GENERASI seusia saya—kini berumur di atas 50
tahunan—, yang lahir di punghujung Orla dan tumbuh hingga dewasa di era Orba,
akrab dengan sinisme semacam ‘’Ali-Baba’’. Eufemisme ini merujuk pada perilaku
‘’Ali’’ (pribumi) yang dengan koneksi kekuasaan mendapatkan lisensi dan
‘’Baba’’ (pemilik modal) yang menguasai lisensi dan meraup sebanyak mungkin
keuntungan. ‘’Ali’’ semata-mata alat (kalau bukan budak) dari ‘’Baba’’.
Sinisme
lain yang bahkan masih hidup dan terus dipraktekkan (dibuktikan dari banyaknya
tangkap tangan oleh KPK) adalah, ‘’hampir setiap aparat berwenang atau berwajib
atau yang punya kuasa memiliki toke
(tauke)-nya sendiri’’. Artinya, selalu tidak mengejutkan jika di mana-mana di
negeri ini wewenang dan kekuasaan dengan mudah jadi boneka dan dikendalikan
oleh mereka yang punya uang bejibun.
Dalam
lingkup wewenang jabatannya, Bupati Yasti tunduk dan melaksanakan amanat UU No.
23/2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam kaitan dengan silang-selisih PT
Sulenco-PT Conch-Pemkab Bolmong, ada Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan
dengan Pelayanan Dasar yang menjadi kewenangan Bupati sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2, yang antaranya
berkaitan dengan penataan ruang serta ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan
masyarakat.
Lepas dari status hubungan PT Sulenco dan PT Conch serta izin-izin
subtansial yang harus mereka kantongi dalam urusan pertambangan (ataupun kalau
PT Conch bersikukuh masuk kategori industri dalam bentuk investasi PMA), Bupati
Bolmong tegas memiliki kewenangan penuh. Apakah, yang paling sederhana,
bangunan-bangunannya memiliki IMB? Kalau pun ada, atas nama PT yang manakah IMB
yang dikatongi? Apakah pula peruntukan kawasan di mana kompleks pabrik itu
dibangun?
Sejauh yang kita ikuti di media massa, peruntukan kawasan di mana
PT Conch kini mengkonstruksi kompleks pabrikya adalah untuk pertambangan.
Artinya, fasilitas ini melekat dengan tambang—yang celakanya tidak memiliki
jaminan legalitas. Sudah begitu, sejumlah bangunan yang ‘’disangkakan’’ dirusak
oleh Bupati dan 27 Satpol PP yang sudah menjadi tersangka, konon tidak memiliki
IMB.
Lalu di mana tindak pidana yang dilakukan Bupati dan aparatnya?
Terlebih, sebelum ‘’penertiban’’ dilakukan, (sekali lagi) sebagaimana info
publik, sudah berulang kali Pemda Bolmong memperingatkan PT Conch. Bukankah
membangun di atas lahan yang bukan peruntukannya dan tidak mengindahkan
ketertiban umum karena tanpa IMB, adalah pelanggaran yang wajib ditindak oleh
Bupati?
Kalaupun Bupati melakukan kekeliruan, sebagai sebuah kebijakan,
sebelum menjadi tindak pidana, perkaranya mesti terlebih dahulu dibawa ke
struktur pemerintahan yang lebih tinggi. Harus diingat, Pasal 7 ayat (1) UU No.
23/2014 menetapkan: Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Daerah. Tidak puas dengan
pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah Pusat, bawa masalahnya ke PTUN dan
jika Pemda keliru serta tindakannya menimbulkan kerugian finansial material,
layangan gugatan perdata.
Sudahkah silang-sangkarut PT Sulenco-PT Conch-Pemda Bolmong ini
dibawa ke tingkat pemerintahan yang lebih tinggi? Diuji apakah kebijakan Bupati
Yasti benar atau keliru, sebelum polisi dengan gagah-berani buru-buru ikut
campur?
Kesannya kok Polda Sulut
sangat sigap dan mikroskopis melihat peristiwa Senin, 5 Juni 2017 sebagai
tindak pidana (yang sebelumnya dilaporkan oleh entah PT Sulenco, PT Conch, atau
justru keduanya secara bersama-sama) yang bukan delik aduan, karenanya
sekalipun pengadu sudah mencabut aduannya, perkara tetap tancap gas. Maju
terus.
Saudara-saudara, luar biasa Polda Sulut kita dan jajarannya. Tapi
apa polisi akan sama gesit dan bersikukuhnya memproses PT Sulenco dan PT Conch
jika Pemda Bolmong malaporkan berbagai pelanggaran yang terang-benderang mereka
lakukan?
Kesemena-menaan PT Sulenco dengan legalitasnya yang tak jelas, PT
Conch dengan ulah yang seenak perutnya, bukan hanya melecehkan kewenangan
Bupati dan jajarannya dalam soal Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan
dengan Pelayanan Dasar. Aparat berwajib dan berwenang yang sedikit saja paham
hukum dan perundang-undangan dengan komprehensif, dapat dengan mudah menemukan
dua perusahaan ini telah melakukan tindak-pidana tak ringan. Yang paling cemen, misalnya yang berkaitan dengan
masalah lingkungan.
Dengan memahami UU No. 23/2014, penetapan Bupati Bolmong sebagai
tersangka oleh Polda Sulut, dibanding dianggap sebagai sesuatu yang serius dan
menguncang, tampaknya lebih pantas dipandang sebagai lakon lawak semata. Yang pentasnya
kian menggelikan bila dikaitkan dengan status yang sama yang ditimpakan pada 27
anggota Satpol PP. Apa aparat Polda Sulut tidak pernah mendengar, mengetahui,
dan membaca, bahwa di negeri ini ada UU No. 5/2014 Tentang ASN?
Pasal 23 UU No. 5/2016 (yang terkait dengan isu keikutsertaan
mereka dalam kasus PT Conch) jelas-jelas mencantumkan Pegawai ASN wajib: a.
setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah; c. melaksanakan
kebijakan yang dirumuskan pejabat pemerintah yang berwenang; serta e.
melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kejujuran, kesadaran, dan
tanggung jawab.
Bupati Yasti Soepredjo Mokoagow adalah pemerintahan yang sah di
Bolmong. 27 Satpol PP yang didudukkan sebagai tersangka hanya melaksanakan
kebijakan yang dirumuskan oleh Bupati sebagai pejabat pemerintah yang
berwenang. Pendeknya, mereka melaksanakan tugas kedinasannya dengan penuh
pengabdian. Mentersangkakan mereka adalah lelucon buruk yang menunjukkan betapa
menyedihkan kualitas pengetahuan hukum aparat Polda Sulut.
Alih-alih jadi hiburan, humor tak cerdas justru lebih banyak
memantik amarah. Asal mencomot Pasal 170 ayat (1) dan
ayat (2) ke-1 KUHP jo pasal 52 KUHP Jo pasal 55, 56 KUHP atau pasal 406 KUHP Jo
pasal 52 KUHP jo pasal 55, 56 KUHP; dan meluputkan Pasal 48, Pasal 50, Pasal 51
KUHP, pasti kerjaan badut amatir. Kalaupun 27 anggota Satpol PP terpaksa
mengambil tindakan terhadap bangunan tanpa IBM milik PT Conch karena perintah
Bupati Yasti yang berkuasa penuh dan punya daya paksa sebagai atasan tertinggi
mereka, dan kemudian perkaranya menjadi tindak pidana, Pasal 48 KUHP menjamin: Barang siapa melakukan perbuatan
karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.
Pasal 48
KUHP dipertegas dengan Pasal 51 KUHP yang menyatakan: ‘’ (1) Barang siapa
melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh
penguasa yang berwenang, tidak dipidana. (2) Perintah jabatan tanpa wewenang,
tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad
baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya
termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.’’
Dalam
kedudukannya sesuai UU No. 23/2014, apa yang dilakukan Bupati Yasti dilindungi
oleh Pasal 50 KUHP, bahwa, ‘’Barang siapa melakukan perbuatan untuk
melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana.’’
Pembaca,
belum tentu saya menafsir dengan tepat hukum dan perundangan-undangan di
Indonesia, lewat UU, pasal-pasal, dan ayat-ayat yang saling terkait itu. Sama
halnya dengan polisi juga tidak selamanya benar. Bukan sedikit contoh langkah
dan laku aparat polisi yang berakhir sebagai lelucon dan olok-olok. Sebab
alih-alih menegakkan hukum, yang terjadi justru tindakan memanfaatkan dan
menelikung hukum demi ego, keserakahan, unjuk kekuatan, dan kepentingan bengkok
lainnya di luar kebenaran dan keadilan.
Untuk
kasus yang dijeratkan ke Bupati dan 27 anggota Satpol PP Bolmong, saat
dikontekskan dengan ghirah
nasionalisme, NKRI, dan harga diri bangsa—termasuk dengan slogan ‘’Aku
Pancasila’’ yang kini marak—, tidak berlebihan rasanya bila akhirnya ada
konklusi: dengan mentersangkakan Bupati Yasti, Polda Sulut justru menahbiskan
dia sebagai calon pahlawan penegak nasionalisme dan semangat NKRI. Orang
Indonesia, pemimpin di daerah, yang tahu persis dan bangga terhadap harga diri
bangsanya; lebih khusus lagi orang dan daerah yang dia pimpin.
Berseberangan
dengan itu, kita boleh-boleh saja mencibir jika ada aparat berwenang dan
berwajib yang gemar berlaku sebagai antek—termasuk antek asing—yang gampang
tunduk dan melacur pada kekuatan tertentu (konspirasi uang, dukungan kekuasaan,
atau semata karena tabiat khas megalomania orang tinggi ego yang punya kuasa). Toh tidak sulit mencium dan mengetahui
siapa saja dan seperti apa sosok-sosok mereka. Cuma soal kepekaan, kecerdasan,
dan keawasan mencermati fakta-fakta dengan saksama.
Akan
halnya tindakan Polda Sulut mentersangkakan Bupati Yasti yang kini sudah jadi
perhatian nasional, dengan komprehensif memahami hukum dan perundangan-undangan
di Indonesia, sekali lagi mari kita mahfumi saja sebagai seolah-olah edukasi
hukum dan tindakan penegakannya yang sekadar grap-grap cari perhatian. Bukankah belum ada tindak pidana yang
menjerat siapapun yang menganggap ‘’sesuatu yang seolah-olah’’ sebagai sekadar
lawakan belaka?***
Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
ASN: Aparatur Sipil Negara; Bolmong: Bolaang Mongondow; IMB: Izin Mendirikan Bangunan; KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi; KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
Orba: Orde Baru; Orla: Orde Lama; Pemda: Pemerintah Daerah; Pemkab:
Pemerintah Kabupaten; PMA: Penanaman
Modal Asing; Polda: Kepolisian
Daerah; PP: Pamong Praja; PT: Perseroan Terbatas; PTUN: Pengadilan Tata Usaha Negara; Satpol: Satuan Polisi; Sulut: Sulawesi Utara; dan UU: Undang-undang.