ADA dugaan penelikungan administrasi dan tindak pidana perizinan—yang
menjadi wewenang Pemda Bolmong—pembangunan pabrik semen PT Conch North Sulawesi
Cement di Desa Solog, Lolak. Kabarnya, demikian yang marak di media (cetak dan
elektronik), untuk kepentingan perizinan lokal, setidaknya duit senilai Rp 1,8
miliar sudah wara-wiri masuk kantong oknum elit Pemkab dan DPRD Bolmong.
Isu itu segera jadi geger,
terlebih—sebagaimana yang dilansir totabuan.co,
Kamis, 3 Agustus 2017 (http://totabuan.co/2017/08/yusuf-izin-yang-ditandatangi-mantan-bupati-bolmong-diduga-dipalsukan/)—koordinator
delapan LSM yang mengedepankan isunya, Yusuf Mooduto, memastikan membawa dugaan
penyelewengan tersebut ke meja hukum. Yang bakal diseret, menurut dia, adalah
oknum elit birokrasi dan DPRD Bolmong karena melakukan pemerasan.
Media lain, kroniktotabuan.com, Jumat, 4 Agustus 2017 (https://kroniktotabuan.com/bolmong/polda-sulut-akan-lidik-dugaan-suap-rp18-miliar),
yang juga mengangkat isunya, bahkan dengan mengkonfirmasi ke Kabid Humas Polda
Sulut, Kombes Pol Ibrahim Tompo, justru tidak menggunakan frasa ‘’pemerasan’’,
melainkan ‘’suap-menyuap’’. Apapun itu,
pemerasan atau suap-menyuap, polisi berjanji menindaklanjuti dengan
penyelidikan. ‘’Nanti akan dilidik,’’ tulis kroniktotabuan.com,
mengutip Kabid Humas Polda Sulut.
Penggunaan dua kata berbeda untuk isu duit
yang mewarnai kisruh pabrik semen PT Conch di Desa Solog, sejatinya
berkonsekwensi berbeda pula. Jika pendekatannya adalah ‘’pemerasan’’,
sepemahaman saya terhadap hukum (yang tentu sangat terbatas), mengkongklusi ada
pelaku tindak pidana dan ada yang menjadi korban. Merunut pernyataan-pernyataan
dari tokoh utama yang mengangkat isu ini, Yusuf Mooduto, para pemeras tak lain
beberapa oknum elit pemerintahan dan anggota DPRD Bolmong. Sedang korbannya adalah
PT Sulanco Bohusami Cement yang mengklaim mengantongi konsesi cebakan kapur
(bahan baku utama semen), yang pabrik pengolahannya menjadi semen
diinvestasikan oleh Anhui Conch Cement Limited Ltd dari Cina.
Peristiwa pemerasannya sendiri
disebut-sebut terjadi sejak pertengahan 2016 lalu dan melibatkan uang senilai
‘’hanya’’ Rp 1,8 miliar. Jika demikian adanya, maka pihak berwajib dan
berwenang tidak terlampau sulit ‘’menyelidiki’’ dugaan kasusnya. Apalagi delapan
LSM yang mengarus-utamakan dugaan tindak pidana ini mengaku mengantongi
bukti-bukti tak terbantahkan.
Polisi atau pihak berwajib dan berwenang
yang menyelidiki dan menyidik cukup memanggil pihak yang mengaku sebagai korban
(PT Sulenco), meminta bukti-bukti tertulis yang sudah dinyatakan ke depan umum
(oleh delapan LSM), dan langsung mentersangkakan semua oknum brengsek yang ada
dalam daftar penerima uang hasil pemerasan yang mereka lakukan.
Masalahnya, kalau PT Sulenco merasa
terpaksa dan hanya jadi korban pemerasan, kok
baru meramaikan kasusnya setelah satu tahun berlalu? Apakah karena merasa
tertipu, sebab perizinan yang sudah ditebus dengan biaya mahal ternyata sekadar
bom waktu yang baru meledak ketika rezim pemerintahan di Bolmong berubah, dari
Bupati Salihi Mokodongan ke Bupati Yasti Soepredjo Mokoagow? Atau, mendadak
para petinggi perusahaan ini baru tersadar mereka telah menjadi korban tindak
pidana?
Mungkin pula PT Sulenco tidak mengikuti
perkembangan di negeri ini dan abai, bahwa sejak November 2016 lalu di
Sulut—disusul beberapa kabupaten/kota di provinsi ini—telah dibentuk Tim Saber
Pungli? Bahwa khusus investasi, terlebih investasi asing, sejak terpilih Presiden
Jokowi-Wapres Jusuf Kalla mati-matian mempermudah segala tetek-bengek perizinannya?
Menurut hemat saya, PT Sulenco bukanlah
usaha kelas warung biapong yang tak
punya penasihat hukum. Yang beroperasi di tengah hutan belantara dan terisolasi
dari dunia luar hingga buta tuli terhadap dinamika dan perkembangan di luar
jendela kantornya. Dengan demikian, rasanya dugaan pemerasan ini cukup tak
masuk akal untuk begitu saja kita amini.
Adalah lebih rasional perkara yang
melibatkan uang panas Rp 1,8 itu, yang kini jadi getah beracun untuk para
penerimanya, dimaknai sebagai suap-menyuap antara oknum birokrasi-politikus pemegang
otoritas perizinan dan pebisnis yang doyan mengambil jalan pintas. Ini soal
laten di Indonesia: kerakusan oknum elit birokrat dan politikus yang sedang
memegang jabatan tertentu berpadu-padan dengan pebisnis licik yang tahu
memanfaatkan perilaku tamak dan bejad aparat yang berkuasa.
Tentu lebih mudah lagi buat aparat berwajib
dan berwenang menyidik jika kasusnya adalah dugaan suap-menyuap. Gunakan saja
bukti-bukti yang ada di tangan delapan LSM yang meramaikan isunya, lalu panggil
pihak-pihak yang menyogok dan yang menerima sogok. Mereka pasti dengan seketika
saling bernyanyi nyaring sekali.
Ironisnya, konon bukti-bukti yang digenggam
delapan LSM yang dikoordinir Yusuf Mooduto didapat langsung dari pihak yang
memberikan uang. Jumlahnyapun, jika ditotal, kabarnya bukan hanya Rp 1,8
miliar, tetapi berkisar lebih dari Rp 6-7 miliar. Artinya, calon tersangka
dugaan kasus perizinan pabrik semen PT Conch di Solog ini bakal melibatkan
sederet orang.
Saya sungguh tak sabar menunggu dugaan
suap-menyuap itu dibeber selengkap-lengkapnya. Sudah terbayang bagaimana
lucunya melihat tampang-tampang oknum elit birokrasi dan anggota DPRD Bolmong
yang terlibat, tatkala harus berbaris masuk jeruji besi dengan seragam bertulis
‘’tahanan’’.
Tak kurang lucunya juga, berkaitan dengan
kisruh operasi bisnis Conch di wilayah lain Indonesia (simak di tulisan Mengapa Conch
Bisa Seenaknya ‘’Udelnya’’ di Indonesia? yang diunggah di blog
ini, Rabu, 2 Agustus 2017), adalah kalau terbukti inisiatif dugaan suap-menyuap
itu datang dari pihak PT Sulenco (dan partner
bisnisnya, PT Conch). ‘’Kalau’’ yang bukan tak mungkin menjadi fakta ini, serta-merta
mengiring publik pada sangkaan: barangkali memang demikian modus yang suka
mereka gunakan dalam praktek bisnisnya. Toh
bukan rahasia lagi, entitas bisnis yang terang-terangan melanggar hukum dan
tidak dijerat dengan tegas, hanya mungkin karena dua hal: punya backing perkasa dan maha kuat; atau yang
berani mengucurkan sogok dalam jumlah fantastis ke banyak tangan yang punya
kuasa dan kewenangan.
Kita, khususnya masyarakat BMR, tak
bisa menduga kemana dugaan kasus ini akan berbelok. Yang pasti dan semestinya
sejak mula telah disadari oleh Yusuf Mooduto dan delapan LSM yang informasinya bakal
resmi melaporkan dugaan kasusnya pada Selasa, 8 Agustus 2017, bila pihak
berwajib dan berwenang serius mengusut—entah dengan dugaan pemerasan atau suap-menyuap—hingga
tuntas dan berkekuatan hukum tetap, mereka boleh bertepuk dada sebagai
‘’pahlawan’’.
Sebaliknya, jika ternyata kasusnya
berakhir sekadar keramaian di media massa, terlebih aparat berwajib dan
berwenang menyatakan ‘’tak cukup bukti’’, Yusuf Mooduto dan delapan LSM yang
mengusung isu dugaan tindak pidana ini mesti bersiap-siap menanggung
konsekwensi jadi tersangka. Paling minim mereka patut diduga melakukan
provokasi, menyiarkan kabar bohong yang menganggu keamanan dan stabilitas umum,
atau bahkan terorisme informasi.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPRD:
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Humas:
Hubungan Masyarakat; Jokowi: Joko
Widodo; Kabid: Kepala Bidang; Kombes: Komisaris Besar; LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; Ltd: Limited; Pemda: Pemerintah Daerah; Pemkab:
Pemerintah Kabupaten; Pol: Polisi; Polda: Kepolisian Daerah; PT: Perseroan Terbatas; Pungli: Pungutan Liar; Saber: Sapu Bersih; Sulut: Sulawesi Utara; dan Wapres: Wakil Presiden.