MENJELANG siang, Selasa, 27 September 2016, saya baru menghempaskan badan ke
sofa lobi Best Western Hotel, Tsim Sha Tsui, Hongkong, ketika menerima kiriman
tautan tulisan Pitres Sombowadile. Selang beberapa jenak, dua BBM juga tiba,
mengabarkan analisis yang ditulis sang ''budayawan'' ini--demikian ''pangkat''
yang disematkan media online yang
mempublikasi tulisannya.
Sembari menahan kantuk karena perjalanan
semalaman yang menguras semangat dan agak kurang sabar sebab check in yang selambat siput, saya
membaca cepat analisis unggahan liputanbmr.com,
Yasti Vs Salihi: Perjuangan Melawan Mujur
(http://www.liputanbmr.com/bolmong/yasti-vs-salihi-perjuangan-melawan-mujur/),
itu. Pilkada Bolmong 2017 tampaknya adalah momen yang tak ingin diluputkan para
''pemain politik'' di Sulut, termasuk Pitres yang belakangan sudah tak sungkan pula
mengaku sebagai ''bagian dari Mongondow''.
Sebagai kawan, hubungan saya dengan Pitres
sangat berwarna. Merentang dari zaman mahasiswa (berbagi hampir apa saja,
kecuali pacar, pakaian, dan baju dalam) hingga sesekali cakar-cakaran di masa kini
saat sudah sama-sama berada di bawah ancaman asam urat dan kawan-kawan. Dan
tentang tulisan-tulisannya, terlebih esai dan analisis, selalu saya baca dengan
bungah dan takjub: terutama menjadi pengingat bahwa bilangan usia yang kian
banyak adalah takdir, tapi bijaksana dan hati-hati adalah soal pilihan,
kewarasan, dan kewaspadaan.
Karenanya, dengan khusyuk saya mengaminkan saja
analisis ''mujur'' yang ditulis Pitres. Dari aspek substansi, dia sepenuhnya
benar. Toh sifatnya subyektif, sesuai
dengan kelengkapan (atau kekurangan) informasi, bukti, pengetahuan, dan teori
yang digunakan, serta konteks yang direntang dari asumsi ke simpulan. Terlebih
dikemas pula dengan bahasa kekinian yang meliuk, melambai, dan menikung. Luar
biasa!
Masalahnya, sekali pun hubungan kami tidak
selalu baik-baik saja, dia tetap karib. Terhadap musuh sekalipun saya tidak
pernah menyimpan hati, apalagi untuk kawan. Musuh yang keliru wajib diingatkan.
Kawan yang silap, walau misalnya dilakukan dengan sadar dan sengaja, mutlak
diluruskan. Maka, saya kira tidak ada salahnya jika sejumlah fakta fundamental
yang disitir, yang ''mujur tak dapat ditolak'' sepertinya 100% hasil karangan
dan duga-duga belaka, mendesak dan mustahak segera dikembalikan pada khitahnya.
Saya mesti terlebih dahulu men-disclosure, bahwa: tulisan ini bukan
ajakan berdebat. Lagi pula apa yang saya beberkan tidak penting-penting amat,
walau memang menyangkut akurasi yang mempengaruhi pengetahuan dan persepsi para
pembaca analisis Pitres itu. Dan saya menjamin: fakta-fakta yang saya sampaikan
tidak dicomot begitu saja dari dahan namu-namu,
dibaca dari daun pisang, atau ditangkap dari bisikan angin dan pohon pinang.
Saya tahu persis, mendengar langsung, melihat, dan ada ketika apa yang
dipaparkan ini terjadi.
Bacaan sepintas saya, setidaknya ada empat
fakta yang tingkat kekeliruannya mencengangkan dan perlu dikoreksi demi menjaga
nama baik Pitres--yang juga diketahui telah pula menulis buku sejarah (kalau
tidak salah, salah satu fragmen penting dalam sejarah Bolmong). Saya tidak tahu
apakah dengan demikian dia sudah boleh dibaptis juga sebagai sejarawan. Namun,
mengingat jantung sejarah adalah akurasi data dan peristiwa serta orang-orang
yang terlibat, agar ''sejarawan'' kita ini selamat dari penyesatan terhadap
pembaca dan penyimaknya, (apa boleh buat) dia harus diluruskan dalam tempo
sesingkat-singkatnya.
Pertama, nama Yasti Soepredjo Mokoagow dan peran Ismail Dahab. Sejak masih
mahasiswa di FISIP Unsrat Yasti memang sudah dikenal sebagai Yasti. Saya tahu
persis karena dia adik tingkat (saya sendiri di FT) yang aktif dalam banyak
kegiatan di kampus. Nama inilah, jauh sebelum dia memutuskan ikut Pemilu 2009,
yang kemudian dilegalkan melalui dokumen hukum yang diakui di negeri ini.
Tidak ada peran Ismail Dahab, yang disebut
Pitres sebagai konsultan politik, yang menyarankan agar dia menyandang nama ''Yasti
Soepredjo Mokoagow''. Ismail bahkan baru terlibat dalam tim yang mengantar
Yasti terpilih sebagai anggota DPR RI 2009-2014 setelah hampir seluruh strategi
dan perangkat pendukung kampanye pencalonannya selesai disusun dan dibuat.
Tentu kalau Pitres berendah hati mengakui
bahwa dia memang mengarang-ngarang saja, dia tak bakal segan menguji apa yang
saya sampaikan ini dengan mencermati dokumen-dokumen legal riwayat hidup Yasti,
juga menanyakan langsung pada Ismail Dahab.
Kedua, sinisme bahwa Yasti adalah kontraktor proyek-proyek pemerintah dan
baru berkelimpahan (finansial) setelah menjadi anggota DPR RI. Dugaan ini juga
pasti hasil raupan dari gosip kedai kopi. Pitres tampaknya tidak pernah tahu,
diberi tahu, atau mencari tahu, bahwa sebelum meraih gelar sarjana Yasti sudah
membangun perusahaan (dengan tangan dan otaknya sendiri) dan berhasil
mendapatkan kontrak besar dan gurih dari satu perusahaan multi nasional.
Mengingat saya bukan juru bicara atau kuasa
hukum Yasti, Pitres boleh mengecek sendiri info tersebut--lengkap dengan
kronologi tahun ke tahunnya--, misalnya melalui laporan pajak yang
bersangkutan.
Ketiga, menang di beberapa kompetisi politik karena kekuatan logistik. Ini
spekulasi hasil generalisasi. Seperti mengatakan semua burung bisa terbang,
tetapi kecuali burung onta dan keluarganya. Sekali lagi, jika kawan Pitres
tidak buru-buru berpanas hati, saya bisa menunjukkan contoh bagaimana pendanaan
politik yang melibatkan Yasti dikelola. Dari 2009, bundelan dokumennya masih
terjaga dengan baik, lengkap, dan apa adanya. Serta, yang terpenting,
membuktikan, dia adalah politikus yang meraih posisi dengan biaya yang, kalau
terlalu lebay disebut murah, maka
kita katakan saja sangat masuk akal.
Dan, keempat,
Salihi B. Mokodongan terpilih sebagai Bupati Bolmong 2011-2016 semata karena
faktor mujur. Pitres, maafkan saya, tapi pernyataan ini jelas hasil linduran yang mengecilkan
kecerdasan, kecerdikan, dan kepiawaian banyak orang. Tanyakan langsung pada
Salihi bagaimana dia dipersiapkan sejak setelah Pemilu 2009 untuk bertarung di
Pilkada Bolmong 2011. Mulai dari rencana Cawabup, kemudian berubah menjadi
Cabup, dan akhirnya terpilih.
Tanyakan pula pada banyak orang yang
terlibat, yang berada di lingkaran terdalam tim yang mengantar SBM-YT sebagai
Bupati-Wabup Bolmong 2011-2016, bagaimana perencanaan terstruktur dan kerja-kerja
politik massif yang dilakukan supaya pasangan ini sukses. Kalau pun ada faktor
mujur, karena Salihi ditemukan dan diusung oleh orang-orang yang tepat.
Saya kira demikianlah koreksi ini, tidak
lebih dan kurang sebagai ekspresi sayang dan hormat saya pada Pitres. Kamerad
dan karib yang hubungannya dengan saya tidak selalu manis dan tidak pula pernah
benar-benar pahit. Kita masih tetap kompak kan, Pit?***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; Cabup: Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati; DPR RI: Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia; FISIP: Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik; FT: Takultas
Teknik; Pemilu: Pemilihan Umum; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; SBM-YT: Salihi B. Mokodongan-Yani Tuuk;
Sulut: Sulawesi Utara; Unsrat: Universitas Sam Ratulangi; dan Wabup: Wakil Bupati.