KENDATI akrab dengan tradisi Pasar Senggol yang digelar setiap pertengahan
hingga penghujung Ramadhan di pusat kota Kotamobagu, saya harus mengakui: saya
tak pernah merekam dengan cermat riwayat pesta ekonomi kaki lima ini. Lahir dan
tumbuh di Kotamobagu—hingga hijrah saat remaja—, pasar jalanan ini saya akrabi sebagai
sesuatu yang mesra dan diterima tanpa banyak pikir, sebagaimana seluk-beluk,
lika-liku, dan pernak-pernik khas kehidupan kota ini lainnya.
Sepengetahuan saya (semoga ingatan ini
tidak melenceng), Pasar Senggol yang sebutannya kemudian diringkas menjadi
‘’Senggol’’ saja, bermula sekitar 23 tahun lampau dan diinisiasi oleh
sekelompok orang (tepatnya kaum muda) di Kelurahan Gogagoman. Tokoh paling
menonjol di antara para pionir arena transaksi ekonomi dadakan ini adalah Lendy
Mokodompit atawa yang lebih populer sebagai Papa Eka.
Selama 22 tahun orang-orang dari Kelurahan
Gogagoman (yang menjadi wilayah administratif hampir sebagian besar kompleks
pertokoan dan pasar utama KK, 23 Maret) membesarkan dan merawat tradisi
Senggol. Tak ada gesekan, apalagi tarik urat leher dan otot, yang mengguncang
stabilitas ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan di KK karena Senggol.
Semua orang, pengelola, pedagang, dan
konsumen, meraup untung, kegembiraan, dan kebahagian puasa dan Idul Fitri dari
even ini. Segalanya baik-baik saja hingga dijelanglah Ramadhan 2016 lampau
tatkala Pemkot KK mengambil alih, menyerahkan pelaksanaan dan pengelolaannya ke
bawah naungan birokrasi lewat (kini) Disperindagkop-PM.
Senggol yang sediahnya
meriah dan guyub—sekalipun dengan macet, bersesakan bagai sarden, dan mandi
keringat—berubah menjadi rusuh tarik-menarik antara mereka yang bertahun-tahun
merawat tradisi ini (juga mendapatkan macam-macam berkah, terutama distribusi
keuntungan ekonomi) dengan aparat Pemkot KK dan pihak berwenang lain. Alih-alih
menjadikan Senggol sebuah peristiwa ekonomi-sosial-budaya yang lebih tertata
laksana, pengambil alihan oleh Pemkot KK sekadar parade kekuasaan. Pertontonan taji
politik, sosial, dan keamanan; sekaligus sentralisasi distribusi ekonomi ke kas
Pemkot.
Yang saya amati dari
gelaran Senggol di Ramadhan 2016, dalam hampir segala hal, pengelolaan dan pelaksanaannya
tak beda dengan yang dilakukan oleh orang-orang Gogagoman. Kalaupun ada upaya
yang diklaim sebagai penataan, tampaknya dilaksanakan setengah hati belaka.
Lagipula, sejak kapan aparat birokrasi pintar mengurus perdagangan, terlebih di
tingkat kaki lima? Satu-satunya keahlian aparat Pemkot/Pemkab yang khatam saya
mahfumi sejak zaman kuliah, berkaitan dengan para pelaku ekonomi jalanan,
adalah kefasihan mereka dalam memburu, membubarkan, dan memporak-porandakan
kaki lima.
Sepemahaman saya (atau
demikianlah yang diceritakan beberapa pelakunya), setelah tarik-ulur
habis-habisan, Senggol Ramdhan 2016 terselenggara dengan berbagai kompromi. Tak
bisa dipungkiri, di bawah permukaan tentu bandul Senggol yang dirawat bertahun-tahun
telah kehilangan keseimbangan. Pembagian fungsi dan tanggung jawab yang sebelumnya
terstruktur alamiah di kalangan orang-orang Gogagoman, bubar tercerai-berai.
Dan yang lebih penting lagi, distribusi keuntungan ekonomi di kalangan
kebanyakan, yang kesehariannya (di luar Ramadhan) memang bergelut di lingkungan
pasar, porak-poranda tak karuan.
Alhasil, Senggol di
Ramadhan 2016 tetap padat dengan senggol-senggolan antara pedagang-konsumen,
sesama konsumen, juga orang-orang Gogagoman dan aparat (lebih dari perangkat
birokrasi Pemkot). Selebihnya, pusat kota KK tak lekan dari macet, panas, dan
Senggol diakhiri dengan gunungan sampah yang mesti dipertanggungjawabkan oleh
Dinas Kebersihan (jika tak keliru sekarang kebersihan kota menjadi tanggung
jawab Dinas Lingkungan Hidup).
Lalu tibalah Ramdhan
2017. Senggol pun segera jadi mainstream
isu di KK. Bahkan jauh hari sebelum wangi bulan puasa tercium, Pemkot lewat
Disperindagkop-PM sudah pasang kuda-kuda dan persiapan menggelar peristiwa ‘’puncak’’
ekonomi-sosial-budaya lolak tahunan ini. Setidaknya demikianlah yang diwartakan
totabuan.co, Senin, 17 April 2017 (http://totabuan.co/2017/04/pemkot-tetapkan-pasar-senggol-di-poyowa-kecil/).
Menurut situs berita ini, mengutip Kadisperindagkop-PM, karena sudah disepakati (entah siapa yang duduk
berembuk dan bersepakat), Walikota mengeluarkan SK yang memutuskan Senggol
Ramadhan 2017 dilaksanakan di Lapangan Poyowa Kecil.
Alasan pemidahan
Senggol dari wilayah Kelurahan Gogagoman ke Poyowa Kecil, menurut Bapak Kadis
yang terhormat, demi mengurangi kemacetan saat Idul Fitri. Juga, tegasnya, ‘’Membuat
keramaian jelang Idul Fitri tersebar di daerah lain, selain pusat kota.’’
Akan halnya pengelola,
Pemkot tak akan ikut campur dan menyerahkan pada masyarakat dengan mengajukan
permohonan. Siapa kelompok yang sudah menyampaikan minatnya? Per April 2017,
saat totabuan.co mengunggah
beritanya, yang memasukkan proposal baru dari kalangan pemuda Gogagoman.
Tetapi, menurut Kadis, (karena dilaksanakan di wilayahnya) masyarakat Poyowa
Kecil jelas akan dilibatkan pula.
Retorika Bapak Kadis
sungguh meyakinkan. Pendek kata, pemindahan Senggol dipikirkan matang dari
berbagai sudut dan aspek, yang muaranya adalah kemaslahatan seluruh masyarakat
KK. Empat jempol—dua jempol tangan dan dua jempol kaki—untuk Pemkot, Walikota
KK dan jajarannya, dan terkhusus Kadisperindagkop-PM.
Begitukah idealnya?
Menurut saya kok tidak ya. Kebijakan
pemindahan Senggol dengan alasan-alasan yang seolah cerdas dan komprehensif
itu, justru menunjukkan rendah dan miskinnya mutu pikir, perencanaan, dan
imajinasi aparat birokrasi Pemkot. Setidaknya ada tiga alasan sepele, tetapi
fundamental.
Pertama, sebuah kota yang tertata, terencana, dan sehat, semestinya tidak
mencampur-adukkan peruntukan wilayahnya. Karena itu ada yang namanya RTRW.
Lapangan (sepakbola) Poyowa Kecil bukan—dan tidak pernah—diperuntukan sebagai
pasar. Mengubah tempat bermain bola menjadi pasar, sekalipun bersifat temporer,
jelas jalan pintas kejumudan dan impotensi pikir birokrasi Pemkot.
Kedua, sudah menjadi pengetahuan dan pemahaman umum bahwa pasar dan kompleks
pertokoan—juga Senggol di setiap Ramadhan—di pusat kota KK adalah wilayah riuh
dan macet. Tidak hanya di bulan puasa. Artinya, dengan memindahkan Senggol ke
Poyowa Kecil, Pemkot KK tidaklah berikhtiar menyelesaikan keruwetan lalu
lintas. Pemerintah kota ini hanya menambah satu lagi titik kemacetan yang bikin
jengkel. Tak beda dengan menularkan kudis yang mulanya hanya ada di dahi ke
bagian lain tubuh.
Dan ketiga, dimensi Senggol lebih dari
sekadar urusan keramaian, ihwal kusut lalu lintas, atau ketertiban ekonomi. 23
tahun pelaksanaan hajat ekonomi ini telah membentuk ikatan sosial, budaya, dan
sistem pengelolaan keamanan dan ketertibannya sendiri. Ketika dia dicerabut
dari akarnya di wilayah Gogagoman, dipindahkan ke Poyowa Kecil, Pemkot
sesungguhnya secara sadar sedang mendorong potensi perbenturan dua kompleksitas
komunitas yang berbeda. Singkatnya: siapa yang bisa menjamin tak akan terjadi
pergesekan di antara pemuda Gogagoman (yang secara historis memiliki ikatan
kuat dengan Senggol) dengan pemuda dan masyarakat Poyowa Kecil.
Dari itu, saya pikir
olok-olok yang diam-diam pertukarkan sebagai gosip di arena-arena pergunjingan,
bahwa belakangan program Pemkot KK tak lebih dari ‘’kartas kado’’, barangkali
benar adanya. Program seperti pemindahan Senggol, karena dibungkus dengan
retorika berbunga dan canggih, tampak seolah-olah indah dan menggiurkan. Soal
isinya ternyata sekadar kepayahan birokrasi yang bingung dan terkaing-kaing memuaskan
ego Walikota dan jajaran elit Pemkot, kita semua harap maklum saja.
Bila yang berkuasa
sudah punya mau, jangankan ditentang, sekadar disenggol sekalipun, urusannya
bisa merepotkan hingga ubun-ubun. Terlebih jika para penguasa yang semau-maunya
itu mudah ‘’baper’’ serta merasa paling mantap jiwa dan pikir sendiri.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
Baper: Bawa Perasaan; Disperindagkop-PM:
Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Penanaman Modal; KK: Kota Kotamobagu; Pemkab:
Pemerintah Kabupaten; Pemkot:
Pemerintah Kota; RTRW: Tata Ruang
dan Tata Wilayah; dan SK: Surat
Keputusan.