Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, July 10, 2016

Akhir Sunyi Sang Bupati

JAUH sebelum matahari mekar, Sabtu (9 Juli 2016), di tengah semarak Idul Fitri 1437 H, saya, adik-adik, kerabat, dan sejumlah sahabat dekat terjerembab dalam diskusi dan percakapan seru di garasi kediamanan Sarif Mokodongan dan Vera Lamama. Sejak dibangun, pasangan ini--keduanya adalah adik dan sepupu saya--telah mengikhlaskan rumah mereka menjadi tempat saya sekeluarga berlabuh setiap kali pulang ke Kotamobagu.

Perut-perut yang melambung karena lebih 100 ekor oci bakar, kangkung cah, panganan, dan aneka minuman yang dihampar sejak Jumat (8 Juli 2016) petang, membuat lalu lintas percakapan menderas. Tampaknya makanan enak memang selalu menjadikan hormon, termasuk ''hormon bicara'', aktif bergolak.

Lewat tengah malam, majelis bual-bual kian menggelegak karena kehadiran beberapa tokoh yang secara politik cukup punya pengaruh di Bolmong Raya. Mereka tiba satu per satu, lalu akhirnya tak kuasa lagi melepaskan diri. Akan halnya anak-anak dan para istri, diam-diam telah menghempaskan diri (saya kira dengan menahan geram karena ayah dan suami dengan tak tahu diri mengabaikan kantuk yang menggantungi mata) di ruang tengah dan melayang bersama dalam koor dekuran.

Tersebab tak ada topik khusus, percakapan yang datang dan pergi merentang dari semi final Piala Eropa hingga faedah ulat kangkung sebesar kelingking yang tidak sengaja ikut tergigit. Toh sepanjang tidak beracun, ulat adalah salah satu sumber protein sedap. Bahkan di beberapa daerah, termasuk Bolmong, ulat sagu (obatog) dikenal sebagai teman nasi yang lezat.

Selepas tengah malam kabar itu datang. Mula-mulanya dengan pernyataan spekulatif: ''Kita dengar kata....''; disusul pertanyaan: ''Butul jo itu?'' Karena kabar yang tiba cukup mengguncang, beberapa orang beranjak dan mulai menelepon. Saya kira, andai yang ditanyakan bukan perkara serius, mereka yang sudah tertidur dan dibangunkan dengan raungan telepon menjelang subuh, punya alasan sahih mendahului jawabannya dengan cacian.

Bersama kian dinginnya udara menjelang pagi di ujung Kelurahan Mogolaing yang berbatasan dengan Motoboi Kecil, yang mulanya duga-duga mulai benderang. Apalagi ada salah satu saksi mata yang berhasil dibangunkan dan bersedia memberi konfirmasi--tentu dengan suara serak yang sulit dibedakan antara menahan haru atau mati-matian bertempur dengan mata yang dipaksa melek.

Pembaca, galibnya Lebaran, para politikus papan atas, pejabat teras, dan birokrat elit membuka pintu rumah lebar-lebar, menerima kunjungan orang ramai yang berkesempatan bertemu langsung, menjabat tangan, dan (syukur-syukur) berkesempatan sepatah-dua berbincang dengan tuan rumah. Bupati Bolmong, Salihi Mokodongan, yang segera menanggalkan masa jabatan (pertamanya) pada Minggu, 17 Juli 2016, juga menggelar tradisi  yang dikenal sebagai open house ini di kediamannya di Lolak.

Open house di kediaman Bupati, yang semestinya menjadi etalase politik, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat kabupaten yang dia pimpin, pastilah bukan sekadar keramaian di rumah Ketua RT atau Kades. Bila perlu tenda yang didirikan dan kursi yang tersedia mampu menampung ratusan orang yang datang seketika; makanan dan minuman yang dihampar meruah dan mengundang selera; dan among tamu siaga di semua sudut, siap memberikan layanan prima.

Pendek kata, open house seorang Bupati adalah pesta di mana orang banyak datang menunjukkan hormat, respek (mungkin juga ''takut''), dan kasih sayang,  terhadap dia. Apalagi para birokrat dan perangkat birokrasi yang berada di bawah kepemimpinannya. Saya kira, di luar mereka yang bertugas mengurusi tetek-bengek protokoler, terutama para birokrat yang selama ini diberi kepercayaan jabatan, promosi, dan kemudahan oleh Bupati, bahkan semestinya harus meluangkan waktu lebih dari sekadar datang, berjabat tangan, mencicipi suguhan, dan pulang.

Di Idul Fitri 1437 H ini, seluruh gambaran indah itu buyar di kediaman Bupati Salihi. Tenda besar didirikan, kursi-kursi ditata, makanan dan minuman disiapkan, tetapi selepas Sholat Id kemuraman menggantung. Tamu yang tiba hanya dihitung dengan jari. Bahkan di jam makan siang, yang biasanya menjadi puncak arus orang banyak, hanya ada beberapa birokrat level menengah Bolmong dan istri mereka yang duduk menemani Bupati.

Tak ada keriuhan yang hidup dan melegakan seperti tahun-tahun sebelumnya. Tiada terlihat protokoler yang lalu-lalang mengatur tamu dan acara. Termasuk tak tampak pula Satpol PP pimpinan Laksamana Jenderal Linda ''Aladeen'' Lahamesang yang biasanya sigap mengawal kediaman Bupati Salihi.

Kepada saya (langsung), salah seorang tetamu yang saat itu hadir, bersaksi bahwa di Lebaran ini Bupati Salihi memang ditinggalkan oleh semua orang yang selama ini mengerubungi dia. Tidak terkecuali para birokrat asal Lolak yang dipromosi di masa pemerintahannya. Ah, seketika saya teringat pada lagu tua Mongondow: Ki Bata' ki Dumondaloi. Betapa mengguncangnya syair lagu ini siang itu di kediaman Bupati. Nonaid bo nonogulanoi/Tonga diya'bi' in no'i angoi/Ki Bata ki Dumondaloi/Lua'nea no taput kon ayoi.

Kurang dari enam bulan sejak pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk dilantik sebagai Bupati-Wabup Bolmong, saya meyakini banyak hal yang akan berjalan keliru di Bolmong. Bahwa, khususnya Bupati, punya logika, nalar, dan sikap sendiri (termasuk tidak memerlukan komentar, apalagi sekadar satu-dua saran dari saya). Tersebab itulah, sekalipun memendam marah dan sesal--khususnya pada perilaku para birokrat di jajarannya--, saya akhirnya melegakan jiwa dan berhenti bahkan sekadar menyedekahkan kritik terhadap dia.

Namun, sebagai bagian dari warga Mongondow, setelah 4,5 tahun menjauh dari Bupati Salihi (jangankan bertemu, bertelepon dan mengirim pesan saja tidak) dan hanya menyaksikan komedi dan pesta pora pemerintahan dan birokrasi di Bolmong dengan dada yang sesak karena sebal, perlakuan orang banyak (lebih khusus para birokrat dan orang-orang puas menangguk keuntungan dari jabatan Bupati Salihi) membuat saya turut terluka. Kebiadaban bukanlah soal memenggal kepala atau menyiksa seseorang dengan darah dingin. Menjadikan Lebaran terakhir seorang Bupati sunyi-senyap, padahal kekuasaannya tinggal menghitung hari kurang dari jumlah jemari di dua tangan, sungguh perilaku yang lebih rendah dari adab segerombolan babon.

Salihi Mokodongan bukanlah dan teramat jauh dari perilaku diktator yang digambarkan sastrawan Kolombia, Gabriel Garcia Marquez, dalam The Autumn of the Patriarch (El otono del patriarca). Novel ini, yang terbit pertama kali dalam bahasa Spanyol pada 1975 (sekaligus best seller pada tahun yang sama di Spanyol), menurut Marquez, adalah, ''Sebuah puisi tentang kesendirian kekuasaan.'' Tapi, kesendirian yang kejam itu memang pantas untuk para diktator.

Bagaimana dengan Bupati Salihi? Orang yang justru memimpin dengan kelemah-lembutan lebih dari seorang ustadz. Yang memperlakukan kekuasaan politik dan birokrasi di tangannya dengan kenaifan kanak-kanak usia delapan tahun. Yang urung mencopot jabatan seorang birokrat sebab: ''Bagimana kasiang dengan depa anak-anak pe biaya skolah?''

Saya menyukai dan tergila-gila dengan kisah-kisah realisme magis Marquez. Tetapi, apa yang dilakukan orang ramai terhadap Bupati Salihi di open house Idul Fitri 1437 H adalah seseram dan seliar-liarnya realisme magis yang bahkan mungkin tak terlintas di benak Marquez.

Di mimpi terburuk pun saya tak pernah membayangkan menjalani momen sesakral dan seagung Idul Fitri dalam kesendirian. Apalagi jika saya masih memiliki sisa kekuasaan, walau itu hanya tinggal menghitung jam dan detik. Dan karena itu, setelah hari-hari kekuasaannya berlalu, akhir pekan ini, Insya Allah saya akan datang dan kembali menjadi bagian dari orang-orang yang bangga dan sukacita mengenal dia sebagai seorang manusia. Bukan Bupati, orang kaya, tokoh politik, atau salah satu warga kelas elit masyarakat Mongondow.

Buat saya--dan beberapa gelintir orang yang mengenal dia dengan baik dan sempat menjauh karena jengah dengan kekuasaan--, Salihi mungkin adalah Bupati, pemimpin, dan politikus yang buruk. Amat jauh dari ideal. Tapi dengan seyakin-yakinnya saya dapat bersaksi, dia adalah orang baik dengan hati yang baik.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; H: Hijriyah; Kades: Kepala Desa; PP: Pamong Praja; RT: Rukun Tetangga; Satpol: Satuan Polisi; dan Wabup: Wakil Bupati.