PAN membuka pendaftaran Cawali dan Cawawali KK 2018-2022. Langkah
parpol penguasa kursi terbanyak di DPRD KK 2014-2019 ini segera diikuti oleh
Hanura, PG, dan PDIP. Kita, entah orang banyak yang sadar—atau justru sedikit
yang masih memelihara kewarasan—menyaksikan politik di KK (barangkali pula BMR,
dan bahkan Indonesia, umumnya) adalah percampuran menggelikan dari ambisi,
kebodohan, dan parpol yang tak beda dengan lembaga para calo.
Jauh sebelum keriuhan politik Pilkada 2018
mengeliat di KK, saya kerap ditanya apakah berminat maju sebagai Cawali atau
Cawawali. Saya tahu, kebanyakan orang yang melontarkan pertanyaan itu
sebenarnya sekadar berbasa-basi, demi kesantunan sosial sebelum memulai
percakapan lebih masuk akal dan serius. Beberapa lainnya (terutama mereka yang
jengkel dengan ‘’kecerewetan’’ saya) adalah sindiran yang dapat diartikan: ‘’Nyanda usah banya mulu. Kalu butul orang
percaya, noh maju jadi Cawali atau Cawawali dang.’’
Menggunakan kepercayaan diri yang agak
keterlaluan, saya yakin ada satu-dua penduduk KK yang percaya saya mampu
menjadi pemimpin (politik dan birokrasi). Secara pribadi, saya menghormati diri
sendiri dengan mempercayai: karir profesional yang tak linier 30 tahun terakhir
telah cukup memberi bekal pengetahuan, keterampilan, kompetensi, dan
kapabilitas menjadi pemimpin. Minimal tidaklah memalukan bila mesti memimpin
rapat atau pidato di depan orang banyak.
Pendek kata: ‘’Kalu jadi Walikota atau Wawali cuma modal banya mulu, boleh rayu
pohong pisang sampe dia barasa pohong kalapa, kita pasti minimal dapa angka
9.’’ Ihwal biaya politik yang
biasanya jadi momok di negeri ini, gampang belaka. Ketika seseorang menjadi
Cawali atau Cawawali dan dianggap punya peluang terpilih, dia dengan mudah
menemukan ‘’teman’’ berkantong tebal. Tentu saja, ‘’tak ada makan siang
gratis.’’ Hari ini Anda ditraktir, besok gantian Anda mentraktir.
Mereka yang terus-menerus hanya mau
ditraktir: jika bukan dhuafa berkelanjutan, maka pastilah tak punya otak
permanen.
Untunglah, saya tahu persis, halusinasi kepingin jadi Cawali atau Cawawali harus
diimbangi dengan ketahutempatan dan ketahudirian. Saya bukan kader parpol.
Tidak tercatat sebagai anggota salah satu parpol. Hanya simpatisan. Itupun saya
bersimpati pada PAN karena jajaran elitnya (di Sulut) kebanyakan adalah teman
atau kenalan baik. Saya bersimpati pada
PDIP, sebab punya sejarah dan kedekatan pribadi dengan sepak-terjang parpol ini
sejak zaman Orba. Saya bersimpati pada PG karena—menurut pandangan sangat
individual saya—sudah benar-benar jadi lembaga politik; bukan lagi organisasi
fans tokoh tertentu. Saya bersimpati pada PKS, bahkan pernah melamar jadi
anggota dan sukses ditolak, sebab ingin belajar dan mempraktekkan ‘’politik
Islam yang tawadu’ dan kaffah’’, yang nyatanya ‘’pret’’ belaka.
Buru-buru masuk parpol menjelang Pilkada
KK, demi impian jadi Cawali atau Cawawali, cuma mengaminkan potongan lirik
lagu: ‘’terlambat sudah kau datang
padaku….’’ Pilihan satu-satunya yang terhormat, sejalan dengan konstitusi,
dan sehat bagi demokrasi, adalah jalur independen. Ini perkara maha sulit.
Kehidupan pribadi saya dan keluarga (termasuk keluarga besar) baru sampai taraf
cukup dengan sedikit kelebihan. Belum berlebih-lebihan.
Menjadi politikus independen yang ikut
kompetisi politik hanya bermodal baliho dan Insya
Allah terpilih, menurut pandangan saya, adalah kejumudan yang keterlaluan.
Apalagi praktek politik kita masih dengan sengaja digiring agar tetap
tradisional dan transaksional. Jangan berharap orang banyak berbondong
mengerahkan sumber dayanya demi mendukung tokoh yang dianggap pantas dan layak
didudukkan sebagai pemimpin (politik dan birokrasi).
Parpol yang mayoritasnya masih lembaga fans
dan kebanyakan politikus yang doyan membeli konstituen, berhasil mendidik
masyarakat, bahwa: Pemilu, Pilkada, atau peristiwa politik besar pasti membawa
rezeki pada para pemilih. Tim sukses artinya pekerjaan. Simpatisan berarti ada
biaya penggantian waktu dan tenaga. Dan bahkan ke TPS-pun ada harganya.
Tapi, masih ada harapan, walau setipis
rambut. Parpol sebagai lembaga politik, institusi yang menyiapkan pemimpin
politik (dan publik), juga berperan sebagai talent
scouting. Di luar mendidik dan mengkaderkan anggota atau simpatisannya,
parpol yang berorientasi pada kualitas, seharusnya berperan aktif menemukan outsider dan outlier, membawa masuk dan secara selektif memberi mereka
kesempatan.
Dalam pandangan saya, membuka pendaftaran
Cawali atau Cawawali (pula Caleg, Cabup-Cawabup, Cagup-Cawagub, bahkan
Capres-Cawapres) adalah peran aktif parpol dengan cara malas dan tak
berkualitas. Parpol tidak difungsikan sebagaimana klaim omong besar selama ini:
sebagai institusi kader. Pendaftaran calon kepala daerah/negara atau anggota
legislatif menjelang pelaksanaan Pilkada atau Pemilu, tak beda dengan
percaloan. Menjual karcis bioskop di luar booth
resmi, sesaat sebelum pertunjukan dimulai.
Ada calo, tentu ada pula konsumennya yang
jumlahnya ternyata ‘’astaga’’. Lihat saja bagaimana di Pilkada KK yang sudah
menggeliat, orang-orang (dari politikus, pengangguran banyak gaya, ASN,
pedagang, hingga wartawan) berbondong mendadak politikus, menyodorkan diri ke
parpol-parpol yang membuka pendaftaran bakal kandidat. Politik Pilkada pada
akhirnya menjadi sekadar ajang pencarian bakat semacam Indonesian Idol, KDI, atau AFI.
Ketika ambisi kekuasaan merasuk, akal sehat
perlahan mati. Mereka yang bukan politikus bersesakan mendaftar sebagai calon
kepala daerah di parpol-parpol yang membuka pendaftaran, apapun alasannya,
memang mengambil jalan pintas. Namun politikus, kader parpol, apalagi yang
masih menduduki jabatan politik sebagai Walikota atau Wawali, dengan bangga
ikut mendaftar ke partainya sendiri dan partai lain, dalam pandangan saya
adalah politikus idiot.
Untuk apa mereka berpartai? Terlebih jika
dia adalah Ketua DPW, DPD, DPC, apalagi DPP, dan terbukti telah meraih jabatan
politik elit. Bagaimana pula mekanisme di dalam parpolnya? Bikin apa saja sang
parpol selama lima tahun hingga tak punya sistem penyiapan dan indikator siapa
kadernya yang diterima dan didukung oleh konstituen?
Praktek politik ‘’tiba saat, tiba masalah’’
hanya menghasilkan para pemimpin pencitraan berbiaya mahal, yang akhirnya cuma
jadi predator terhadap orang banyak yang dia pimpin. Yang menempatkan seluruh
kita tak beda dengan kerbau dungu yang gagal memetik pelajaran dari pengalaman
praktek politik ‘’pemilihan langsung’’ setidaknya dalam 19 tahun terakhir.
Itu sebabnya, di tengah keriuhan
bermunculannya nama-nama yang mendaftar di parpol-parpol yang tengah menjaring
kandidat untuk Pilkada KK 2018, saya bersyukur sembari mengusap dada.
Setidaknya, sekalipun—dengan sejujurnya—punya mimpi jadi kandidat Cawali atau
Cawawali, saya masih terlalu waras untuk merendahkan diri jadi korban
percaloan. Sekadar demi pernah mencatatkan diri sebagai kandidat.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
AFI: Akademi Fantasi Indonesia; ASN:
Aparatur Sipil Negera; BMR: Bolaang
Mongondow Raya; Cabup: Calon Bupati;
Caleg: Calon Legislatif; Capres: Calon Presiden; Cawabup: Calon Wakil Bupati; Cawagub: Calon Wakil Gubernur; Cawali: Calon Walikota; Cawapres: Calon Wakil Presiden; Cawawali: Calon Wakil Walikota; DPC: Dewan Pimpinan Cabang; DPD: Dewan Pimpinan Daerah; DPP: Dewan Pimpinan Pusat; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; DPW: Dewan Pimpinan Wilayah; Hanura: Hati Nurani Rakyat; KDI: Kontes Dangdut Indonesia; KK: Kota Kotamobagi; Orba: Orde Baru; PAN: Partai Amanat Nasional; Parpol:
Partai Politik; PDIP: Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan; Pemilu:
Pemilihan Umum; PG: Partai Golkar; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Sulut: Sulawesi Utara; TPS: Tempat Pemungutan Suara; dan Wawali: Wakil Walikota.