Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, November 23, 2015

Gelar Odong-odong Organisasi ‘’Tarepak’’ untuk Pejabat Gubernur Sulut

SEMESTINYA para pemimpin politik dan birokrasi di KK terdidik dan berpendidikan, setidaknya dari gelar yang mereka letakkan di depan atau belakang nama; serta—yang paling penting—pencapaian jabatan publik yang diemban. Semestinya, karena mereka adalah ‘’pemerintah’’, pengemban amanat orang banyak, yang dijalankan adalah kepentingan yang lebih luas, strategis, dan jangka panjang.

Pemimpin politik dan birokrasi yang sebenar-benarnya pelayan publik semestinya bukan antek segolongan orang, terlebih dari para calo yang memanfaatkan setiap kesempatan dan kesempitan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Dan semestinya pula, sebelum mengambil tindakan atas nama publik, mereka menaati aturan yang dibuat secara struktural dari Pusat hingga Daerah. Negeri ini sebuah Republik (dengan ‘’R’’), yang punya norma, etika, hukum, tata, dan aturan. Sebagaimana Mongondow (dengan ‘’M’’ pula) punya pranata yang sama.

Karena itu, saya benar-benar terperanjat mengetahui Pejabat Gubernur Sulut, Soni Sumarsono, tiba-tiba diberi gelar adat (yang diklaim sebagai gelar adat Mongondow) dalam kunjungan resminya, Sabtu, 21 November 2015. Yang kian membuat saya tidak mengerti, mengapa Pemkot KK terlibat dalam penganugerahan gelar ini, mengingat yang memberikan adalah Amabom—setidaknya demikian yang saya baca di situs Radar Bolmong, Minggu, 22 November 2015, ‘Dega Nion Don Punu Molantud’: Pj Gubernur Bahas PBMR dan Terima Gelar Adat (https://radarbolmongonline.com/dega-nion-don-ima-gelar-adat/13429/).

Pembaca, Amabom bukanlah institusi yang mewakili budaya, adat, dan tradisi Mongondow. Lembaga ini cuma LSM, yang pengurusnya pun sesuka-sukanya mengangkat dan mengklaim representasi untuk dirinya sendiri. Memangnya siapa saja masyarakat Mongondow yang mengangkat Jemmy Lantong, Muliadi Mokodompit, atau orang-orang petantang-petenteng mengaku Amabom sebagai representasi adat Mongondow? Dengan cara apa mereka diangkat dan diakui?

Sepanjang mereka tidak melakukan tindakan kriminil, pelanggaran etika atau norma, dan lebih khusus lagi budaya, adat, dan tradisi Mongondow; sikap saya: sesuka-suka kalianlah! Tapi tidak untuk menjual Mongondow dengan harga murah seperti penganugerahan gelaradat  yang kian seenaknya dilakukan oleh lembaga ini, apalagi—belakangan dalam kasus Pejabat Gubernur Sulut—atas dukungan Pemda.

Pembaca, Kerajaan Bolmong dan satelit-satelitnya sudah lama berakhir. Ini fakta sejarah yang tak perlu diperdebatkan. Dengan berakhirnya kerajaan, maka berakhir pula segala hal-ihwal pewarisan kekuasaan, struktur pemerintahan, dan atribut-atribut yang melekat bersamanya. Jika pun masih ada penghormatan terhadap masa lalu, termasuk untuk anak-temurun para pemimpin Kerajaan Mongondow dari masa nostalgi itu, semata sekadar tradisi yang kian lama kian meredup.

Mau Anda berdarah biru kek, biru tua kek, keturunan Tuang Raja kek, atau sekadar ‘’tukang nae kalapa’’, harus diakui tidak lagi penting di kekinian Mongondow. Sepanjang Anda tidak kompeten dan hanya mengandalkan ‘’kisah jaya masa lalu’’, hari ini Anda bukan siapa-siapa.

Tapi orang Mongondow bukan ‘’bangsa yang tidak berbudaya dan nir-adab’’. Masa lalu dihormati, dan karena itu sejumlah budaya, adat, dan tradisi tinggi tetap dipelihara. Ada atau tidak Amabom atau aku-mengaku dari mereka yang masih mimpi era kerjaan dan merasa berdarah biru. Sebab itu, setiap tindakan melecehkan budaya, adat, dan tradisi itu semestinya dilawan dengan sungguh-sungguh.

Apalagi, kali ini Amabom sudah keterlaluan. Pejabat Gubernur diberi gelar ‘’Punu’ Molantud’’—menurut Sekretaris Amabom, Muliadi Mokodompit (tampaknya di setiap peristiwa yang bengkok di Mongondow nama ini selalu ada di depan, termasuk dalam kisruh UDK terakhir ini), diberikan untuk pemimpin tertinggi atau Raja Agung. Barangkali kita tinggal menunggu waktu nanti pejabat setara menteri akan diberi gelar (lucu-lucuan) ‘’Punu’ Totok Molantud’’, lalu Presiden RI disemati gelar entah apalagi di atas itu.

Berdasar Permendagri No 52/2014 Tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, ada tata cara yang harus ditempuh agar masyarakat (hukum) adat di satu daerah di wilayah RI diakui. Masyarakat (hukum) adat mana yang diklaim oleh Amabom? Dan bagaimana pengakuannya didapat, terutama dari otoritas berbangsa dan bernegara tertinggi di negeri ini, yaitu Pemerintah Indonesia?

Hingga tulisan ini dibuat, sepengetahuan saya belum ada satu pun pengakuan terhadap masyarakat (hukum) adat di wilayah Mongondow yang diproses. Lain soal kalau dilakukan diam-diam; tetapi dengan demikian ada hak orang banyak yang ditelikung oleh segelintir maling dan manipulator di Bolmong.

Konsekwensi dari posisi Amabom yang sedemikian itu, membuat hubungannya dengan Pemkot KK tidak memiliki payung hukum formal. Sederhananya: Dukungan Pemkot KK terhadap aktivitas Amabom tidak berbeda dengan dukungan terhadap KNPI, LSM, Ormas, atau organisasi mahasiswa. Ada proposal yang disampaikan, ada persetujuan dan alokasi anggarannya. Atau, dalam hal-hal yang lebih strategis semacam kerja sama untuk peristiwa yang berkaitan dengan kepentingan Pemkot, ada kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian yang dapat dipertanggungjawabkan. Terlebih jika kerja sama itu menggunakan APBD atau yang membawa-bawa nama Pemkot.

Tanpa dasar hukum yang jelas, dari aspek formal, tindakan Pemkot KK turut serta dalam penganugerahan gelar dari Amabom untuk Pejabat Gubernur Sulut adalah penyalahgunaan. Bahkan jika menggunakan APBD, keikutsertaan itu adalah korupsi. Sedang dari aspek budaya, adat, dan tradisi Mongondow, tak diragukan lagi, kehadiran jajaran Pemkot dalam anugerah gelar bodong oleh Amabom untuk Pejabat Gubernur Sulut adalah permufakatan dan persekongkolan jahat meredahkan harkat seluruh orang Mongondow.

Melihat sepak terjang Amabom, saya kira organisasi ini tak beda dengan komplotan ‘’mama minta pulsa’’. Saya meragukan pula dari aspek legalitas apakah organisasi ini memiliki kelangkapan  AD/ART dan kewajiban formal organisasi lainnya di negeri ini. Itu sebabnya, karena cuma LSM yang mengaku-ngaku, sebaiknya Jemmy Lantong dan seluruh pengurus Amabom harap tahu diri. Anda boleh memberikan gelar apapun, termasuk Kaisar untuk diri Anda sendiri, Sultan untuk Muliadi Mokompit, atau Paduka yang Mulia untuk siapa saja yang Anda sukai atas nama Amabom. Terserah. Tapi jangan atas nama budaya, adat, dan tradisi Mongondow.

Ingat, Amabom cuma LSM. Bukan pranata dan insitusi budaya, adat, dan tradisi Mongondow. Bahwa satu saat, di kesempatan lain ada yang akan menyampaikan pada Pejabat Gubernur Sulut, Soni Sumarsono, dia telah ditipu dengan gelar odong-odong dan dari organisasi tarepak, saya pastikan: Sayalah yang memberi tahu!***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AD/ART: Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga; Amabom: Aliansi Masyarakat Adat Bolaang Mongondow; Bolmong: Bolaang Mongondow; KK: Kota Kotamobagu; KNPI: Komite Nasional Pemuda Indonesia; LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; Ormas: Organisasi Masyarakat; Pemda: Pemerintah Daerah; Pemkot: Pemerintah Kota; Permendagri: Peraturan Menteri Dalam Negeri; RI: Republik Indonesia; dan Sulut: Sulawesi Utara.