HANYA 15 hari sejak dilantik sebagai Bupati Bolmong 2017-2022 (bersama
Wabup Yanny Ronny Tuuk), Yasti Soepredjo Mokoagow bikin gebrakan heboh. Senin,
5 Juni 2017, dia ‘’menggeruduk’’ kompleks (yang direncanakan menjadi) pabrik
semen di Desa Solok, Lolak, menghentikan pekerjaan kontruksi yang sedang dilakukan dan menyegel seluruh
aktivitas yang berlangsung.
Selain membaca keriuhan penghentian pekerjaan
konstruksi dan penyegelan aktivitas di kawasan yang digadang-gadang bakal
menjadi pusat produksi semen di Sulut itu dari media online, telepon saya juga tak henti berdering. Kabar yang datang
umumnya mewartakan—dengan detail yang menggetarkan—apa saja yang dilakukan
Yasti dan perangkat Pemkab Bolmong yang menyertai dia. Tentu ada pula yang
mempertanyakan keabasahan langkahnya, yang memang—harus diakui—cukup kontroversial.
Di tengah ghirah seluruh negeri mengatraksi investasi, kok ada Bupati, baru dilantik pula, dengan berani dan nekad
menghentikan investasi yang—konon—dalam fase konstruksi saat ini (saja) sudah
mengucurkan sekitar USD 250 juta dolar. Sebagai Bupati, Yasti bukan hanya
melawan arus besar yang sedang mengalir di seantero Indonesia. Dia, boleh
dikata, bagai membenturkan kepala ke ‘’sesuatu’’ yang kekerasan dan keliatannya
tak diketahui benar.
Pabrik semen yang didirikan di Lolak itu
selama ini memang serba samar dan remang-remang. Bahkan buat saya yang
terus-menerus berada di lingkungan industri tambang selama lebih 25 tahun
terakhir, dia masih ‘’sesuatu’’ yang penuh tanda tanya.
Di media saya membaca, yang membangun
fasilitas produksi di Desa Solok adalah PT Conch North Sulawesi Cement.
Menyebut Conch, mau tak mau kita harus menengok induknya, Anhui Conch Cement
Company Ltd, perusahaan produsen dan penjual semen yang dimiliki pemerintah
Provinsi Anhui, Cina, dan terdaftar di Bursa Saham Hongkong dan Shanghai. Lebih
jauh lagi, kita bisa menelusuri dan mengetahui, Conch yang didirikan pada 1997
kini adalah salah satu raksasa semen dunia. Dari sebuah perusahaan skala
provinsi, dengan cepat Conch menggurita hingga mendarat di Kabupaten Bolmong
dan bersiap segera memproduksi dan menjual semen dari fasilitas produksi yang
didirikan di Desa Solok.
Namun, jika telisikan itu kita lanjutkan, kehadiran
Conch di Bolmong malah bikin bingung. Perusahaan ini menggenjot pembangunan
fasilitas produksi, memaparkan namanya ke publik, tetapi dengan status yang
abu-abu. Apakah dia pemilik WIUP mineral non logam di kawasan yang akan
dikelola; sekaligus pemegang IUP Produksinya? Atau sekadar mitra dari
perusahaan pemegang WIUP dan IUP Produksi? Dengan kata lain, Conch hanyalah
operator produksi dari perusahaan lain yang memiliki hak legal terhadap WIUP
dan IUP Produksi mineral non logam di Desa Solok.
Tampaknya demikianlah yang terjadi. Sebab
di tengah keriuhan yang mendahului penghentian dan penyegelan aktivitas Conch oleh
Bupati Bolmong, mencuat PT Sulenco Bohusami Cement. Semoga tak silap, bila
semua informasi yang lalu-lalang diringkas, konklusinya adalah: Sulenco-lah
pemilik WIUP, IUP Eksplorasi, dan IUP Produksi—inipun jika seluruh dokumen
prinsip dan mustahak ini memang dikantongi. Sulenco inilah yang lalu mengandeng
Conch menanamkan investasinya membangun fasilitas produksi dan mengeksploitasi
mineral non logam di Desa Solok, yang hasil akhirnya adalah semen.
Teranglah, hak legal ada di tangan Sulenco
dan Conch cuma operator penambangan, produksi, dan distribusinya.
Ihwal Sulenco dan mimpi pabrik semen di Lolak
sejatinya sudah saya dengar sejak sekitar 20 tahun silam. Perusahaan ini dikononkan
bakal membangun pabrik semen yang dengan takjub dan penuh harap
ditunggu-tunggu, tetapi kemudian tak terdengar kabar beritanya, hingga
tiba-tiba Conch—lengkap dengan para pekerja dari Cina yang membanjir
masuk—hadir dan bersigegas membangun konstruksi masif untuk memproduksi semen.
Sungguh mengagetkan. Tak ada ‘’halo-halo’’
sosialisasi, kabar Amdal, dan tetek-bengek yang galibnya mengiringi kehadiran
sebuah industri pertambangan. Masuknya Conch ke Lolak seperti sosok yang
diam-diam menyelinap di malam hari. Serba senyap dan tiba-tiba mengagetkan
ketika kita terjaga di pagi hari.
Sejatinya, di penghujung 2016, saya sesungguhnya
pernah mendapat gambaran yang sedikit jelas dari seorang kawan yang ternyata
berada di lingkaran manajemen Sulenco. Saya tidak pernah bertanya apa posisi
dan tanggung jawabnya. Yang pasti kami beberapa kali bertemu (di Jakarta),
bertukar cerita dan pengalaman, dan membahas proses perizinan eksplorasi dan
eksploitasi mineral non logam untuk bahan baku semen. Pendeknya: yang dipercakapkan
adalah perizinan pendirian pabrik dan produksi semen di Desa Solok, Lolak,
Kabupaten Bolmong, yang ‘’katanya’’ masih terkatung-katung.
Sebab
yang dibicarakan adalah industri tambang (semen), di daerah kelahiran
saya pula, saya sungguh antusias; bahkan menawarkan bantuan untuk melihat-lihat
(jika dibolehkan) di mana letak masalahnya hingga perizinan yang sesungguhnya
mudah menjadi serumit benang kusut. Tawaran ini ternyata ditindaklanjuti dengan
mempertemukan saya dengan pemilik Sulenco. Sayangnya pertemuan ini hanya diisi
percakapan setengah serius, diimbuhi janji menyediakan dokumen yang saya
maksud, namun bersama waktu berakhir sebagai sekadar ‘’social courtesy’’ belaka.
Tidak ada kabar berita, bahkan sekadar ‘’hai’’ atau ‘’halo’’. Amin dan wassalam.
Lalu di Juni 2017 ini Bupati Yasti unjuk
gigi. Begitu mulai menjabat, dia langsung menelisik urusan Sulenco, Conch, dan
gadang-gadang pabrik semen yang pengerjaan konstruksinya digenjot habis-habisan
di Desa Solok. Dari pemberitaan dan percakapan yang mengiringi sepak-terjang
Bupati, saya terlongo-longo mengetahui: Sulenco sebagai pemilik konsesi, nyatanya
memang tidak memiliki kelengkapan dokumen yang semestinya dikantongi
setiap perusahaan yang mengeksplorasi kemudian akan mengeksploitasi bahan tambang. Dalam pertemuan dengan manajemen Sulenco pada
Rabu, 31 Mei 2017, sebagaimana yang dinukil totabuan.co
(http://totabuan.co/2017/05/bupati-bolmong-aktivitas-pt-conch-ditutup/),
perusahaan tak mampu menunjukkan dokumen valid yang mendukung operasi bisnis
pertambangan mereka. Jangankan IUP Eksploitasi, WIUP dan IUP Eksplorasinya pun tak
jelas juntrungannya. Artinya, Sulenco (dan Conch) di Lolak sedang membangun
fasilitas pertambangan ilegal. Liar. 100% melanggar hukum.
Status ilegal dan liar itu sesungguhnya
memberikan hak hukum pada Bupati Bolmong untuk mengambil tindakan apapun yang
menjadi kewenangannya. Menghentikan dan menyegel proses konstruksi yang
dilakukan Conch, termasuk merubuhkan semua bangunan yang mereka bangun
(sekalipun memiliki IMB), semestinya sangat masuk akal sesiapapun yang waras
dan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara.
Mempersoalkan hal sepele seperti
pembongkaran bangunan yang didirikan Conch, yang ternyata memiliki IBM, jelas
menghina pikiran sehat. Bagaimana bila Bupati Bolmong menyerang balik,
misalnya, dengan menjerat Sulenco dan Conch melakukan pengerusakan lingkungan
karena aktivitas pembangunan masif ilegal di wilayahnya? Perkara melanggar UU
Lingkungan ini, tentu semua pihak yang melek hukum tahu persis berapa besar
ancaman hukumannya.
Suka atau tidak, jika semua pihak yang
terseret urusan senewen pabrik semen di Lolak ini ingin menyelesaikan
silang-selisih dan sengkarut yang sudah berbelit ini, langkah paling rasional
yang harus diambil adalah: Conch mesti menghentikan seluruh aktivitasnya. Agar
investasi yang sudah ditanamkan tak hanyut atau busuk dimakan panas dan hujan,
Sulenco sebagai pihak yang mengklaim memiliki hak eksploitasi mineral non logam
di Desa Solok, bersegeralah memproses perizinan yang wajib mereka kantongi.
Di zaman kini, dimana investasi adalah
salah satu program utama pemerintah, mengurus perizinan (WIUP, IUP Eksplorasi,
dan IUP Eksploitasi) bukan perkara sulit. Syaratnya: Sulenco harus berbisnis
dengan penuh etika, tertata laksana, serta mematuhi norma dan hukum yang
berlaku. Termasuk menyatakan dengan jelas dan terbuka siapa pihak yang memiliki
hak hukum terhadap wilayah tambang mineral non logam dan eksploitasinya di Desa
Solok; dan siapa yang hanya operator. Bila tidak, memaksa dilanjutkanya
konstruksi kemudian operasi pabrik semen yang kini jadi akar masalah itu, tak
beda dengan provokasi terbuka terhadap Bupati, Pemkab, dan seluruh rakyat
Bolmong.
Pemaksaan, di era saat ini, apalagi karena
investasi terlanjur yang sejak mula terang-benderang melanggar hukum, adalah
tindakan bodoh dan sia-sia. Cuma menimbulkan konflik tajam yang korbannya tak
ingin saya pikirkan, bahkan sekadar lewat bayangan yang dilintaskan di benak.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
Amdal: Analisis Mengenai Dampak Lingkungan; Bolmong: Bolaang Mongondow; IMB:
Izin Mendirikan Bangunan; IUP: Izin
Usaha Pertambangan; Ltd: Limited; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Sulut: Sulawesi Utara; USD: Dolar Amerika Serikat; UU: Undang-undang; Wabup: Wakil Bupati; dan WIUP:
Wilayah Izin Usaha Pertambangan.