KEMENANGAN pasangan Yasti Soepredjo Mokoagow-Yanny Ronny Tuuk di Pilkada
Bolmong 2017 menentukan hasil Pilwako KK 2018. Nujum ini kerap saya dengar
beberapa saat setelah Yasti-Yanny ditetapkan sebagai Cabup-Cawabup menantang
pasangan (petahana) Salihi Bue Mokodongan-Jefri Tumelap.
Ramalan itu bagai déjà vu. Tatkala (petahana) Sehan Landjar-Rusli Gumalangit
mengungguli Sam Sachrul Mamonto-Medy Lensun di Pilkada Boltim 2016, umum di BMR
hampir serentak menyepakati: Eyang akan memainkan peran penting di Pilkada
Bolmong. Apalagi dia kemudian terpilih sebagai Ketua DPW PAN Sulut (dan
Bupati-Wabup Bolmong 2011-2016 tak lain pasangan yang diusung PAN, PDIP, PKS,
dan PDS).
Kelompok yang terang-terangan mendukung dan
mengagumi Eyang bahkan sangat optimis pengaruh politiknya juga bakal sangat
menentukan di Pilwako KK 2018. Pokoknya, pemenang Pilkada Boltim 2016—yang
dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada Bolsel—seolah menjadi kartu ace peta politik BMR di tahun-tahun setelahnya.
Terlebih, walau menang dengan selisih suara cukup besar dari penantangnya,
petahana di Bolsel, Herson Mayulu, seperti berada di lingkar kedua isu utama
politik BMR.
Fakta Pilkada Bolmong 2017 mengubah peta
itu, sekaligus memperjelas polarisasi politik Parpol dan para politikus di BMR.
Sehan Landjar terpilih dari PAN lalu memimpin partai ini di Sulut. Herson
Mayulu adalah Ketua DPC PDIP Bolsel. Yasti adalah pengurus DPP PAN dan anggota
DPR RI dari partai ini; Yanny tak lain Ketua DPC PDIP Bolmong; dan keduanya
diusung PDIP, PAN, dan PKS.
Ringkasnya, Pilkada Bolmong mengkongklusi,
saat ini pertarungan politik BMR dapat dibagi menjadi setidaknya empat
kelompok: (1) Yasti dan para politikus yang sejalan dengan visi dan ide-idenya
seperti Walikota KK, Tatong Bara, dan Wabup Bolmong Yanny Tuuk. (2) Sehan
Landjar dan politikus seperti Rusdi Gumalangit (Ketua DPD PAN Boltim) dan
Djainuddin Damopolii (Ketua DPD PAN KK). (3) Herson Mayulu yang relatif berdiri
sendiri tetapi cenderung lebih sejalan dengan kelompok Yasti Mokoagow. Dan (4)
Bupati Bolmut, Depri Pontoh, yang tampaknya tidak punya masalah dan konflik
politik dengan tiga kelompok lainnya. Depri juga menunjukkan dia tidak memiliki
ambisi dan minat memainkan peran berlebih di jagad politik BMR. Dia sungguh
berkonsentrasi di Bolmut.
PG dan tokoh-tokohnya seperti Marlina
Moha-Siahaan (Ketua PG Bolmong), Aditya Moha Siahaan (anggota DPR RI dari PG Sulut), dan Djelantik
Mokodompit (Ketua PG KK) yang sebelumnya berada di garda depan, untuk sementara
harus puas di lingkar luar mainstream.
Guncangan internal PG yang secara nasional belum jua menemukan keseimbangan
serta problem individu yang menjerat politikusnya, membuat nilai tawar mereka
memudar di tengah masyarakat Mongondow.
Di tengah gambaran besar itu, dinamika lain
yang mempermarak pengelompokan politik dan para politikus di BMR adalah adanya
perubahan afiliasi, misalnya bergabungnya anggota DPD RI yang menjadikan Mongondow
sebagai basis konstituen, Benny Rhamdani, ke Hanura. Sejumlah orang, terutama
para pembual di warung-warung kopi sudah menyiarkan spekulasi, posisi baru
Benny ini bakal membawa dampak penting terhadap politik BMR.
Saya mengenal dekat Benny Rhamdani dan
selalu mudah takjub dengan manuver politiknya. Dengan sungguh menghormati
prestasi politiknya yang unik sejak pertama kali dia terpilih sebagai anggota
DPRD Sulut dari PDIP, menurut hemat saya, di Hanura—yang sama sekali berbeda
gaya dan praktek politik dibanding PDIP yang membesarnya dia—Benny akan
menemukan kesulitan luar biasa. Tradisi politiknya yang cenderung keras (bahkan
seringkali ‘’brutal’’) memerlukan penyesuaian lama sebelum pas dengan nafas
Hanura.
Jadi, bagaimana peta politik dan politikus
BMR di 2018? Mengutip Ketua Umum DPP PAN, Zulkifli Hasan, zonabmr.com, Selasa, 17 Januari 2017 (https://www.zonabmr.com/pilwako-2018-ketum-pan-tegaskan-kembali-usung-tatong-bara/)
memastikan, partai ini tetap mengusung Tatong Bara di Pilwako KK 2018. Kemenangan
Yasti-Yanny di Pilkada Bolmong mempertegas tiket yang ada di genggaman Tatong
tak bakal terusik, kecuali ada hal sangat luar biasa yang terjadi. Yasti dan
gerbongnya membuktikan, perencanaan dan eksekusi politik yang rapi mampu
meredam pengaruh Sehan Landjar dan kelompoknya serta nostalgia dominasi PG
(Marlina-Aditya Moha-Djelantik).
Tersebab titik pandang utama politik BMR
terpaku pada rivalitas tiga kelompok politik (Yasti-Sehan Landjar-Herson
Mayulu), yang paling diuntungkan adalah Depri Pontoh. Sebagai petahana di
Pilkada Bolmut 2018 (yang dilaksanakan serentak dengan Pilwako KK) dia bakal
mudah mendapatkan dukungan. Posisi aman Tatong dan Depri itu disertai keawasan
siapa tokoh yang dipilih sebagai pendamping. Salah memilih Cawawali/Cawabup,
Tatong dan Depri bakal berhadapan dengan gangguan yang potensial mengubah lanskap
politik BMR saat ini.
Siapa calon wakil Tatong Bara di Pilwako
2018? Demi keutuhan PAN, pilihan rasionalnya tetap Djainuddin Damopolii. Tapi
publik sudah mafhum, TB-Djadi telah tamat sejak usai tahun pertama kepemimpinan
mereka. Djainuddin bahkan belakangan terang-terangan mengisyaratkan dia akan maju sebagai
kandidat Cawali. Maka, di antara sejumlah banyak nama yang beredar, menurut
hemat saya, yang paling mendekati ideal dan masuk akal (mengingat kedekatan,
prestasi, serta persepsi publik KK) adalah mengandeng Ketua KPU KK (yang
dinobatkan sebagai salah satu KPU terbaik di Indonesia) saat ini, Nayodo
Kurniawan.
Dari sisi netralitas politik, Nayodo mudah
diterima oleh parpol mana pun yang bakal berkoalisi dengan Tatong (PAN).
Hubungannya dengan para ‘’tokoh pemain utama’’ seperti Yasti-Sehan-Harson pun
relatif baik. Satu-satunya halangan
untuk pasangan ini jika Djainuddin Damopolii, entah bagaimana, berhasil
mendapatkan tiket sebagai Cawali dan mampu menggandeng pasangan yang lebih kuat
dari Nayodo Kurniawan—yang jelas sulit ditemukan di BMR. Bahwa ada spekulasi
pasangan Djelantik Mokodompit-Djainuddin Damopolii cukup ampuh menghadang
Tatong Bara dan siapapun Cawawali-nya, menurut pendapat saya, walau tak
mustahil (mengingat politik adalah kompromi) tak mudah diwujudkan; sebagaimana
gosip Djainuddin Damopilii-Aditya Moha (di atas kertas lebih lemah) yang lebih
masuk akal tetapi berarti mengesampingan Djelantik sebagai Ketua PG KK.
Akan halnya Depri Pontoh, sekali lagi dia
diuntungkan. Tidak ada ruginya dia tetap bersama Suriansyah Korompot atau mengganti pasangan. Dinamika politik Bolmut
yang teduh dan tenteram, cukup menjadi jaminan penerimaan masyarakat terhadap
gaya dan pendekatan kepemimpinannya.
Namun, sesungguhnya di mana titik
keseimbangan politik di BMR di (minimal) tujuh tahun mendatang? Dari amatan
saya, komposisi paling ideal dimulai dari kompromi-kompromi di Pilwako KK dan
Pilkada Bolmut.
Pertama, koalisi PAN-PDIP dan beberapa partai sejalan mengusung Tatong
Bara-Nayodo Kurniawan di Pilwako. Hal yang sama dilakukan di Pilkada Bolmut
dengan kesepakatan yang fair siapa
yang diusung sebagai Cawabup—yang sejauh ini masih menunjukkan peluang terbesar
tetap Suriansyah.
Dan kedua,
sebagai kompromi, Djainuddin Damopolii disepakati diusung ke DPRD Sulut pada
2019; Sehan Landjar dan Herson Mayulu ke DPR RI; dan Muslimah Mongilong
(anggota DPRD Sulut mewakili Bolmong dari PDIP) disiapkan menjadi Wabup Bolsel
mendampingi Iskandar Kamaru ketika Herson Mayulu menanggalkan jabatannya.
Di manakah posisi tokoh-tokoh lain seperti
Aditya Moha dan Benny Rhamdani (yang pasti juga berkeinginan ke DPR RI setelah
bergabung dengan Hanura)? Mohon maaf, saya tidak bermaksud mengecilkan
keduanya, tetapi pasar politik saat ini jelas lebih berpihak pada Sehan Landjar
dan Herson Mayulu jika keduanya serius berniat ke DPR RI pada 2019. Konstituan
Aditya Moha adalah irisan identik dengan ‘’penggemar’’ Sehan Landjar; sedang lapangan
politik Benny Rhamdani yang selama ini bertumpuh pada pemilih PDIP, pasti
cenderung loyal pada Herson Mayulu yang 100% merepresentasikan partai ini.
Sebagai duga-duga belaka, idealisasi itu
belum tentu masuk akal dan ‘’dibeli’’ oleh parpol dan para politikus utamanya
di BMR. Apalagi jika para tokoh—setidaknya yang saya sebutkan di tulisan
ini—kemudian asyik merasa ‘’besar’’, lebih pantas dari yang lain, dan enggan
berkompromi; lalu mulai mengatraksi umum dengan pendekatan klasik dan kuno
politik di BMR: menggunakan aktivis, LSM, wartawan dan media, dan bahkan ASN mengkampanyekan
diri mereka dengan segala cara.
Delusi ‘’tokoh’’ ala aktivis, LSM, wartawan
dan media, dan (bahkan) ASN yang dipraktikkan di BMR memang efektif di masa
lalu. Makin ke belakang, daya pukau mereka (yang biasanya mudah ditemukan di
warung-warung kopi) kehilangan tuah. Publik sudah memahami, keramaian yang
mereka buat tidak lebih dari sekadar kepentingan mendapatkan keuntungan sesaat.
Soldier of furtune. Para tentara
bayaran yang mudah berpindah pihak, tergantung seberapa royal tokoh yang
diusung mengucurkan rupiah. Para pembual yang modal utamanya cuma omong kosong,
tapi fasih dan piawai membaca kebodohan tokoh publik dan politikus yang akan
diperdaya.
Etika (politik-sosial-budaya) yang mereka
anut adalah kompensasi. Entah itu uang, posisi, atau kemudahan yang
menguntungkan secara ekonomi. Minimal kopi gratis dan uang jajan memadai.
Mereka, boleh dibilang, fakir etika dalam pengertian utuh, yang sebenarnya
tidak memberikan dampak apa-apa kecuali keriuhan di tempat-tempat berbual,
media sosial, serta beberapa situs berita abal-abal dan terbitan bertendensi
kuning.
Dengan demikian, terserah para pemain utama
publik dan politik BMR itu, apakah mereka memilih akal sehat dan kompromi; atau
delusi dan kepercayaan seolah-olah yang akhirnya berujung pada zero sum game politik.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
ASN: Aparatur Sipil Negara; BMR:
Bolaang Mongondow Raya; Bolmong:
Bolaang Mongondow; Bolmut: Bolaang
Mongondow Utara; Bolsel: Bolaang
Mongondow Selatan; Boltim: Bolaang
Mongondow Timur; Cabup: Calon Bupati;
Cawabup: Calon Wakil Bupati; Cawali: Calon Walikota; Cawawali: Calon Wakil Walikota; Djadi: Djainuddin Damopolii; DPC: Dewan Pimpinan Cabang; DPD: Dewan Pimpinan Daerah/Dewan
Perwakilan Daerah; DPP: Dewan
Pimpinan Pusat; DPR: Dewan
Perwakilan Rakyat; DPRD: Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah; DPW: Dewan Pimpinan
Wilayah; Eyang: Sehan Landjar; Hanura: Hati Nurani Rakyat; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; PAN: Partai Amanat Nasional; Parpol: Partai Politik; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan; PDS: Partai Damai
Sejahtera; PG: Partai Golkar; PKS: Partai Keadilan Sejahtera; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Pilwako: Pemilihan Walikota/Wakil
Walikota; RI: Republik Indonesia; Sulut: Sulawesi Utara; TB: Tatong Bara; dan Wabup: Wakil Bupati.