POLDA Sulut menetapkan Bupati Bolmong, Yasti Soepredjo Mokoagow, sebagai
tersangka tindak pidana pengerusakan. Pasal yang disangkakan, menurut Kabid
Humas Polda Sulut, Kombes Ibrahim
Tompo, sebagaimana yang dikutip tempo.co
(https://nasional.tempo.co/read/news/2017/07/26/058894750/bupati-bolmong-jadi-tersangka-perusakan-begini-kasusnya), Rabu, 26 Juli 2016, adalah Pasal 170 KUHP juncto Pasal
52, 55 dan 56 KUHP.
Sumber umum
yang lain, manadopostonline.com (http://manadopostonline.com/read/2017/07/26/Bupati-Bolmong-Resmi-Tersangka-Ancaman-Hukum-Lima-Tahun-Penjara/25127), punya versi berbeda. Masih mengutip Kabid Humas
Polda Sulut, menurut situs ini, ‘’Bupati Bolmong disangka telah melanggar Pasal 170 ayat (1) KUHP atau pasal 170 ayat (2)
ke-1 KUHP jo pasal 52 KUHP Jo pasal 55, 56 KUHP atau pasal 406 KUHP Jo pasal 52
KUHP jo pasal 55, 56 KUHP.’’
Penetapan terhadap
Bupati itu melengkapi gerak cepat polisi yang sebelumnya telah mentersangkakan
27 personil Satpol PP Bolmong, sebagai buntut penertiban bangunan tanpa IMB di
kompleks pabrik semen yang tengah dikonstruksi PT Conch North Sulawesi Cement di Desa Solog, Lolak, Senin, 5 Juni 2017.
Dalam penertiban ini, Bupati yang didampingi sejumlah pejabat di jajaran Pemkab serta beberapa anggota DPRD Bolmong, memang
memerintahkan Satpol PP mengambil tindakan terhadap bangunan-bangunan yang
diduga didirikan tanpa IMB.
Kembali ke pasal-pasal
yang disangkakan, sebagaimana dinyatakan Kombes Tompo, jelas bukan main
seriusnya. Pasal 170 ayat (1) KUHP bilang: Barang siapa dengan
terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang
atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan; sedang ayat (2) ke-1
menyebutkan: Yang bersalah diancam:
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja
menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka.
Alternatif
yang disangkakan, Pasal 460 KUHP, pasti merujuk pada ayat (1)—mengingat ayat
(2) urusannya soal binatang--, yakni: (1)
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan,
membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya
atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.
Pasal
yang dihubungkan dengan dua sangkaan utama itu, masing-masing Pasal 51, Pasal
55, dan Pasal 56 KUHP kian bikin merinding. Pasal 52 KUHP menyatakan: Bilamana seorang pejabat karena
melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya,
atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau
sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah
sepertiga. Pasal
55 KUHP, terdiri dari dua ayat, menyebutkan: ayat (1) Dipidana
sebagai pelaku tindak pidana: 1. mereka yang melakukan, yang menyuruh
melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; 2. mereka yang dengan
memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau
martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi
kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan; dan ayat (2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang
sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Akan halnya
Pasal 56 KUHP, yang juga terdiri dari dua ayat, menjelaskan bahwa, dipidana sebagai pembantu kejahatan,
ayat 1. mereka yang sengaja memberi
bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; ayat 2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau ke- terangan untuk
melakukan kejahatan.
Tak pelak, penetapan
tersangka terhadap Bupati Bolmong itu mengundang pro-kontra. Bahkan beberapa
anggota DPR RI-pun ikut angkat suara, antaranya menyoroti tindakan polisi
‘’terburu-buru’’ dan ‘’jadi preseden buruk’’.
Perhatian umum
kini memang terfokus pada pro-kontra layak atau tidaknya Bupati Yasti
ditersangkakan hingga nyaris mengabaikan akar masalahnya. Sejatinya, perkara
yang menyeret Bupati dan 27 anggota Satpol PP Bolmong ini sepele belaka.
Sumber-sumber publik—yang tidak pernah diperdebatkan oleh siapapun—menyebut
kehadiran PT Conch
di Bolmong terkait dengan PT Sulenco Bohusami Cement. Yang satu adalah investor
yang kemudian membangun pabrik semen, yang lain adalah pemilik konsesi
pertambangan kapur (sebagai bahan utama semen) di Desa Solog.
Galib
dipahami—dan demikianlah aturannya—, PT Sulenco yang masuk kategori usaha
tambang, mesti memiliki izin: IUP Eksplorasi dan IUP Produksi. Faktanya (sekali
lagi, berdasar sumber publik yang rujukannya berserak di Internet), perusahaan
ini ternyata ‘’hanya pernah’’ punya izin. Dengan kata lain, dokumen yang
dikantongi sudah kedaluarsa.
Walau
begitu, PT Sulenco jalan terus dengan gagah berani mengandeng—pemilik PT
Sulenco selalu menyebut sebagai—investor asal Cina, PT Conch, untuk mengelola
cebakan kapur di atas lahan yang dikuasai. Namun, hingga pening menelisik,
akibat simpang-siur lalu-lalang informasi, hubungan antara dua perusahaan ini
sama kaburnya dengan penglihatan penderita katarak stadium kritis.
Manakah
yang benar? PT Sulenco adalah pemilik konsesi dan izin IUP Eksplorasi hingga
IUP Produksi, sedang PT Conch hanya menjadi mitra pengolah? PT Sulenco adalah
pemilik konsesi dan izin IUP Eksplorasi hingga IUP Produksi, lalu Anhui Conch
Cement Company Ltd masuk berinvestasi, mendirikan joint venture PT Conch? Atau PT Sulenco adalah pemilik konsesi dan
izin IUP Eksplorasi hingga IUP Produksi; dan PT Conch menjadi investor
sekaligus operator dari penambangan, pengolahan, hingga distribusi dan
penjualan produksinya?
Jawaban
terhadap tiga pertanyaan itu terkait erat dengan masuk akal-tidaknya tindakan
Polda Sulut. Jika PT Conch hanya mitra pengolah, maka pendirian kompleks pabrik
semen di Desa Solog bukanlah masalah, sepanjang: perusahaan ini memenuhi seluruh
izin dan kepatuhannya, termasuk membangun fasilitasnya di atas kawasan
peruntukan industri.
Bila PT
Conch adalah hasil joint venture PT
Sulenco dan Anhui Conch, bagaimana dengan perizinan dasarnya? Dapatkah IUP
Eksplorasi dan IPU Produksi dipindahtangankan? Status perusahannya adalah
investasi dalam negeri (mayoritas Indonesia) atau PMA (mayoritas asing)? Jika
PT Conch adalah sekadar investor sekaligus operator, maka seharusnya yang berada
di depan (dalam segala urusan) adalah PT Sulenco, yang sejauh ini kita tahu
bersama tidak mengantongi perizinan sebagaimana mestinya.
Polisi
serta aparat berwajib dan berwenang lainnya yang cermat dan tahu persis tugas,
kewajiban, dan wewenangnya di negeri ini, semestinya terlebih dahulu menelisik
hal paling substansial itu. Cuma aparat bebal dengan mental ‘’orang jajahan’’
yang serta-merta tunduk ditakut-takuti kata ‘’investasi asing’’. Mau asing, mau
lokal, sepanjang melanggar UU dan turunannya, seharusnya ditindak dengan serta
merta. Bukankah Indonesia adalah negeri berdaulat? Bukankah pula kewajiban
setiap warga negara, siapapun dia, bangga dan menegakkan harga diri negeri ini?
Mudah-mudahan
rumor yang beredar sejak Senin, 5 Juni 2017, bahwa sudah ada gudang Handak di
kompleks pabrik semen yang sedang dikonstruksi oleh PT Conch di Desa Solog,
cuma sekadar gosip orang kurang kerjaan. Sebab jika bisik-bisik ini benar, dan
otoritas tunggal pemberi izin Handak di negeri ini hanyalah Polri, keberadaan
gudang yang ‘’konon’’ sudah terisi itu menimbulkan pertanyaan sangat serius.
Perusahaan mana yang mengantongi izinnya? PT Sulenco atau PT Conch?
Konsekwensi
PT Sulenco yang mengantongi izin Handak artinya dia punya IUP Produksi—yang
sejauh ini tidak pernah mampu ditunjukkan keabsahannya. Galibnya operasi
tambang yang mengambil batuan, penambangan kapur memang membutuhkan bahan
peledak dan peledakan. Sebaliknya, kalau izinnya dikantongi PT Conch, buat apa perusahaan
yang ‘’cuma’’ pabrik semen butuh bahan peledak dan peledakan?
Taruh kata
kerja sama dengan PT Sulenco menempatkan PT Conch menangani hulu sampai hilir,
dari penambangan kapur hingga distribusi semen yang diproduksi, dan karenanya dalam
operasinya membutuhkan bahan peledak dan peledakan, maka pertanyaannya: IUP Produksi
mana yang akan mereka tambang?
Hello, Polda Sulut, adakah jawaban yang
memuaskan dari sisi edukasi dan penegakan hukum terhadap pertanyaan-pertanyaan yang
bagai kucing mengejar ekornya sendiri itu? Atau haruskah kami, seluruh warga
Mongondow, menebak-nebak dan menduga-duga saja ‘’bau tak sedap’’ yang sekarang
mengotori atmosfir sosial-politik Bolmong memang berasal dari kongkalingkong
dengan sumbu utama PT Conch?
Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Bolmong: Bolaang Mongondow; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; Handak: Bahan Peledak; Humas: Hubungan Masyarakat; IMB: Izin Mendirikan Bangunan; IUP: Izin Usaha Pertambangan; Jo: Juncto; Kabid: Kepala Bidang; Kombes: Komisaris Besar; KUHP:
Kitab Undang-undang Hukum Pidana; Pemda:
Pemerintah Daerah; Pemkab:
Pemerintah Kabupaten; PMA: Penanaman
Modal Asing; Polda: Kepolisian
Daerah; PP: Pamong Praja; RI: Republik Indonesia; Satpol: Satuan Polisi; Sulut: Sulawesi Utara; dan UU: Undang-undang.