TAHAPAN Pilwako KK 2018 telah bergulir beberapa pekan terkahir, dimulai
dengan pendaftaran calon independen Walikota-Wawali penghujung November 2017,
dilanjutkan dengan verifikasi dan proses ikutannya.
Orang banyak tidak terkejut ketika
Jainuddin Damopolii (yang masih menduduki jabatan Wawali 2013-2018) mengajukan
diri sebagai bacalon Walikota 2018-2023 dari jalur independen. Kendati dia
adalah Ketua DPD PAN KK, Jainuddin mesti realistis dengan kehendaknya menjadi
pesaing Walikota saat ini—yang berasal dari partai yang sama dan bahkan
menjabat sebagai Ketua Bappilu Nasional.
Mendaftar sebagai calon independen adalah
tindakan realistis yang diambil Jainuddin. Yang kemudian mengagetkan adalah
pasangan yang dia gandeng, Suharjo Makalalag. Apa dan bagaimana kalkulasi
komprehensif pilihan terhadap Suharjo, tentu adalah strategi dan taktik yang
tak perlu diumbar ke tengah umum. Sekalipun ada ‘’drama’’ sebab (konon)
sejatinya keputusan itu diambil di detik-detik terakhir setelah mengeleminasi
kandidat lain, Nasrun Koto, yang sebelumnya justru sudah matang dielus-elus.
Saya tak hendak mempertanyakan pilihan Jainuddin
terhadap Suharjo (alasan utamanya: saya mutlak tak punya hak untuk itu).
Paling-paling, sebagai penonton (walau lahir dan besar di KK, KTP saya saat ini
beralamat di daerah lain), saya hanya boleh mengeleng-ngeleng dan bergumam,
‘’Ini pilihan untuk menang atau ‘lempar handuk’ dengan cara yang tampak elegan?’’
Politik, bagaimanapun, adalah arena yang
kejam, apalagi di kompetisi perebutan jabatan elit semacam Walikota dan Wawali.
Segala macam ihwal publik dan personal seorang bacalon, kemudian calon, akan
digali habis-habisan dan disajikan ke depan umum. Sekadar sebagai ujian
terhadap kompetensi dan integritasnya; sarana menyakinkan konstituen; hingga
senjata untuk melemahkan yang dengan mudah dan empuk digunakan oleh para
pesaing.
Suharjo Makalalag yang saya kenal (cukup
dekat) adalah orang pintar yang baik. Tapi itu saja tidak cukup. Sejujurnya,
kredibilitas publiknya tidaklah terlampau mengkilap sejak meledaknya kasus
TPAPD Kabupaten Bolmong yang hingga kini sudah menyeret banyak nama ke LP.
Sebagai ASN, UU baru dan turunannya juga tidak berhenti hanya sampai pada
hukuman badan yang sudah dia jalani. Maka itu, lepas dari majunya dia sebagai
bacalon Wawali KK 2018-2023, saya tidak akan terkejut bila dalam satu-dua pekan
ke depan anak-pinak kasus TPAPD masih tetap menyerempet Suharjo.
Dengan memahami peta politik lokal, sejak
lama saya meyakini, siapapun dan berapapun bacalon (dan calon) Walikota yang
maju, Pilwako KK 2018 adalah kepiawaian strategi dan taktik memilih pendamping.
Fakta politik saat ini menunjukkan: sudah ada satu bacalon Walikota dari jalur
independen; satu bacalon dari Parpol, petahana Tatong Bara (yang sejauh ini
sudah pasti mendapat mandat dari PAN, Hanura, dan PKB), serta kemungkinan
bacalon Djelantik Mokodompit yang mengharapkan dukungan dari PG
dan—tambahan—kemungkinan PD.
Jainuddin menggandeng Suharjo. Tatong Bara sudah
pasti disandingkan dengan Nayodo Kurniawan. Akan halnya Djelantik Mokodompit,
dari publikasi totabuan.co, Sabtu, 16
Desember 2017, Kader Golkar Masih Jagokan
Djelantik di Pilkada Kotamobagu (http://totabuan.co/2017/12/kader-golkar-masih-jagokan-djelantik-di-pilkada-kotamobagu/),
mempertimbangkan tiga nama: Nasrun Gilalom, Ishak Sugeha, dan Nasrun Koto.
Tiga pasang bacalon (lalu calon)
Walikota-Wawali Pilwako KK 2018 adalah ideal, dengan catatan PG telah dengan
saksama memperhitungkan potensi kemenangan kandidat yang mereka usung. Di
antara empat kabupaten dan satu kota di BMR, saat ini tak ada satupun yang
dipimpin oleh kader PG. Ini ironi yang menyakitkan, mengingat cukup lama partai
ini berjaya di daerah ini, setidaknya saat belum dimekarkan—dan hingga
terbentuknya KK.
Peluang terbaik PG di BMR di 2018 ada di KK
dan Bolmut. Kita lihat—jika akhirnya direstui dan didukung partainya—apakah
kandidat yang sekarang digadang untuk dua daerah ini, Djelantik Mokodompit dan
Karel Bangko, berhasil menggandeng sekutu ideal yang mendukung kemenangan atau
justru hanya mendapatkan kawan untuk gagal bersama?
PG, partai tua yang kenyang asam-garam
politik Indonesia pada akhirnya tak akan gegabah: ketimbang kalah sendirian,
adalah lebih baik menang sekalipun harus dibagi beramai-ramai.
Kembali ke Pilwako KK, tiga nama yang
diopinikan (terutama oleh media)—Tatong Bara, Jainuddin Damopolii, dan
Djelantik Mokodompit—boleh dikata punya keunggulan, kelemahan, keterkenalan,
dan penerimaan yang hampir sama di tengah masyarakat KK. Lucunya, ketiganya
juga terikat pada satu jejak yang sama: Tatong pernah menjadi Wawali dari Djelantik,
sementara Jainuddin saat ini adalah Wawali dari Tatong.
Sekadar sebagai utak-atik, duga-duga, dan
humor politik, Pilwako KK sebenarnya sudah selesai jika Tatong kembali
dipasangkan dengan Jainuddin; atau bila ingin ‘’pertandingan’’ yang seru, dengan
telah pastinya Tatong padu dengan Nayodo; selayaknya Djelantik (yang punya
harapan tinggi tetap diusung PG, terlebih dia adalah Ketua DPD II KK) disanding
dengan Jainuddin. Soalnya adalah: sungguh sulit menarik garis kompromi di
antara para politikus keras kepala dengan tak ada satupun di antaranya bersedia
mengalah.
Dengan majunya tiga elit itu
sendiri-sendiri sebagai bacalon Walikota, diperhitungkan dengan pasangan yang
mereka gandeng, sejujurnya secara subyektif saya menilai Tatong berada jauh di
depan pesaing-pesaingnya. Di antara sangat banyak tokoh—terutama yang berusia
muda—di KK, Nayodo punya catatan publik yang paling terpapar dan tertakar. Tiga
kali menjadi anggota KPU, dengan dua kali sebagai ketua di KK, dia bukan hanya
sukses turut mengawal semua proses politik formal di kota ini (setidak lebih 10
tahun terakhir), tetapi juga membawa lembaga yang dia pimpin diakui sebagai
salah satu yang terbaik di negeri ini.
Pendeknya, tanpa perlu menderet satu per
satu capaiannya (toh mudah di telisik
di jagad Internet), KPU KK di bawah kepemimpinan Nayodo adalah lembaga yang
punya integritas dan kredibilitas dua jempol. Sekalipun sistim dan mekanisme di
KPU telah tertata ketat, buat saya, tetap saja hanya sosok yang kredibel dan
berintegritas yang mampu mengimplementasikan menjadi praktek dan fakta solid.
Sebagai ‘’sekolah’’ memahami berbagai aspek
manajemen birokrasi dan pengelolaan politik, KPU meluluskan Nayodo dengan suma cum laude. Dia meninggalkan KPU KK
dan masuk politik praktis sebagai bacalon Wawali dengan predikat ‘’with highest
honor’’.
Di lain pihak, secara
sosial-kemasyarakatan, saya juga tidak menemukan ‘’sesuatu keberatan berarti’’
berkenaan dengan sosok pribadinya. Kendati bukan pribadi yang doyan tampil di
mana saja dan kapan saja, secara relatif Nayado—yang saya tahu—diterima dengan
baik di semua strata sosial-kemasyarakatan (dan budaya) di Bolmong, terlebih di
KK.
Karena itu, di tahap Pilwako KK 2018 saat
ini (per Desember 2017), tantangan bagi bacalon Walikota pesaing Tatong adalah:
membuktikan bahwa bacalon Wawali yang mereka pilih minimal sama atau jauh lebih
baik dari Nayodo. Menggandeng yang kualitas krebilitas dan integritasnya lebih
rendah, sama artinya dengan membuat Pilwako KK 2018 sekadar ‘’pura-pura
kompetisi’’ atau ‘’kompetisi pura-pura’’. Hanya membuang-buang energi orang
banyak dan biaya dari uang pajak rakyat.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
ASN: Aparatur Sipil Negara; Bacalon:
Bakal Calon; Bappilu: Badan
Pemenangan Pemilu; BMR: Bolaang
Mongondow Raya; DPD: Dewan Pengurus
Daerah; Hanura: Hati Nurani Rakyat; LP: Lembaga Pemasyarakatan; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; KTP: Kartu Tanda Penduduk; PAN: Partai Amanat Nasional; PD: Partai Demokrat; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan; PG: Partai Golkar; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil
Walikota); PKB: Partai Kebangkitan
Bangsa; TPAPD: Tunjangan Pendapatan
Aparatur Pemerintahan Desa; UU:
Undang-undang; dan Wawali: Wakil
Walikota.