Motif kedua lebih masuk akal. Hanya saja Fahri Damopolii
perlu berkaca di ujung pensil. Hingga 15-20 tahun ke depan, sekali pun dia
berhenti menjadi pegawai negeri sipil (PNS), kembali lagi ke sekolah hingga
meraih gelar S3 sembari siang-malam mengasah ilmu tulis-menulis, lawan
sepadannya hanya murid dari murid dari murid saya. Itu pun yang lulusnya cukup
sampai kelas reporter. Lagipula tidak pantas belut cemburu, sirik atau dengki
pada naga.
Akan halnya motif mengolok-olok, saya sudah mengingatkan
yang bersangkutan, bahwa saya bisa membuat dia mengunyah dengkul dan sikut,
setelah itu memamah giginya sendiri. Saya akan membuktikan peringatan ini.
Motif ketiga hingga kelima lebih gawat lagi. Sekali pun
artikel Fahri Damopolii seolah adalah pembelaan, faktanya dia justru terang-terangan
menghina Bupati Salihi Mokodongan dan Istri sebagai ‘’bodoh dan super tolol’’ (kata-kata yang tidak
pernah saya gunakan di serial tulisan yang dijadikan rujukan). Bupati Salihi
Mokodongan dan keluarga semestinya serius mempertimbangkan menggugat penulis
artikel yang dengan gamblang menghina tanpa dasar itu.
Di sisi lain, dengan menggunakan tulisan-tulisan saya, tak dapat
dielakkan bahwa ada motif jahat artikel itu menjadi barang dagangan ke Bupati
Bolmong. Kalau Fahri Damopolii berani menuduh kritik saya punya muatan pribadi;
maka sebaiknya dia mesti bersigegas mengecek lagi kerabat dekatnya yang mana
yang sudah tersingkir dari ‘’lingkar dalam’’ birokrasi Bolmong. Hati-hati,
meludah ke arah angin hasilnya cuma keramas dengan jigong sendiri.
Gagal menggunakan sebagai barang dagangan, artikel tersebut
bertujuan memprovokasi agar saya terus menyerang Bupati Bolmong. Syukur-syukur
terjadi chaos politik. Lalu siapa
yang amat dirugikan bila posisi Bupati Salihi Mokodongan goyah? Demikian pula,
pihak mana yang bakal menangguk untung?
Pendukung utama Bupati Bolmong adalah Partai Amanat Nasional
(PAN) –yang juga berhasil mengantar Djelantik Mokodompit ke kursi Walikota KK.
Di belakang Bupati Salihi Mokodongan yang juga Ketua Dewan Pengurus Daerah
(DPD) PAN Bolmong ada Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) PAN Sulut, Tatong
Bara, yang tak lain Wawali KK dan pesaing Djelantik Mokodompit di pemilihan
walikota (Pilwako) KK 2013 mendatang. Di balik PAN Sulut dan dua tokoh itu ada
anggota DPR RI, Yasti Mokoagow, yang secara terbuka berseteru sengit dengan
Walikota KK.
Simpulnya terletak pada Walikota KK, Djelantik Mokodompit,
yang tak lain adalah Ketua DPD I Partai Golkar (PG), di mana Fahri Damopolii
menjajakan lidah dan liurnya. Guncangan terhadap Bupati Salihi Mokodongan
(apalagi sampai membuat limbung) dengan segera menciptakan gelombang hantaman
terhadap Tatong Bara dan akhirnya Yasti Mokoagow. Instabilitas tokoh-tokoh ini
dan PAN sebagai partai asal mereka, pasti sangat memudahkan konsolidasi Djelantik
Mokodompit dan partainya menghadapi Pilwako 2013.
Bila skenario itu terwujud, bayangkan betapa hebatnya nilai
tawar seorang pemula seperti Fahri Damopolii. Terlebih secara bersamaan dia
juga bisa membuat syur ego Walikota
KK sebab hanya dengan satu tepukan dua --yang dia pikir tak beda dengan-- lalat
seketika kelenger: saya yang sudah punya
cap berseberangan dengan Walikota KK serta Yasti Mokoagow, Tatong Bara dan PAN.
***
Di bagian manakah dari lima motif yang patut dipersangkakan
itu yang dapat dibantah? Mengapa pula saya tak segan menyatakan bahwa penulis Metamorfosis Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu’’
(1 dan 2) bermental rusak.
Penggunaan nama alias di tulisan tersebut mempertegas sang
penulis sejak mula memang bermaksud mengail di air keruh. Dikaitkan dengan
statusnya sebagai PNS di KK, mana yang lebih penting, mencaci seseorang yang
mengkritik kinerja Bupati Bolmong; atau mengerjakan tugasnya sebagai birokrat
dan –kalau cukup punya nyali—juga kinerja Walikota KK dan jajarannya?
Niat jahat dan culas itu terekspresi ketika secara gamblang akhirnya
saya mengatakan, saya tahu persis dia (Fahri Damopolii)-lah yang menulis
artikel cacian itu, responsnya sangat difensif.
Mula-mula tetap ba terek
dengan menyatakan, ‘’Bilang kua’ biasa
baku terek.’’ Lalu akhirnya ancaman
fisik, ‘’Kalu baku muka kita so tumbu.’’
Maling yang tertangkap biasanya mengelak-ngelak dengan
segala daya, bila perlu balik mengancam tanpa terlebih dahulu memikirkan
konsekwensi kata-kata yang terlontar.
Di titik itu saya menghitung ada tiga batas api yang
dilanggar oleh Fahri Damopolii: Satu,
menulis caci-maki ke saya pribadi tanpa alasan yang jelas dan kokoh. Dua, mengait-ngaitkan sikap kritis dan
pribadi saya dengan kepentingan jabatan birokrasi untuk kerabat dekat (yang
juga tidak dapat dia buktikan dari mana dasar tuduhannya). Dan ketiga, mengancam melakukan kekerasan
fisik.
Batas api pertama dan kedua saya maafkan saja. Tapi tidak
yang ketiga. Supaya adil, saya sekali lagi mengingatkan, pernyataan yang sudah
dikeluarkan itu telah paku di batok kepala. Di mana saja kita bertemu,
bersiaplah. Saya toh harus membela
diri dari ancaman Anda.
Peringatan yang lain: Mulai hari ini Anda sukses menciptakan
musuh di mana-mana. Bukan hanya mereka yang mendukung Bupati Salihi Mokodongan,
Wawali Tatong Bara , atau anggota DPR RI Yasti Mokoagow; melainkan pendukung
Djelantik Mokodompit sendiri yang menyadari bahwa tindakan Anda adalah gangguan
serius terhadap kepentingan mereka (saya tidak yakin apa yang dilakukan Fahri
Damopolii ada di grand strategy
mereka); serta orang Mongondow umumnya yang kian pengap dengan kelakuan nista
dari sejumlah orang yang culas dan politicking.
Repotnya, Fahri, Anda PNS, kan? Sekuat-kuatnya satu rezim
pemerintahan usia maksimalnya hanya 10 tahun. Sekali pun Djelantik Mokodompit
terpilih untuk masa jabatan kedua di Pilwako 2013 mendatang, tidak masalah buat
saya. Saya punya stok kesabaran revolusioner dengan ingatan seekor gajah yang
disakiti.***