Merangkul para musuh dan mereka yang berseberangan adalah
bentuk kecerdasan strategi dan taktik seorang politikus. Tetapi bila disaat
bersamaan melepaskan orang-orang yang sebelumnya dengan telaten dan sungguh-sungguh
telah memberikan dukungan penuh, adalah bentuk vulgar dari ‘’kebodohan tingkat
dewa’’.
Kekuasaan memang membutuhkan orang-orang yang siap dan
tabah. Siap untuk tak gegar dan tabah menjaga kesadaran.
Gerombolan Kalap
Saya tidak melihat kesiapan dan ketabahan itu dimiliki para
politikus Bolmong yang kini saling kait-mengait karena hutang-piutang politik
dan afiliasi politik. Mereka ibarat kelompok yang tiba-tiba kalap dan yakin
bisa melakukan apa pun, mendapatkan apa pun, karena semua orang bisa bersetuju
tersebab jerih dan segan berdiri di sisi lain arus besar yang bakal melindas
para penentang.
Kekalapan itu, salah satunya, terekspresi dari rolling eselon II yang dilakukan
Bupati-Wapub Bolmong beberapa waktu lalu.
Bertahun-tahun bekerja di perusahaan multi nasional, bukan
di posisi cecere, telah mengajarkan banyak
hal. Antaranya: Ketika kita memilih para pembantu, di level penting setingkat
manajer (atau kepala dinas dan badan di kabupaten), penilaian utama adalah
kompetensi dan rekam jejak. Setelah itu barulah menyusul faktor lain, misalnya loyalitas
dan kemerataan.
Menelusuri nama-nama yang dipilih Bupati-Wabup Bolmong
membantu mereka selama lima tahun ke depan sebagai kepala dinas dan badan,
pengetahuan manajerial yang saya pelajari bertahun-tahun terguncang keras. Saya
tidak melihat faktor kompetensi dan rekam jejak menjadi pertimbangan utama.
Spekulasi dan bisik-bisik yang sampai dan disampaikan ke kuping saya
mengatakan: Kabinet Salihi Mokodongan-Yani Tuuk disusun demi melapangkan jalan
Wakil Walikota (Wawali) Kota Kotamobagu (KK) yang juga Ketua Dewan Pengurus
Wilayah (DPW) partai tempat Salihi bernaung ke kursi Walikota KK.
Murah betul harga visi besar yang pernah
didengung-dengungkan pasangan Bupati-Wabup ini ketika mereka ‘’bertarung’’
memperebutkan kursinya.
Namun dengan kewarasan kepala dan hati yang dingin, saya
menolak spekulasi dan bisik-bisik itu. Tentu ada
pertimbangkan-pertimbangan matang dan kajian yang sudah mendahului penunjukkan
para kepala dinas dan badan itu. Birokrasi, seburuk apa pun, punya sistem dan
mekanisme baku yang saya yakin secara alamiah mampu memilih orang-orang terbaik
dan kompeten dengan rekam jejak solid, sekali pun itu pilihan buruk di antara
yang terburuk.
Penolakan itu membuat saya menelepon patron politik Salihi
Mokodongan, yang pengaruhnya lebih tinggi dari Ketua DPW. Yang mengejutkan,
bukannya mendapat jawaban, saya justru diinformasikan perihal seorang kerabat (yang
harus diakui adalah kerabat sangat dekat) yang digeser dari kepala dinas menjadi
staf ahli bupati. Alasannya, karena Menteri Anu kurang berkenan dengan
loyalitas sang kepala dinas.
Seketika jantung saya serasa dipalu. Menggeser setan belang
sekali pun dari kepala dinas jadi tukang sapu, sepenuhnya hak Bupati-Wapub atau
siapa pun yang memberi saran, nasihat, masukan dan pertimbangan ke keduanya. Tapi
memberikan alasan yang menista akal sehat, sungguh sukar diterima bahkan oleh
orang seperti saya yang sadar bukan siapa-siapa dan karenanya tak berhak berharap
dan meminta apa-apa, kecuali (kalau pun itu berkenan) menyampaikan satu-dua
pertanyaan.
Menteri mengurusi gubernur, kepala dinas/badan provinsi (di
bawah yuridiksinya), bupati atau walikota, masih masuk akal. Tapi kepala dinas,
di kabupaten setara Bolmong pula, jelas kumur-kumur tak bertanggungjawab.
Saya merasa isi kepala dan pengetahuan saya dihina.
Seolah-olah saya (dan kebanyakan kita) hidup diketiak batu dan buta-tuli
terhadap hirarki politik dan birokrasi di negeri ini.
Akhirnya: Cuma
Sekumpulan Pedagang
Keterhinaan itu, termasuk sebagai orang Mongondow, kian getir
ketika membaca tulisan Amato Assagaf (Drama
Lembah Bening yang Menggelikan, Radar
Totabuan, Kamis, 26 April 2012) di mana dia menukil Bupati Bolaang
Mongondow Selatan (Bolsel), Herson Mayulu. Di acara reses anggota DPR RI yang
juga Ketua Komisi V, Yasti Mokoagow, Mayulu memaklumatkan: ‘’Saya
sudah siapkan strategi, termasuk penempatan sejumlah SKPD asal Kotamobagu, bisa
jadi ujung tombak kemenangan Pilwako nanti…’’
Jadi begitukah cara para politikus di Mongondow memanfaakan
kekuasaan politik yang ada di genggamannya? Mereka memperdagangkan kepercayaan
rakyat dan profesionalisme (juga independensi) birokrasi demi kepentingan
mendudukan seseorang? Tidakkah Bupati Bolsel menyadari bahwa pernyataan itu
adalah niat terbuka menyeret birokrasi melepaskan indepensinya dan melacur demi kepentingan politik?
Bahkan pelopor ilmu politik modern, Niccolo di Bernardo
Machiavelli, yang diidentikkan dengan penghalalan segala cara demi
mencapai kekuasaan (sebab itu perilaku demikian dilabeli sebutan Machiavellian),
barangkali bakal jijik mendengar pernyataan seperti itu.
Bagi saya pribadi, ‘’drama Lembah Bening’’ (menurut tafsir
Amato) hanya mengkonfirmasi bahwa sekelompok orang yang saat ini punya kekuasaan
politik di Mongondow memang hanya pedagang dengan isi kepala keuntungan jangka
pendek: kekuasaan. Maka lupakan saja visi besar membangun Mongondow. Di tangan sekelompok
orang kalap, serakah dan celakanya sedang berkuasa, hajat hidup
orang banyak tak masuk dalam daftar prioritas.
Di sisi lain, berhubungan dengan pedagang tak bisa tidak
membuat kita harus menggunakan logika jual-beli. Untuk konteks Mongondow, lebih
khusus Pilwako KK yang sebentar lagi akan berlangsung, saya menolak berdagang
politik. Karena itu, saya sungguh serius mempertimbangkan mendukung Djelantik
Mokodompit untuk masa jabatan kedua (lagipula siapa yang bisa melarang saya
menggunakan hak sebagai warga negara?), Muhammad Salim Lanjar, atau calon alternatif lain.
Adalah lebih terhormat mendukung Djelantik Mokodompit yang secara
terbuka diketahui berseberangan dengan saya (karena posisinya jelas dan tegas;
yang bakal membuat saya tidur nyenyak dan terjaga di pagi hari dengan pikiran bahagia:
Apa lagi omelan yang akan dituliskan untuk dia?), ketimbang sekelompok orang
yang tidak saya kenali lagi ideologi dan pemihakannya. Pilihan lain adalah Muhammad Salim Lanjar, yang di isu-isu tertentu bisa cakar-cakaran dengan saya, tetapi selalu menjadi kawan diskusi menyenangkan kala kami bertemu dan menyeruput kopi.
Kalau sekelompok orang yang kebetulan sedang berada di posisi elit politik ingin membawa Mongondow menjadi sekadar sekeranjang onde-onde, mengapa tidak sekalian kita jadikan saja daerah ini toko camilan?***
Kalau sekelompok orang yang kebetulan sedang berada di posisi elit politik ingin membawa Mongondow menjadi sekadar sekeranjang onde-onde, mengapa tidak sekalian kita jadikan saja daerah ini toko camilan?***