BEBERAPA jam sebelum almanak berganti 2017, Sabtu, 31 Desember 2016, saya
berkumpul dengan sejumlah kawan, sanak, dan kerabat di ''tempat yang biasa'' di
Mogolaing. Setelah dzikir, doa, dan makan-makan, reriungan dalam rangka gelaran
syukur karena kelahiran seorang keponakan, persamuan akhirnya diisi diskusi
isu-isu terkini di BMR, lebih khusus KK.
Bahasan pertama adalah dikabur-kabur dan
diulur-ulurnya penyidikan kasus dugaan pencabulan dengan kekerasan oleh
(mantan) Kabid di Dinas PU yang juga (mantan) Ketua KNPI KK yang tetap jadi isu
hot. Lalu percakapan dengan cepat
melompat ke pengisian jabatan massal di Pemkot KK sebagai konsekuensi
berlakunya OPD baru. ASN mana yang pindah jabatan, yang dipromosi, yang
didemosi, memang selalu asyik dijadikan bahan bual-bual. Formasi kabinet
Walikota Tatong Bara-Wawali Djainuddin Damopolii ini kian seru mengingat
tahapan Pilwako 2018 segera dimulai akhir 2017 ini.
Di tengah percakapan yang lalu lalang dan
saling bersahut, tiba-tiba salah seorang kerabat yang sehari-hari bergelut
dengan isu-isu perempuan dan anak angkat suara, ''Pemda di BMR ini tidak
sensitif terhadap isu-isu perlindungan perempuan dan anak. Di KK, misalnya,
selain isu Kabid yang melakukan pencabulan dengan kekerasan, ada ASN yang kini
dipercakapkan di mana-mana sebab terpergok cabul, ternyata tetap didudukkan di
posisi elite birokrasi.'' Pernyataan ini bagai menambah bahan bakar bual-bual
yang memang sudah berkobar-kobar.
Lalu dibeberlah gosip cabul yang melibatkan
ASN yang baru saja didudukkan dan dilantik di jabatan strategis di Pemkot KK
itu. Tersebutlah, demikian kerabat ini menukil cerita yang beredar dari mulut
ke mulut dan jadi bahan tertawaan (khususnya) kalangan perempuan di kota ini, peristiwa
memalukan ini terjadi tak jauh dari rentang kejadian dugaan pencabulan dengan
kekerasan yang dilakukan (mantan) Kabid yang juga (mantan) Ketua KNPI. TKP-nya
adalah halaman belakang rumah sang pejabat yang digosipkan sebagai pelaku.
Lebih detailnya, peristiwa ala film-film kategori X ini dilakukan di samping
kandang ayam.
Tapi lakon cabul apa yang terjadi di balik
lindungan kandang ayam itu? Ini yang sip
punya. Sembari terkikik-kikik, kerabat yang aktivis itu membeber, ASN yang baru
dilantik sebagai salah satu pejabat teras di Pemkot KK terpergok (maaf sangat,
Pembaca) sedang mengulum buah dada asisten rumah tangga tetangganya, yang jasanya
kebetulan juga kerap diberdayakan di kediamannya. Yang memergoki adegan ''perbuayaan'',
''nenen'' tidak pada tempat, waktu, dan obyek yang tepat itu, tak lain istri
pelaku sendiri.
Entah dibocorkan oleh siapa, peristiwa yang
semestinya ditutup rapat-rapat ini diam-diam menjalar jadi amunisi gosip dan
rumor. Dengan cepat dipertukarkan dari mulut ke mulut dan sekejap jadi
pengetahuan umum yang--paling minim--mengundang senyum lebar. Apalagi dengan
kreatifnya kisah cabul ini telah melahirkan sebutan untuk pelaku sebagai
''pejabat nenen''. Tidak percaya? Kerabat yang jadi penutur menegaskan,
''Cerita cabul dan sebutan itu sudah menjadi rahasia umum tidak hanya di
kalangan birokrasi di KK.''
Bukan sebab penasaran atau terpancing turut
bergosip, iseng-iseng saya menanyakan isu ini pada beberapa orang yang
sepengetahuan saya cukup kekinian. Konfirmasi yang saya terima justru
mengejutkan. ''Ah, baru tahu so? Atau
pura-pura nintau sama deng Baperjakat deng Walikota yang tetap kase jabatan pa
dia?'' Lho, saya memang tidak
tahu dan semestinya tidak mau tahu. Apalagi kejadiannya tidak pernah dilaporkan
secara resmi ke pihak berwajib dan berwenang. Saya malah ber-syak,
jangan-jangan gosip semacam itu adalah rumor yang sengaja ditiupkan untuk
merusak kredibilitas seseorang.
Di zaman media sosial nyaris menjadi maharaja
informasi, berita bohong dan fitnah gampang dibuat dan disebar. Karenanya, demi
integritas semua pihak, terutama Walikota KK dan Baperjakat, selayaknya gosip
ini perlu ditelusuri dengan saksama. Bila kejadiannya benar, tentu perlu
diambil tindakan semestinya. Sebaliknya, jika sekadar gosip yang merusak nama
baik seseorang, perlu pula klarifikasi memadai.
Saya sendiri, mengingat isunya masuk
kategori ''ruang pribadi'', andai pun ''pernenenan'' itu benar adanya,
paling-paling saat bersua dan punya kesempatan bertukar sapa, cuma ingin
berbisik dan menanyakan, ''Sadap so?''
Selain ''pejabat nenen'', hal lain yang
mengundang kritisi dari kabinet baru Pemkot KK adalah masuknya nama-nama yang
berasal dari kabupaten lain, minimal di BMR. Fakta ini seharusnya bukan
masalah, sebab substansinya (sebagaimana yang selama ini digembar-gembor oleh
Walikota Tatong Bara) adalah penilaian kinerja seorang ASN. Talenta-talenta
birokrasi terbaik dari kabupaten/kota lain, termasuk di lingkup Sulut, yang
berkeinginan pindah ke KK dan lolos sesuai kebutuhan Pemkot, harus diakomodasi
sebagai ''darah baru'' yang mendorong persaingan di kalangan aparat birokrasi
kian kompetitif.
Kinerja sebagai tolok ukur utama itu
membuat saya membela beberapa nama yang disebutkan. Misalnya seorang birokrat
yang sebelumnya mengabdi di Boltim, yang baru pindah ke KK kemudian dilantik di
jabatan Eselon IIB, dari rekam jejaknya memang tak perlu diperdebatkan.
Lain soal dengan satu-dua nama yang
tampaknya didudukkan di posisi strategis semata oleh intervensi dan
pertimbangan politis. Misalnya seorang ASN dari Pemkab Bolmong yang selama ini
dikenal tak disiplin, trouble maker,
dan doyang politik praktis, tiba-tiba diberi jabatan di Pemkot KK. Padahal, di
tempat asalnya, birokrat ini jauh dari punya rekam jejak profesional dan
kompeten, apatah lagi kinerja yang mengkilap. Ini keputusan jenis apa?
Baperjakat mengingkari komitmen membawa birokrasi di Pemkot KK benar-benar
profesional, kompeten, dan berkinerja prima? Atau sekadar bikin lelucon akhir
tahun?
Sebaliknya, berolehnya ASN itu jabatan
strategis sebab pertimbangan politis atas dasar hak prerogatif Walikota,
memperjelas ''jurus mabuk Pilwako 2018'' yang saya perhatikan mulai
menggerogoti Tatong Bara. Dari cermatan dan catatan saya, sejak menduduki
jabatannya, Walikota dengan konsisten ''membuang'' orang-orang waras dan punya
otak yang turut menggantar dia mendapatkan kekuasaan politik dan birokrasi. Di
saat yang sama, dia dengan konsisten dan protektif, menempatkan beberapa sosok
''asal Ibu senang'' di sekitarnya. Orang-orang inilah yang menjadi penasehat
informal, pembisik, dan bahkan operator, termasuk urusan persen-persen proyek
di KK yang ''diklaim'' sebagai jatah Walikota.
Para siluman biasanya berkumpul dan membawa
masuk siluman yang lain. ASN pindahan yang mendadak punya jabatan, sementara
catatan kinerjanya tak karuan, adalah contoh keputusan siluman yang
sesungguhnya mempermalukan Walikota dan Baperjakat. Pada akhirnya, ketika para
elite Pemkot KK ini bicara kinerja ASN, lelang jabatan, tahulah kita itu omong
kosong belaka. Pret saja!
Satu-dua cacat menonjol dari kabinet Pemkot
KK yang baru dilantik menjadikan mayoritas keputusan lain yang diambil dengan
pertimbangan profesionalisme, kompetensi, dan kinerja, menjadi tak berarti. Dia
menjadi paradox of excellence
sebagaimana yang diingatkan David Mosby dan Michael Weissman (2005). Dua
kesalahan fatal yang dilakukan membuat umum tak memerdulikan 98 kebenaran yang
menyertainya. Dua kekeliruan, masuknya ''pejabat nenen'' dan ''ASN siluman'' di
jajaran strategis birokrasi, menghancurkan seluruh substansi promosi dan demosi
kabinet baru Pemkot KK.
Bila Walikota, Baperjakat, dan jajaran
elite Pemkot KK tidak menyadari fakta itu, mari kita bertepuk tangan. KK memang
sudah menjadi ''kota semau-maunya'' dan hingga Juni 2018 yang dapat kita--orang
banyak yang cuma bisa menonton--lakukan hanya mengiyakan dan mengusap-ngusap
dada.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
ASN: Aparatur Sipil Negara; Baperjakat:
Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong:
Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang
Mongondow Timur; Kabid: Kepala
Bidang; KK: Kota Kotamobagu; KNPI: Komite Nasional Pemuda Indonesia;
Pemda: Pemerintah Daerah; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Pemkot: Pemerintah Kota; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil
Walikota); PU: Pekerjaan Umum; Sulut: Sulawesi Utara; TKP: Tempat Kejadian Perkara; dan Wawali: Wakil Walikota.