Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, October 20, 2024

Pilwako KK: Debat atau Diskusi Siswa SMA?

SAYA tidak menonton Debat Terbuka Pilwako KK, Sabtu malam, 19 Oktober 2024.

Hampir sepanjang akhir pekan saya berada di tempat terbuka. Lebih 5 jam terus-menerus terpapar sengatan matahari. Petangnya, saya baru sadar nyaris terkena heat stroke. Dehidrasi, suhu tubuh terasa tinggi, lemas, dan agak melayang.

Sebagai anak kampung yang semasa kecil hingga remaja gosong dipanggang matahari, terik siang selalu saya anggap bukan ancaman. Tapi, percaya saja, heat stroke itu nyata. Yang paling terasa, begitu mencoba tidur lebih awal tepat setelah ba'da Magrib, saya disergap mimpi-mimpi aneh, tak beda dengan jet leg (sesuatu yang pertama saya alami sekitar lebih 20 tahun lalu saat terbang marathon dari Indonesia ke Amerika Selatan). 

Bayangkan, dalam tidur yang tak nyaman, Anda merasa teve seperti melayang dan siap menerkam. Jelas bukan mimpi yang semestinya diimpikan.

Komedi yang dihelat KPU KK itu baru saya tonton Minggu pagi, 20 Oktober 2024, dengan banyak menggaruk kepala. 

Sebagaimana penyelenggara Pilkada setidaknya sejak era pemilihan langsung, KPU KK--dan umumnya KPU--tak bisa membedakan apa ''debat'' dan apa ''diskusi''. 

Sekali-kali tengoklah KBBI. Debat, kata kamus, adalah, ''Pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing''; sedang diskusi adalah, ''Pertemuan ilmiah untuk bertukar pikiran mengenai suatu masalah.''

Tampaknya seluruh komisioner KPU KK memang nir imajinasi. Mereka menetapkan topik, tetapi kemudian juga menyiapkan pertanyaan. Semestinya, dalam debat, Paslon mengelaborasi pendapat mereka sesuai tema, lalu pesaingnya menguji, bahkan sedapat mungkin mementahkan. 

Lebih sederhana lagi, ditingkat teknis, debat otomatis berakhir ketika para pihak yang terlibat mencapai kata sepakat terhadap isu yang diperdebatkan. Dan karena itu debat punya pemenang, yakni pihak yang pendapatnya tidak dapat digoyah lagi.  Sebaliknya, diskusi adalah upaya mencapai kompromi. Sebab diskusi memang tak lain ikhtiar mengumpulkan semua pendapat  yang lalu sedapat mungkin menjejalkan ke dalam satu konklusi sebagai hal buah pikir bersama.

Agar penilaian terhadap debat dilakukan fair, perlu pihak independen yang kredibel dan ahli dalam isu yang diperdebatkan. Karena saya tidak melihat ada panel penilai di debat Pilwako KK, saya menduga KPU menyerahkan penilaian sepenuhnya pada kewarasan masyarakat KK. Duh, betapa tidak bertanggung jawabnya mereka.

Rekaman Debat Terbuka Pilwako KK sepanjang 2 jam 47 menit 15 detik yang saya tonton (versi TVRI), lebih mirip diskusi kelompok mahasiswa semester 3. Apalagi dalam sesi tanya jawab yang melompat-lompat dari satu isu ke lain topik (ini apa-apaan, debat kok ada tanya jawab yang tak jelas juntrungan), mutu pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan hampir semua kandidat, kuaci belaka. Persis saling-silang antara siswa kelas 3 SMA Negeri 2 Kotamobagu.

Pernyataan yang dilontarkan bahkan kerap keluar dari tema besar yang ditetapkan oleh KPU. Tidak pula ditengahi oleh moderator--yang syukurlah cukup ahli mengingatkan waktu 1 menit tiap pembicara. Menjelang akhir, semua yang hadir dalam pentas lucu-lucuan itu seolah lupa yang harus diperdebatkan adalah tentang Penguatan Kualitas Sumber Daya Manusia dan Kesejahteraan Masyarakat.

Malah urusannya sempat melenceng pula ke ihwal UMKM (ya, sedikit ada relevansi dengan kesejahteraan masyarakat) dan membuat salah satu Paslon Wawali ''terpaksa'' memberi sedikit tausiah apa beda usaha mikro, kecil, dan menengah. Calon Wawali yang getol kampanye UMKM dan gagap dengan pertanyaan anak TK, "Pengkategorian UMKM seperti apa?"; harus kita respon dengan cara apa? Mengusap dada?

Secara umum, sepanjang diskusi ada bagian-bagian yang mengingatkan saya pada Almarhum Tino Sidin. TVRI zaman dulu, 1980-an, suka menayang belajar menggambar yang diasuh Tino Sidin (yang tampil sangat khas: wajah teduh, penuh senyum, dihiasi baret khas pelukis). Yang sukar dilupakan, demi menyemangati bocah-bocah yang mengirimkan gambar untuk dikomentari, Tino Sidin hanya punya satu kata: Bagus!

Diskusi (bukan debat) antar para Paslon yang dipertontonkan benar-benar harus dikomentari, ''Bagus!", untuk pernyataan-pernyataan yang kualitasnya membuat kepala puyeng karena kebanyakan menggeleng. 

Bila ada lagi yang disebut debat, maka selayaknya KPU KK menggelar yang benar-benar debat. Jika tidak bisa, sebab tidak paham apa itu debat, duit yang dihamburkan sebaiknya dialokasikan untuk urusan lain yang lebih mustahak. Termasuk membeli kamus agar komisioner KPU bisa membedakan mana debat, apa diskusi, dan yang bagaimana yang disebut cuma bual-bual kampanye.

Tetap ada yang bisa dipetik dari debat prakteknya diskusi itu. Masyarakat setidaknya dapat menilai kualitas para Paslon, minimal dari bagaimana mereka menyampaikan sesuatu yang substansial dengan sederhana dan ringkas. Warga KK membutuhkan pemimpin yang tidak lagi doyan bicara, senang mendengar kata-katanya sendiri, dan kebanyakan cuma omong kosong pemercik ludah.

Kita harus menghentikan penderitaan mendengar pidato Wali Kota atau Wawali, bahkan di pengantar pemakaman, yang saking panjangnya hingga membuat sebagian besar hadirin merutuk atau jatuh tertidur. Barangkali DPRD KK perlu merumuskan Perda yang membatasi durasi pidato pejabat daerah tidak lebih dari 15 menit; memotong ucapan lebai macam, ''Terima kasih atas kesempatan yang diberikan'' (idiot, kalau Anda bukan Paslon, tidak ada kesempatan yang akan diberikan di atas panggung); dan segala kalimat menye-menye yang cuma membuat kuping berdenging.

Wali Kota dan wawali adalah pembuat kebijakan. Mereka harus mampu menyampaikan visi dan ide besar dalam ringkasan yang dipahami anak usia 7 tahun hingga orang tua yang usianya tinggal menghitung hari. Untuk itu, syaratnya: Wali Kota dan Wawali mesti memahami substansi masalah yang dihadapi. Dan untuk paham subtansi, mereka harus menguasai aspek-aspek paling dasar dan normatif.

Para pengambil kebijakan, eksekutif tertinggi (negara, daerah, perusahaan), mengenal apa yang disebut sebagai executive summary. Paparan, kerap panjang dan rumit, yang diringkas menjadi informasi yang pendek, fokus, tetapi mengambarkan keseluruhan masalah dengan lemngkap dan terang.  Executive summary ini yang menjadi pesan menyeluruh yang semestinya keluar dari mulut wali kota dan wawali.

Tidak usah berharap ada konsep sementereng OVOP yang melahirkan produk-produk khas skala desa di Jepang (yang di-copy paste jadi OTOP di Thailand), jika Paslon Wali Kota dan Wawali masih bingo-bingo yakimenjabarkan beda usaha mikro, kecil, dan menengah. Tidak usah pula mimpi kita membahas visi kesehatan abad 21 yang penuh teknologi digital dan terapi nano bila urusan hari ini masih bersikutat pada soal monopoli fasilitas kesehatan.

Monopoli hanya dapat dilakukan jika kita unggul sumber daya. Manusianya; teknologi dan alat-alat penunjangnya; serta pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.

Wahai KPU KK, supaya duit negara tidak Anda sia-siakan; siapakah pemenang debat pertama Pilwako yang sudah dihelat penuh warna dan bunga-bunga itu? Saya tidak berharap mendapatkan jawaban atas pertanyaan ini.***

Singkatan dan istilah yang digunakan:

DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesia; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; OTOP: One Tambon One Product; OVOP: One Village One Product; UMKM:Usaha Mikro Kecil dan Menengah; Pilwako: Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali kota; SMA: Sekolah Menengah Atas; dan TVRI: Televisi Republik Indonesia.

Wednesday, October 16, 2024

Doa, Duit, dan Darah: Memohon Maaf Bukanlah Aib

MINGGU pagi, 13 Oktober 2024, saya masuk ruang kedatangan Bandara Sam Ratulangi dengan agak sempoyongan. Kantuk berat menggantung akibat konsumsi obat batuk sungguh mendesak segera dituntaskan.

Praktis dua hari setelahnya saya menghabiskan waktu dengan memuaskan istirahat. Hanya sedikit mengurusi urusan kantor, sekilas menegok keriuhan berita penyusunan kabinet Presiden (terpilih) Prabowo, dan sepintas menyimak perkembangan Pilwako KK. 

Rabu, 15 Oktober 2024, batuk mereda, energi mulai pulih, dan tensi Pilwako KK langsung disodorkan di depan hidung saya. Sepotong video yang merekam orasi Yasti Soepredjo Mokoagow saat berkampanye untuk Paslon Nomor 3. Saya kaget, terutama karena kata yang digunakan dan cara menyampaikannya. 

Jika diringkus menjadi pesan pendek, Yasti kurang lebih menekankan tiga hal berkaitan dengan optimisme kemenangan Paslon Nomor 3. Dia yakin calon yang didukung bakal menang karena pasangan ini punya dukungan tiga hal penting: doa, duit, dan darah. 

Sebelum urusan saya pribadi dengan Yasti jadi spekulasi, saya men-disclosure: kami punya hubungan yang sangat baik dan cukup dekat (setidaknya ini menurut versi personal saya). Saya tidak akan menyerang dia, apalagi mengkritik keras--terlebih mempermalukan. Bahwa kemudian, kali ini, di Pilwako KK kami berbeda pendapat dan dukungan (saya terang-terangan mengumumkan mendukung pasangan Meiddy-Syarif), ini soal demokrasi biasa.

Makanya, saya tidak paham siapa yang disebut ''sebelah'' dalam video pendek yang saya tonton, yang di dalamnya juga ada orasi dari Benny Rhamdani. Pejabat negara sekaligus suami dari calon Wawali KK Paslon Nomor 3. Tapi karena Paslon paling miskin (dari semua aspek, kecuali dukungan konstituen) adalah paslon Nomor 1, absah saja ada syak bahwa beberapa diksi keras yang disampaikan memang ditujukan untuk pasangan Mesra. 

Entahlah dengan Meiddy. Tapi masak Yasti tega melontarkan sese' (kata yang sungguh melecehkan) kepada, paling tidak Syarif, yang bertahun-tahun punya hubungan sangat baik dan dekat dengan dia? Yang menyapa dia ''Mbak'' dengan penuh hormat.

Tapi baiklah, mari kita lanjutkan perbedaan pandangan dan pendapat di Pilwako KK ini dengan cara sebaik-baik manusia. Perbedaan di antara manusia, merujuk Khalifah Ali bin Abi Thalib (599-661 M), jika tidak bertemu dalam banyak hal, pada akhirnya mesti diingatkan: kita bersua di titik kemanusiaannya manusia. Hanya dengan kemanusiaan, manusia masih ditempatnya sebagai makluk dengan posisi tertinggi di antara para hewan.

Doa, duit, dan darah untuk menang Pilwako. Ini praktik politik yang saya kenal selama ini hanya sebagai spekulasi. Doa, urusannya antara individu dengan Allah SWT, setidaknya demikian ajaran Islam yang saya anut dengan takzim, hati-hati, dan penuh kepasrahan. Dan untuk perkara ini, saya berhenti sampai di sini.

Duit, ya, setiap urusan memerlukan biaya. Apakah duit adalah segala-galanya? Dahulu kala ada kartu yang diproduksi oleh Hallmark, yang suka menaruh kata-kata bijak pengingat, semacam: ''Money can buy a house, but not a home; Money can buy a bed, but not sleep; Money can buy a clock, but not time; Money can buy a book, but not knowledge; Money can buy food, but not an appetite; atau Money can buy you friends, but not love.'' 

Duit bisa membeli massa, tapi saya tidak yakin apakah tumpukan tinggi rupiah (seberapa menggunung pun itu) cukup banyak untuk membeli dukungan. Apalagi untuk membeli harga diri mayoritas penduduk KK. 

Di tanah Mongondow, bahkan jika kita sama sekali tidak punya dan memerlukan bantuan, mohon diberikan dengan penuh hormat. Kami na'a in-boga' bi', ta' aka mo bogoy, yo na'ai bi' ta moko kuyang kon gina.

Dan darah? Apa maksudnya pernyataan ini? Apakah maksudnya jika Paslon Nomor 3 akan dimenangkan sekalipun dengan menumpahkan darah? Atau, jika Paslon Nomor 3 kalah, maka darah akan tumpah?

Bila hari ini para pendukung Paslon Nomor 3 bagai disengat kalanjengking sibuk memberikan klarifikasi, sejujurnya: mengarang-ngarang alasan cuma bikin urusan makin kusut. Akui saja, karena lidah memang tak bertulang, ada yang terpeleset dan terlampau bersemangat hingga sesaat kehilangan kontrol. 

Orang Mongondow adalah bangsa pemaaf. Apalagi untuk orang-orang yang ditokohkan. Memohon maaf bukan aib. Bahwa memohon pemaafan itu bakal mengurangi sedikit jumlah dukungan, masih lebih baik daripada pernyataan ''darah'' ini terus menggelendung dan jadi batu pemberat yang mempercepat tenggelamnya Paslon Nomor 3.

Diksi seram, apalagi disampaikan dengan berapi-api, dalam setiap event yang melibatkan massa, memang efektif membakar otak orang ramai. Tapi di zaman ini, ketika pengetahuan sudah dibagikan tanpa sekat, di mana orang mudah mengecek fakta dan rekam jejak, kata-kata hanya bertuah ketika menemukan konteks dan masuk akal. 

Massa, secara teoritis, adalah kelompok yang kehilangan pikiran pribadi ketika bertemu dalam kerumunan. Tapi saat mereka kembali menjadi orang per orang, individu yang dengan akal sehat yang telah pulang ke kepala, emosi orang ramai akan kehilangan kesaktian.

Orang per orang dengan akal sehat itu dipertontonkan oleh ibu-ibu, para perempuan, dan mereka yang gotong-royong menyiapkan kampanye Paslon Nomor 1 di Matali, Selasa malam, 15 Oktober 2024. Hal yang sama juga dilakukan oleh warga di Poyowa Kecil; dan--yang saya dengar--juga oleh masyarakat Sinindian. Pernyataan menggetarkan saya peroleh langsung dari mereka yang terlibat, bahwa, ''Calon cukup datang. Samua torang so sadia.'' 

Orang-orang yang barangkali memang tidak punya banyak duit sedang mengumpulkan keikhlasan di antara sesama dan menunjukkan: yang diremehkan punya cara sendiri merayakan harga dirinya,

Massa yang berkumpul di kampanye Paslon Nomor 1 di Matali adalah bukti bahwa kesadaran pribadi yang dikumpulkan dengan mengedepankan akal sehat sungguh melebihi nilai duit. Dan bukankah politik semestinya demikian? Kita ingin memilih pemimpin sesuai dengan keinginan dan harapan kita; dan untuk itu kita akan melakukan bersama-sama.

Duit kehilangan magnet dan pesonanya ketika orang-orang yang sadar politik turut turun tangan. Pada kenyataannya, orang banyak yang warga biasa, punya pendapat sendiri, atas kesadaran sendiri. Mereka punya simpati dan empati sendiri, apalagi Paslon Nomor 1 memang nir segala-galanya.

Tidak ada yang katanya tokoh yang berdiri di belakang mereka karena sudah diborong habis Paslon lain; duit mendekati pas-pasan saja sudah syukur; partai pendukung juga cukup bandrol saja. Yang mereka punya, menurut pendapat saya yang boleh didebat dan dibantah oleh sesiapapun, mereka hanya punya dua modal paling dasar: dukungan dari konstituen yang sudah bertahun-tahun dibina dan hak politik sebagai politikus dengan fakta rekam jejak yang sulit diperdebatkan.

Wali Kota-Wawali adalah jabatan politik untuk kepentingan publik. Calon Wali Kota Meiddy Makalalag adalah ketua parpol peraih kursi terbanyak Pemilu 2024 di DPRD KK dan Syarif adalah ketua parpol yang dua Pemilu berturut-turut beroleh satu fraksi di DPRD KK. Dua Paslon lain?

Tanpa bermaksud mengecilkan Paslon yang lain, jika kita ingin memilih petinju pemenang yang tahu persis cara bertinju, maka pilihlah dia yang cukup latihan dan sudah membuktikan diri lewat pertandingan. Memilih yang mendadak bertinju hanya karena punya uang bejibun serta didukung promotor hebat, adalah tindakan bodoh tak bernalar. Kecuali jika mendadak bertinju itu adalah Superman, Spiderman, atau Batman.

Meiddy-Syarif sudah membuktikan mereka adalah petinju juara. 

Saya sudah menyampaikan pendapat. Jika ini dianggap sebagai kampanye, maka biarkan demikian adanya.*** 

Singkatan dan istilah yang digunakan:

Bandara: Bandar Udara; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; KK: Kota Kotamobagu; Mesra: Meiddy-Syarif; Paslon: Pasangan Calon; Pilwako: Pemilihan Wali Kota (dan Wawali); SWT: Subhanahu Wa Ta'ala; dan Wawali: Wakil Wali Kota.

Sunday, August 18, 2024

Kota Kita, Rumah Kita: Catatan Politik untuk Pilwako KK 2024

MENGAPA sekarang saya bersuara setelah hampir lima tahun menghilang dari percakapan sosial, ekonomi, budaya, dan (utamanya) politik di Bolmong Raya? Mengapa pula adalah tentang politik praktis?

Ada yang lebih blak-blakkan dan berani menonjok: "Abang kan sedang membela Meiddy!"

Saya menghargai dan membenarkan pernyataan itu. Apa yang salah dari membela seorang Ketua DPC partai besar yang juga Ketua DPRD KK? Apakah ada yang gatal-gatal dan terganggu saluran pernafasan jika saya yang warga Panang bersimpati terhadap warga Panang yang lain (yang tidak mengerti apa itu ''Panang'', tolong pelajari penamaan area-area di sekitar Mogolaing dan Motoboi Kecil)? Apalagi isu yang melibatkan dia ada di ruang publik dan saya menjadi salah satu warga sipil di dalamnya. 

Di lanskap politik praktis KK dan negeri ini umumnya, saya tidak berani berteori, apalagi bikin pernyataan yang menggarami laut, misalnya soal ideologi, politik dinasti, atau politik demi kemaslahatan bangsa, negara, dan seisinya. Rasanya sudah lama hal-hal luhur yang seharusnya kita takzimi dan perkara bangsat yang semestinya kita tolak, cuma jadi materi pidato politik.

Ideologi, etika, norma, dan praktik politik apa yang sedang dijalankan di Sulut misalnya, jika seisi rumah dan seluruh keluarga dekat petinggi partai yang juga eksekutif pemerintahan puncak dengan segera bertebaran mengisi jabatan publik? Sama halnya dengan di sebagian wilayah Bolmong Raya. Begitu seseorang menjadi Walikota atau Bupati, dengan sontak pula bala keluarga bersesakan mengejar jabatan publik, bahkan ikut campur mengurus politik, pemerintahan, dan perkara orang banyak.

Kalau ada sesiapapun di Mongondow yang berani membantah apa yang saya tuliskan itu, bawa ke sini mulutnya untuk disumpal dengan tinju Jalan Amal. Kita semua tidak buta (yang buta pun sepanjang tak tuli pasti punya informasi terbarukan) dan bila masih punya setitik akal sehat, pasti menyimpan prihatin dan kejengkelan yang sama.

Tidak ada yang rahasia dan konspiratif dari manuver dan silat politik kelas rendahan. Asal-muasal isu politik KK yang sekarang menjadikan Meiddy Makalalag sebagai pusat perhatian, cuma soal golojo biasa. Ada pejabat publik dan pengurus partai level tinggi di Jakarta yang kepingin istrinya jadi Walikota atau Wawali, lalu main kayu kiri-kanan supaya inginnya tersampaikan. Ini juga biasa saja.

Itu sebabnya, barangkali, sejak kecil saya kenyang mendengar para politikus Mongondow dengan enteng mengatakan, ''Natua-bi' in pulitik.'' Kita tidak perlu marah.

Sama halnya dengan politisi senior asal Mongondow yang bersikeras agar ''anak politik kesayangannya'' harus jadi balon Wawali dari partai besar pemenang Pemilu 2024 di KK. Ini juga umum-umum saja. Bahwa ada bumbu intrik yang lebih personal di baliknya, itu urusan remeh. Seperti bikin tude kuah asam tanpa menceburkan irisan cabe. Tidak mengurangi, tidak pula menambah.

Sama dengan biasa pula petinggi partai berubah jadi busisi ketika memilih balon untuk kontestasi politik di Pilkada, antara kader atau yang punya duit bejibun, atau yang punya dekingan kelas berat. Menyingkirkan kader menjadi hal sepele (katanya) sebab yang mati pun bisa bangkit melihat tumpukan duit atau yang berkumis baplang pun bakal keder jika yang datang menegur adalah kakek buyutnya.

Politikus seperti Meiddy, di tengah politik KK yang nir-ideologi, etika, dan norma, jelas adalah korban paling empuk. Sekali hap dia selesai. Dan peng-hap-an itu sudah terjadi setengah jalan. Akan komplit setelah dia dipecat oleh partai, tidak dilantik jadi anggota DPRD KK terpilih, dan (untuk sementara waktu) ronin politiklah dia.

Tidakkah ada yang sedikit menelisik bahwa politikus usia muda di KK seperti Meiddy adalah pengecualian dari sangat sedikit fenomena politik di negeri ini? Meiddy, sebagaimana Ketua NasDem, Syarif Mokodongan; Ketua PKB Jusran Deby Mokolanot; atau Wakil Ketua DPRD KK dari PG, Herdy Korompot, adalah warga biasa yang dengan tekun memanjat tangga politik. Mereka semua punya kesamaan: datang dari lingkungan keluarga Mongondow umumnya, bukan aktivis papan atas di masa sekolah, tanpa backingan mentor dengan nama besar, dan masuk politik praktis dari strata sandal jepit.

Mereka bukan politikus kage-kage ditraktir, kage-kage bekeng diri.

Jika hari ini politikus-politikus muda seperti empat orang itu kita percayai memimpin KK, mereka tahu persis harus berbuat apa. Di tangan mereka memang tidak ada jaminan KK akan jadi kota yang baldatun toyyibatun warobbun ghofur. Tapi sebagai anak kandung politik kota ini, mereka tahu persis apa yang sesungguhnya diperlukan warga KK.

Soalnya adalah: apakah kita, yang lebih tua, yang narsis merasa kuat, dan berada dijejaring laba-laba politik atau ekonomi mumpuni, punya kesadaran membiarkan anak-anak muda politikus di Kotamobagu mengurus kotanya? Mampukah kita menahan godaan tidak serakah menelan semua kursi yang tersedia di jabatan publik dan rela memberikan apresiasi, ''Ini waktu kalian. Waktu kami telah berlalu.''?

Sabtu menjelang tengah malam, 17 Agustus 2024, Syarif Mokodongan menelepon (setelah lama tidak berkabar) hanya untuk basa-basi bertanya, ''Apakah tepat kalau 'Kota Kita, Rumah Kita' jadi pesan utama untuk warga KK di Pilwako?'' Saya melompat dari ranjang dan memeras otak. Ini pesan kuat, penuh kesadaran, dan penghormatan terhadap Kotamobagu dan warganya.

Pesan itu adalah bukti mereka, yang muda-muda dan yang diupayakan sekerasnya dipinggirkan dari mainstream politik praktis KK, sesungguhnya tidak sedang bermain-main. Mereka ingin menggugah kembali politik sebagai cara menuju kesadaran bersama.

Kalimat pendek itu juga enak dan menyentuh dalam semua terjemahan. Kota i Naton, Baloi i Naton; Torang pe Kota, Torang pe Rumah; Our City, Our Home.

Dan saya, yang mungkin karena usia, kadang sentimentil bahkan untuk hal sepele, mendadak teringat pada puisi salah satu penyair terbaik negeri ini, Joko Pinurbo (11 Mei 1962 – 27 April 2024). Di Baju Bulan: Seuntai Puisi Pilihan, dia menulis, “Setelah punya rumah, apa cita-citamu? Kecil saja: Ingin sampai rumah saat senja, supaya saya dan senja sempat minum teh bersama di depan jendela.”

Saya berharap semoga Meiddy dan siapapun pasangan balon Wawalinya terpilih sebagai Walikota-Wawali KK 2025-2030. Ketika itu terjadi, saya ingin pulang ke Jalan Amal dan minum teh dengan senja di depan jendela di halaman belakang. Bila tidak, karena warga KK terlampau silau dengan segala aksesoris politik murahan, jendela dan senja masih ada di sana menunggu secangkir teh di lain hari.***

Singkatan dan istilah yang digunakan:

balon: bakal calon; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPC: Dewan Pengurus Cabang; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; KK: Kota Kotamobagu; NasDem: Nasional Demokrat; PG: Partai Golkar; Pilkada:Pemilihan Kepala Daerah; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); PKB: Partai Kebangkitan Bangsa; dan Wawali: Wakil Walikota.