KONTESTASI Pilkada Bolmong 2017 baru tahap pemanasan, tapi kejutan sudah
meletus. Musababnya adalah manuver tak terduga bakal Cabub, Salihi B.
Mokodongan, yang diusung PD, PG, dan Gerindra, serta didukung sebagian elit dan
kader PAN Sulut dengan kilah dia adalah kader partai ini.
Tanpa petanda sebelumnya, tiba-tiba SBM
memaklumatkan dia kembali ke PG. Deklarasi pulang ke bawah naungan beringin
(partai asalnya sebelum dicalonkan PAN di Pilkada Bolmong 2011) ini, bahkan
dilakukan secara terbuka di pelantikan Pengurus DPD I Sulut dan DPD II PG
Kabupaten Minsel serta 12 DPD lainnya di Amurang, Minsel, Minggu, 25 September
2016. Tak main-main, jaket kuning sebagai simbol pengakuan SBM kembali jadi
kader disematkan langsung oleh Ketua DPP PG, Setya Novanto.
Ketika mendapat kabar ''mufaraqah''-nya SBM
dari PAN, partai yang dia pimpin lima tahun terakhir sejak terpilih sebagai
Bupati Bolmong 2011-2016, saya hanya mengeleng-ngeleng tak percaya. Sungguh, mulanya
saya menduga kabar ini semacam hoax
kampanye negatif terhadap SBM dan pasangannya, Jefry Tumelap. Atau strategi playing victim (fabrikasi jadi korban
untuk memanipulasi orang lain demi mencari perhatian) mengingat beberapa
politikus elit dan tokoh pendukung pasangan ini adalah masternya. Sebab, di
hadapan kompetisi politik penting seperti Pilkada, bukankah lebih banyak
manfaat ketimbang mudaratnya dia tetap jadi kader PAN?
Hitung-hitungan politik rasional pasti
menyepakati, dengan diusungnya SBM-JT oleh tiga partai, maka ''pasar politik''
mereka sudah pasti adalah konstituen parpol pendukungnya. Modal pasangan ini
kian gembung karena SBM adalah kader PAN dan sekali pun partai ini resminya
mencalonkan YSM-YT, tetapi Ketua DPW Sulut, Sehan Landjar, membelot dan bersikukuh
tetap mendukung SBM-JT. Artinya, PAN juga bakal menyumbangkan potensi suara
signifikan terhadap mereka. Apalagi, pembangkangan Eyang dan sejumlah elit PAN
di Sulut disertai keyakinan tidak akan ada sanksi dari DPP, sebab YSM dan SBM
sama-sama kader terbaik mereka.
''Main dua kaki'' dengan dalih kandidat
yang bertarung sama-sama kader, walau menyebabkan partai ini terpecah-belah,
terbukti berhasil mendudukkan ''kader PAN'', Sehan Landjar, di kursi Bupati
Boltim 2016-2021. Tak jadi soal apakah dia kader jenis plastik, 18 karat, 21
karat, atau 24 karat. Bukan pula masalah jika pertengkaran sisa Pilkada Boltim
masih beranak-pinak di internal PAN Sulut. Politik tanpa gesekan dan otot-ototan
hambar dan membosankan.
Hingga usai pendaftaran pasangan SBM-JT ke
KPU Bolmong, saya kira orang banyak (termasuk saya sendiri) yang setia
mengikuti dinamika politik BMR, sependapat di atas kertas modal politik
pasangan ini cukup melimpah. Terlebih tokoh sekaliber Eyang dan Ketua DPD PAN
KK, Jainuddin Damopolii, tegas bersikap pantang mundur mengantar SBM-JT ke
kursi Bupati-Wabup Bolmong.
Memang ada segelintir orang yang
menyuarakan analisis berbeda, bahwa keterlibatan elit PAN Sulut seperti Eyang,
JD, dan bahkan Wasekjen DPP, Dedi Dolot, justru strategi mengamankan keputusan
partai. Alasan yang dikemukakan sejalan dengan klaim yang kerap disuarakan
Dolot, bahwa dia adalah ''orang dekat dan kepercayaan'' Ketua DPP, Zulkifli
Hasan, yang mengemban tugas
''mengamankan'' kepentingan partai di Sulut. Benar-tidaknya klaim ini,
cuma PAN yang tahu persis. Yang jelas, di beberapa peristiwa politik (termasuk
Pilkada Bloltim yang mempertemukan kepentingannya dan kebutuhan Eyang),
setidaknya yang terpapar di media massa, tampaknya Dolot mengambil peran
signifikan. Ya, sekali pun politik yang dia praktekkan terlalu tampak amatir,
mentang-mentang, dan sok jago.
Tapi jika benar dukungan Eyang, JD, dan
para elit, kader, dan simpatisan PAN di Sulut yang berbaris di belakang mereka
adalah demi mengamankan keputusan DPP, maka itu sejahat-jahatnya politik.
Keputusan DPP adalah pasangan YSM-YT. Dan jika mereka wajib diamankan, maka
pasangan SBM-JT harus kalah. Dengan kata lain, keterlibatan ''orang PAN''
dengan pasangan yang didukung PD-PG-Gerindra adalah justru untuk melemahkan koalisi
ini.
Saya sesungguhnya tak hirau dengan analisis
berbau konspirasi jahat itu. Saya tidak tahu bagaimana para politikus usia muda
di PAN, terlebih yang mendadak kejatuhan anugerah kekuasaan. Tapi masak sih orang tua dan tokoh sekelas Eyang
dan JD mau berpolitik serendah dasar selokan?
Namun, kembalinya SBM ke PG tak urung
langsung memicu saya mengingat analisis berbau konspirasi jahat itu, dengan
aneka syak: Jangan-jangan memang ada konspirasi dan SBM sudah menciumnya?
Jangan-jangan karena tahu ada konspirasi, SBM lalu memutuskan mengambil langkah
kuda dan rokade? Dan banyak jangan-jangan yang lain, termasuk jangan-jangan
kali ini Eyang benar-benar checkmate oleh salah ucap
dan langkah sendiri? Mau bilang apa? Manuver terkini SBM telak menohok ''filosofi
kucing'' yang dia gembar-gembor di pelantikan sebagai Ketua DPW PAN Sulut; juga
meniadakan satu-satunya benang merah alasan mengapa kader PAN tak haram
mendukung SBM-JT.
Barangkali Eyang perlu merevisi kembali
filosofi kepemimpinannya itu. Kalau ternyata payah menegakkan filosofi kucing,
tidak ada salahnya ganti dengan, misalnya, ''filosofi katang'' (yang nongol
dari lobang saat perlu), ''filosofi musang'' (yang penting ayam dan telur
berhasil digondol), atau ''filosofi soa-soa'' (biar pongo tapi gesit).
Sebab, faktanya, dari kata per kata
ucapannya sendiri, sebagaimana rekaman video yang kemudian saya tonton, SBM jernih
dan sepenuhnya sadar mengatakan dia kembali ke PG. Orang tua ini, seorang
petahana Bupati, telah berhaji pula, tentu tidak sedang mengigau, membaca
mantera, atau--meminjam perkataan warga tempat asal Ibu saya, Kopandakan--molimbu-limbung kon ubol. Dia kini hengkang
dari PAN, pulang kembali ke PG. Titik!
Pernyataan melipur lara elit, tokoh, kader,
dan simpatisan PAN di Sulut yang Jumat, 23 September 2016, gagah berani
mengantar SBM-JT mendaftar ke KPU Bolmong, bahwa SBM menggunakan jaket PG
karena menghargai partai yang mengusung dia sebagaimana dikutip totabuanews.com, Minggu, 25 September, Tak Persoalkan Sikap Salihi, Eyang Berterima
kasih kepada Partai Golkar (https://totabuanews.com/2016/09/tak-persoalkan-sikap-salihi-eyang-berterima-kasih-kepada-partai-golkar),
cuma menista akal sehat sendiri. Kecuali kalau Eyang dan rombongan di bawah
kepemimpinannya memang bersigegas beralih ke ''filosofi soa-soa'': tekeng pongo dan dengan gesit mengkreasi
alasan berkelit.
Kali ini, sebagai tokoh utama, Eyang mesti
memeras akal kancil hingga tetes terakhir ide paling kreatifnya. Saat dia, JD,
Dedi Dolot, sejumlah kader, serta simpatisan membelot dari putusan DPP dan tak
mendukung YSM-YT, benteng pertahanannya adalah: SBM juga salah satu kader
terbaik PAN. Begitu SBM melompat pulang ke PG, kilahan ini kehilangan makna dan
tuah. Roboh sudah benteng tempat berlindung. Rame-rame ta colo di pece dolong. Dan karena so
ta colo, agar tak memikul aib dan cemooh, mengapa tidak sekalian mereka
beramai-ramai mengikuti SBM ke pelukan beringin BMR yang kian tak rindang lagi?
Saya kira, sepragmatis-pragmatis dan
oportunisnya PAN, DPP pasti mengambil sikap tegas. Di belahan bumi manapun saya
belum menemukan ada parpol yang menoleransi laku bangkang para elit dan
tokoh-tokohnya, yang justru bekerja demi memenangkan partai dan kader pesaing.
Namun, itu pun kalau PAN masih sebenar-benar partai, bukan suaka margasatwa
yang isinya melulu kucing garong, katang,
musang, dan soa-soa.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong:
Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang
Mongondow Timur; Cabup: Calon Bupati;
DPD: Dewan Pengurus Daerah; DPP: Dewan Pengurus Pusat; DPW: Dewan Pimpinan Wilayah; Gerindra: Gerakan Indonesia Raya; JD: Jainuddin Damopolii; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; Minsel: Minahasa Selatan; Parpol: Partai Politik; PAN: Partai Amanat Nasional; PD: Paryai Demokrat; PG: Partai Golkar; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; SBM-JT: Salihi B. Mokodongan-Jefry Tumelap; Sulut: Sulawesi Utara; Wabup:
Wakil Bupati; dan YSM-YT: Yasti
Soepredjo Mokoagow-Yani Tuuk.