karena ego pribadi beberapa petinggi Polda--, mohon Polda Sulut
menerapkan standar, praktik, dan tindakan hukum yang tidak berstandar ganda.
Apalagi umum mudah menemukan
rujukan-rujukan dan pembanding kinerja kepolisian; dan orang Mongondow—lebih
khusus warga Kabupaten Bolmong—bukanlah komunitas kerbau dan pohon kedondong
yang bakal diam saja dan cuma bisa melenguh atau doyong didorong angin. Kami
tahu, kok, di mana benar dan salahnya
PT Conch North Sulawesi Cement dan PT Sulenco Bohusami Cement; sedemikian pula
benar dan salahnya Bupati Yasti dan 27 aparat Satpol PP Bolmong. Apalagi
pengetahuan itu, untuk sementara, terkonfirmasi lewat temuan Pansus DPRD
Bolmong sebagaimana yang dilansir tribunnews.com
(http://manado.tribunnews.com/2017/07/29/pansus-dprd-bolmong-temui-banyak-kejanggalan-pt-conch),
Sabtu, 29 Juli 2017.
Masyarakat yang kian tahu persis duduk-soal
PT Conch pasti punya pendapat dan sikap sendiri yang tak bisa dihalangi aparat
kepolisian sekalipun. Tentu Pak Kapolda tahu, bahwa di mana-mana di Bolmong
mulai terpasang kain rentang yang meneriakkan, ‘’Bolmong harga mati, Yasti
harga diri’’(totabuan.co, Jumat, 28
Juli 2017, http://totabuan.co/2017/07/warga-bolmong-sebar-spanduk-dukungan-untuk-bupati/).
Saya kira pernyataan dalam kain rentang ini bukan ancaman, melainkan sikap
warga Bolmong umumnya.
Jika sikap itu menjadi massif, bukan tak
mungkin PT Conch (dan PT Sulenco) bakal bernasib sama seperti PT MMP. Bukankah
selalu ada jalan melawan sesuatu yang tidak pada tempatnya, apalagi itu juga
bengkok.
Kearifan Polda Sulut-lah, tentu dengan
Kapolda sebagai pucuk tertingginya, yang akan memutuskan: menyelesaikan perkara
PT Conch (dan PT Sulenco) dengan Pemda Bolmong dan jajarannya dengan keuntungan
yang sama untuk dua pihak; atau dua pihak sama-sama tenggelam. Tiji tibeh. Orang Mongondow, saya yakin,
tak bakal sudi sekadar omong kosong pengecut merentang kain lalu mengorbankan
‘’harga mati’’ dan ‘’harga dirinya’’.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
AL: Angkatan Laut; Bolmong:
Bolaang Mongondow; DPRD: Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah; ESDM:
Energi dan Sumber Daya Mineral; Irjen:
Inspektur Jenderal; IUP: Izin Usaha
Pertambangan; Jo: Juncto; Kapolda: Kepala Kepolisian Daerah; KKP: Kementerian Kelautan dan
Perikanan; KUHP: Kitab Undang-undang
Hukum Pidana; MA: Mahkamah Agung; MMP: Mikgro Metal Perdana; Pol: Polisi; Polda: Kepolisian Daerah; PP:
Pomong Praja; PT: Perseroan Terbatas;
PTUN: Pengadilan Tata Usaha Negara;Satpol: Satuan Polisi; SMP: Sekolah Menengah Pertam; Sulut: Sulawesi Utara; TK:
Taman Kanak-kanak; TNI: Tentara
Nasional Indonesia; TUN: Tata Usaha
Negara; UU: Undang-undang; dan Wapres: Wakil Presiden.