In
politics, nothing happens by accident. If it happens, you can bet it was
planned that way (Dalam dunia politik, tidak ada
yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, Anda bisa bertaruh itu
direncanakan seperti itu).
Franklin
D. Roosevelt (1882-1945)
TERSEBAB
tensi politik Pilwako 2018, kata ‘’verifikasi’’
mendadak mengarusutamai wacana di seantero KK dan bahkan BMR. Kata ini, yang
dikandung akronim vermin dan verfak, memang laris manis bersama mendaftarnya
bakal calon independen, pasangan Jainuddin Damopolii-Suharjo Makalalag, saat KPU
KK membuka tahapan Pilwako.
Vermin? Verfak? Apa lagi ini? Tapi tak usah
pura-pura heran. Indonesia adalah salah satu negeri produsen akronim paling
kreatif di dunia. Termasuk mengakronimkan sesuatu yang sudah akronim. Tak beda
dengan luka di atas luka. Misalnya, ABRI yang adalah ‘’Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia’’ diakronimkan lagi menjadi AMD dalam ‘’ABRI Masuk Desa’’.
Sesuai tahapan Pilwako, oleh KPU KK
di-vermin-lah dokumen dukungan terhadap Jainuddin-Suharjo. Konon (demikianlah
yang saya simak dari lalu-lalang bual-bual publik dan pemberitaan media; dan
sebab KPU menyatakan dokumennya adalah ‘’rahasia’’) terdapat sekitar 10.000
pernyataan (pribadi dan kolektif) yang dilampiri KTP, yang sukarela dan sukaria
mendukung pasangan bacalon ini.
Melihat UU dan turunannya, di tahapan
vermin ini KPU (mudah-mudahan bahasa Indonesia yang mereka kuasai cukup
memadai), benar-benar paham definisi dan arti ‘’verifikasi’’. Jikalau khilaf atau
dengan sengaja mem-bloon-bloon-kan diri, saya ingatkan, KKBI menyatakan
verifikasi adalah ‘’pemeriksaan
tentang kebenaran laporan, pernyataan, perhitungan uang, dan sebagainya.’’ Ibaratnya, seorang WNI yang akan berkunjung ke
Eropa memerlukan visa, dan karena itu dia harus memenuhi persyaratan
administratif (minimal): Paspor, KTP, KK, Rekening Bank, dan undangan/dokumen
yang menunjukkan kepentingannya mengunjungi negara yang dituju.
Dokumen pemenuhan
syarat administratif itu mesti disampaikan ke Kedutaan/Konsulat negara yang
bersangkutan. Salah satu dokumen tak terpenuhi, otomatis gugurlah sudah proses
pengurusan visa yang dilakukan. Dokumen yang dinyatakan lengkap kemudian
di-vermin apakah keterangannya bersesuaian, tanda tangan seragam, foto tak
mencurigakan, dan sebagainya. Hasil vermin, ditindaklanjuti dengan verfak, yakni
mengundang pemohon visa untuk diwawancara demi memastikan kebenaran
permohonannya dan dokumen yang digunakan sebagai pendukung.
Merunut logika yang
demikian (dan memang harus demikian!), langkah awal adalah KPU KK menerima dokumen
dukungan calon independen Jainuddin-Seuharjo, yang terdiri dari formulir KWK
(entahlah huruf ini adalah akronim atau sekadar penanda, sebab KPU tidak pernah
secara lengkap menjelaskan apa ‘’KWK’’ ini, kecuali bahwa dia adalah
serangkaian jenis formulir) dan KTP sebagai lampirannya. Lalu, dilakukan
vermin, di mana KPU memeriksa apakah dokumen terkait ini benar adanya: termasuk
benarkah manusia yang KTP dilampirkan adalah penduduk KK, masih hidup dan
bermukim di KK, dan identitas serta pendukungnya (terutama tanda tangan) cocok
satu dengan yang lain.
Berdasar ‘’pemeriksaan
tentang kebenaran itu’’, sejatinya KPU KK sudah dapat memberi catatan dokumen
mana yang secara administratif ‘’benar’’, ‘’meragukan’’, atau ‘’tidak benar’’.
Sekalipun KPU berlindungan pada aturan internal bahwa dokumen dukungan calon
independen bersifat rahasia, hasil vermin ini wajib diketahui publik. Minimal
dimaklumatkan bahwa hasil vermin menemukan terdapat sekian suara yang ‘’MS’’
dan sekian yang ‘’TMS’’.
KPU KK telah melakukan
kewajiban itu, walau yang saya simak di media cukup simpang siur. Yang jelas,
pasangan ini memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke tahapan verfak. Secara pribadi, dengan memohon maaf, saya
sebenarnya berpendapat hasil yang diumumkan KPU KK adalah omong kosong besar.
Simpulan subyektif ini dikongklusi dari proses berpasangannya Jainuddin-Suharjo
yang hanya kurang dari hitungan sepekan sebelum keduanya mendaftar sebagai
kandidat independen.
Telah menjadi
pengetahuan umum, bahwa sebelum Suharjo Makalalag, pasangan yang dipilih
Jainuddin Damopolii adalah Nasrun Koto. Dengan adanya perubahan dalam waktu
singkat terhadap bertumpuk-tumpuk formulir yang sudah disiapkan, maka hanya ada
tiga kemungkinan: 1) Formulir yang ditanda-tangani oleh para pendukung sebelumnya masih
mengosongkan nama bakal calon Wawali; 2) Dalam waktu singkat tim yang mendukung
pasangan Jainuddin-Suharjo bekerja amat sangat keras menemui seluruh pendukung
untuk melakukan perubahan; dan 3) Dokumen yang disetorkan ke KPU KK patut
diduga penuh manipulasi dan pemalsuan.
Wilayah KK tergolong
kecil untuk ukuran sebuah kota. Apa yang sedang terjadi salah satu sudut KK di
wilayah Barat, tak memerlukan waktu lama diketahui hingga kutu-kutunya di
kawasan terujung di Timur. Ditambah lagi teknologi komunikasi saat ini, nyaris
tak ada satu pergerakan politik (apalagi massif seperti pengumpulan KTP dan
tanda tangan) yang bisa dilakukan dengan ‘’umum, bebas, dan rahasia’’.
Karenanya, yang
terhormat para komisioner KPU KK, verfak—apapun panduan dan aturan yang
digunakan KPU—, (sekali lagi) adalah ‘’memeriksa tentang kebenaran’’.
Orang-orang yang dikunjungi KPU (melalui organnya di tingkatan kecamatan dan
desa/kelurahan) bersama Panwaslu dan organ di bawahnya pula, memastikan
‘’secara nyata’’ wujud catatan ‘’benar’’, ‘’meragukan’’, atau ‘’tidak benar’’
hasil vermin yang dilakukan. Termasuk apakah formulir dan KTP yang dilampir
diperoleh sebagaimana seharusnya atau hasil tipu-tipu belaka.
Verfak yang berlangsung
12-25 Desember 2017 terbukti menemukan banyak ‘’TMS’’ yang akhirnya pada Pleno
KPU KK, Jumat, 29 Desember 2019, membuat jumlah dukungan minus 87.
Mengiringi
pengungkapan temuan dalam Pleno KPU, selama verfak berlangsung, warga KK
diriuhi keberatan karena KTP yang disalahgunakan (misalnya yang dikumpulkan
dengan alasan bantuan ini-itu), tanda tangan yang dipalsukan, dan hal-hal sumir
lainnya yang bersifat tindak pidana (umum dan Pemilu). Media (lagi-lagi) melaporkan,
keberatan yang berhamburan itu bukan sekadar datang dari satu-dua orang, tetapi
kelompok besar yang bahkan menyampaikan penarikan dukungan secara terbuka—sebab
memang tak pernah menyatakan dukungannya.
Tentang tidak pidana
ini, terutama jika itu penyalahgunaan KTP (identitas pribadi yang juga adalah
dokumen negara) dan tanda tangan, tidak perlu puluhan orang atau
ratusan—apalagi ribuan—orang yang keberatan. Cukup dua-tiga orang yang solid
dengan keberatannya, maka ancaman hukuman pidana sudah mengintai serombongan
orang. Termasuk KPU KK dan Panwaslu, apabila dua lembaga ini mengabaikan
fakta-faktanya.
Lebih celaka lagi,
keberatan dua-tiga orang tersebut, jika ditindaklanjuti dengan saksama, sangat
mudah menggugurkan perlindungan ‘’dokumen kerahasian’’ yang menjadi alasan KPU
KK menyimpan rapat-rapat daftar penyokong pasangan Jainuddin-Suharjo.
Ilustrasinya adalah: Jika Anda memiliki rekening bank, wajib hukumnya bank
melindungi rekening dan identitas pemiliknya. Tetapi ketika pemilik rekening
terjerat tindak pidana yang berkaitan dengan rekeningnya, adalah wajib bagi
bank membuka seluas-luasnya akses orang/lembaga/institusi yang berwenang
terhadap rekening dimaksud.
Dengan tetap mengambil
jarak dan menghormati semua pihak yang berada di pusat pusaran Pilwako KK 2018
(Jainuddin Damopolii adalah sosok yang sedapat mungkin saya sambangi setiap
berada di KK; Suharjo Malalalag tak lain kawan lama yang masih terus berhubungan;
dan seluruh Komisioner KPU serta Ketua dan anggota Panwaslu KK bukanlah
orang-orang yang asing secara pribadi dengan saya), menurut hemat saya, drama
politik bakal calon independen ini mesti segera dihentikan.
Jika benar ikhtiar
bakal calon independen ambil bagian dalam Pilwako adalah demi kemaslahatan KK,
maka semestinya dilakukan dengan penuh martabat, etis, dan jujur. Senyampang
dengan itu, KPU dan Panwaslu KK juga wajib mendudukkan mereka yang mengajukan
diri sebagai bakal calon pasangan independen di tempat terhormat dengan
menunjukkan tanggung jawab dan kinerja profesional. Lain soal kalau bakal calon
pasangan independen itu semata-mata mengejar syawat kekuasaan; dan KPU serta
Panwaslu KK cuma operator hajat politik Pilwako yang bekerja dengan keuntungan
pribadi atas nama negara dan orang banyak.
Sayangnya, sejauh ini,
tendensi yang saya cermati lebih bertitik-berat pada pemenuhan syawat kekuasaan yang ditukangi para pengibul; dengan operator sekadar robot yang melalaikan kepentingan
publik dan substansi demokrasi.***
Singkatan
dan Istilah:
ABRI: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; AMD: ABRI Masuk Desa; Bacalon:
Bakal Calon; BMR: Bolaang Mongondouw
Raya; KK: Kota Kotamobagu/Kartu
Keluarga; KPU: Komisi Pemilihan Umum;
KTP: Kartu Tanda Penduduk; MS: Memenuhi Syarat; Panwaslu: Panitia Pengawas Pemilu; Pemilu: Pemilihan Umum; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil
Walikota); TMS: Tidak Memenuhi
Syarat; Verfak: Verifikasi Faktual; Vermin: Verifikasi Administrasi; dan Wawali: Wakil Walikota.