Salah seorang ‘’orang dalam’’ yang tahu persis latar
dilaporkannya wartawan Radar Totabuan,
Mawardi Mamonto, ke Polsek Urban Kotabunan oleh Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR
Bolaang Mongondow Timur (Boltim), James Tine, blak-blakan menceritakan kisah di
balik layarnya. Sejatinya, kisah ‘’orang dalam’’ ini, Ketua BK DPR Boltim tidak
bermasalah dengan berita yang ditulis Mawardi.
Bahkan ketika James Tine sudah melaporkan dugaan pencemaran
nama baik lewat pemberitaan dan dia bertemu Mawardi, keduanya justru terlibat
percakapan akrab dan lepas. Ketua BK baru menjelaskan ketika Mawardi yang
sebelumnya diberitahu sesama wartawan bahwa dia dilaporkan ke kepolisian,
mengkonfirmasi kebenaran informasi itu.
Penjelasan Ketua BK DPR Boltim (kurang lebih) bahwa dia
senang institusinya dan anggota dewan yang terhormat dikritik. Perjalanan dinas,
kunjungan kerja (Kunker), atau bimbingan teknis (Bimtek), silahkan diberitakan.
Termasuk siapa yang kerap melakukan perjalanan dinas, siapa yang doyan Kunker
dan Bimtek, pun yang rajin masuk kantor dan yang hobi bolos.
Bahwa sebagai Ketua BK yang tugasnya mengawal kehormatan
anggota dewan, James Tine terpaksa melaporkan Mawardi ke kepolisian karena dia
didesak sejumlah anggota DPR Boltim. Yang menjadi alasan tercemarnya kehormatan
anggota DPR adalah bagian dimana Mawardi menulis telah diagunkannya Surat Keputusan
(SK) pengangkatan sebagai anggota DPR ke bank.
Kalau benar demikian dasar perasaan tercemarnya kehormatan
itu, ada dua cara pandang yang dapat digunakan: Pertama, SK tersebut adalah dokumen yang melekat pada seorang tokoh
publik yang dipilih para konstituen lewat Pemilihan Umum (Pemilu). Dapat diartikan
konstituen memang berhak tahu apa yang diperbuat wakil mereka, termasuk
diperlakukan seperti apa dokumen negara yang menjadi dasar sah-nya seseorang
sebagai anggota DPR.
Kedua, benar bahwa
anggota DPR dipilih orang banyak, tetapi SK pengangkatan mereka adalah obyek
pribadi dan karenanya konstituen tidak berhak tahu diapakan dan dikemanakan?
Kalau cara pandang ini yang digunakan, lalu dari sisi publik apa dasar
seseorang resmi dan berhak menyandang sabutan anggota DPR yang terhormat?
Saya sependapat cara pandang pertamalah yang lebih tepat.
Dengan demikian anggota DPR yang sudah mengagunkan SK-nya tidak berhak merasa
tercemar kehormatannya ketika media menyiarkan isu tersebut. Semestinya
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Boltim dan rakyatlah yang merasa kehormatannya cacat
sebab belum mampu menyediakan anggaran yang pantas untuk DPR.
Perlu dipikirkan kartu kawan, kotak sumbangan, sponsorship dan donasi, serta komite
khusus yang melibatkan semua pemangku kepentingan DPR di Boltim, supaya
kecukupan anggaran dan kesejahteraan mereka dapat dimaksimalkan. Tidak elok
rasanya menuntut DPR banting tulang mewakili masyarakat mengawasi dan
mengontrol pemerintahan sementara mereka juga pening memikirkan isi kantong.
Bisik-Bisik Somasi
Hampir sepekan dipublikasi di media massa cetak, saya
mengira isu dilaporkannya wartawan Radar
Totabuan, Mawardi Mamonto, SH, telah surut dan ‘’diam-diam dibereskan’’
(sebagai langkah elegan menyelamatkan muka pihak-pihak terkait dan tersebut) di
Polsek Urban Kotabunan. Eh, ternyata tidak, bahkan kini melebar dengan
‘’katanya’’ ada rencana yang sedang digodok untuk melayangkan somasi ke saya.
Saya menerima kabar rencana somasi itu pada Rabu sore (9 Mei
2012) dari salah seorang wartawan yang meminta tanggapan lewat BlackBerry Messenger (BBM. Reaksi
pertama saya adalah geli dan menyakini rencana itu semata gosip mendinamisasi
dinamika sosial dan politik di Boltim. Saya tidak percaya DPR Boltim sebagai
institusi dan anggotanya orang per orang
sukarela terjerumus ke lobang yang sama: mengambil tindakan yang keliru dari
semua aspek.
Namun rencana itu tampaknya bukan sekadar bise-bise dan spekulasi. Wartawan yang
kemudian saya telepon itu bahkan menegaskan, ‘’Info terakhir akan ada rembuk
apakah somasi itu dilakukan atau tidak.’’ Cross
check yang saya lakukan terhadap beberapa orang di Boltim, meng-amin-kan
bahwa apa yang disampaikan itu mengandung kebenaran.
Nah, dengan berprasangka baik, selain memberi pernyataan
pada wartawan yang melaksakan kewajiban jurnalistiknya, mengingat keterbatasan
ruang di sebuah berita, sebelum DPR Boltim atau anggota-anggotanya (sekali
lagi) bertindak gegabah, saya ingin menjelaskan: Pertama, di bagian mana dari tulisan saya yang akan disomasi? Judul
yang ‘’kejam’’, Pasal ‘’P’’ DPR
‘’Biongo’’-kah? Kalau ini yang dipermasalahkan, cermati dengan hati-hati
sebab ada ratusan DPR kabupaten, provinsi, ditambah DPR RI, di negeri ini.
Kedua, bila yang
disoal adalah penggunaan kata ‘’biongo’’, saya kutipkan lagi sebagaimana yang
telah dipublikasi: Dengan memahami UU Pers dan
fakta-fakta tentang Radar Totabuan dan pemberitaan yang jadi musabab perkara, menurut hemat saya
tidak ada satu alasan pun yang masuk akal perihal laporan BK DPR Boltim ke
Polsek Urban Kotabunan. Kecuali, DPR Boltim lewat BK-nya, ingin menunjukkan
kualitas sejumlah anggotanya memang hanya dapat didefinisikan dengan satu kata:
biongo!
Di alinea tersebut saya tidak menuding DPR Boltim,
BK DPR Boltim, tetapi ‘’sejumlah anggotanya memang
hanya dapat didefinisikan dengan satu kata: biongo!’’ Para ahli hukum tidak
akan berdebat bahwa siapa pun yang mengajukan somasi terhadap tulisan saya,
pasti bukan DPR atau BK DPR Boltim sebagai institusi; melainkan orang per orang
anggota DPR Boltim yang merasa dituding ‘’biongo’’.
Sembari terus menyakini bahwa rencana somasi yang bakal
dilayangkan itu sekadar rumor tidak bertanggungjawab, saya menunggu penuh
penasaran, adakah anggota DPR Boltim yang bersedia unjuk jari mengakui dirinya
‘’biongo’’. Kalau pun ada, babak berikut pasti seru. Saya akan menolak mencabut
tulisan yang jadi pangkal soal, apalagi minta maaf.
Himbauan saya, siapkan saja pikiran, tenaga, dan
biaya, karena prosesnya mesti berlangsung di Jakarta (saya menulis dan
mengunggah tulisan itu dari rumah di Jakarta Selatan). Siapkan pula ahli hukum,
ahli di bidang komunikasi dan jurnalistik, ahli bahasa, bahkan kalau perlu ahli
kutukan; karena setelah itu saya pasti balik menggugat pidana dan perdata.***