YASTI
SOEPREDJO MOKOAGOW-YANI TUUK (YSM-YT) dipastikan
diusung sebagai pasangan Cabup-Cawabup Bolmong 2017-2022. Tidak itu saja. Media
lokal Sulut dan BMR--terutama cetak, elekronik, dan sosial--hari ini, Selasa,
20 September 2016, diruahi prediksi ''sangat dimungkinkan'' Pilkada Bolmong
2017 hanya diikuti pasangan tunggal.
Saya hanya ber-he he he menerima banyak
kabar terkini dinamika Pilkada Bolmong itu. Bagi kebanyakan orang, terlebih
yang capek dan mual terpapar aneka baliho dan kampanye para kandidat yang marak
sejak beberapa bulan terakhir, kepastian diusungnya YSM-YT adalah kejutan tak
disangka. Apalagi kemudian diimbuhi ''kemungkinan calon tunggal''.
Pasangan Cabup-Cawabup yang diusung
partai peraih delapan kursi, PDIP, dan (kemungkinan)
hampir seluruh parpol yang memiliki kursi
di DPRD Bolmong itu, boleh dibilang sepi sosialisasi. Bahkan utamanya
YSM, jangankan baliho sosialisasi, mencalonkan diri sebagai Cabup pun hampir
tak pernah diwacanakan di antara pikuk koar-koar, silat, dan adu pesona mereka
yang jauh-jauh hari menggadang diri jadi kandidat.
Apakah benar diusungnya YSM-YT adalah benar-benar
kejutan? Dari perspektif ''politik praktis permukaan'' tampaknya demikian.
Namun, jika ditelaah lebih dalam, cermat, dan komprehensif, pasangan ini adalah
keniscayaan yang normal untuk politik praktis yang cerdas, efektif, efisien,
dan tepat bagi kondisi BMR secara umum dan Bolmong khususnya.
Dengan kata lain, untuk sekadar ''kurang
ajar'' dan ba terek, saya ingin bilang:
Para wartawan, praktisi politik, dan pengamat yang berbulan-bulan terakhir mewacanakan
Pilkada Bolmong, sekadar membual dengan
referensi yang semata-mata dipetik begitu saja dari pohon gora. Demikian pula, para kandidat pengharap menjual diri mereka
barangkali dengan panduan petunjuk cuci pakaian dari kotak sabun bubuk, bukan
kalkulasi modal politik-sosial-ekonomi-dan budaya yang solid dan terukur.
Bahkan ketika situasi telah
terang-benderang, sebagian mereka yang melibatkan diri dalam riuh Pilkada Bolmong
menolak untuk menyadari bahwa pesta demokrasi ini sesungguhnya telah melampaui
puncak persaingannya. Bahwa, bila tokoh-tokoh papan atas dan pusat politik
praktis di Bolmong menghitung kembali, dengan kepala dingin pasangan YSM-YT
bukan hanya menjawab kebutuhan faktual politik dan birokrasi, tetapi juga jalan
tengah yang menguntungkan semua pihak.
Pertama, pencalon-(apalagi)tunggalan YSM-YT adalah kabar baik bagi politik
praktis di Bolmong yang bagai tersandera politikus veteran dan itu-itu juga; mereka
yang mentalitasnya medioker semata; atau yang terlampau tinggi menakar
kapasitas dan kapabilitasnya. Saya tidak bermaksud mengecilkan tokoh seperti
Djelantik Mokodompit atau Limi Mokodompit yang kalah di Pilkada terakhir yang
mereka ikuti dan masih berambisi meraih kursi Bupati Bolmong 2017-2022. Apa
tidak ada hobi atau kebisaan lain yang bisa menyibukkan mereka? Saya
terheran-heran dengan PG atau PD yang belakangan (setidaknya di media) hanya
puas menyasar kursi Cawabup. Demikian pula dengan petahana Salihi Mokodongan
yang masih bersikukuh mencalonkan diri dan pendatang baru Sukron Mamonto yang
mendadak mati-matian diasongkan oleh sejumlah orang.
Jika jabatan publik seperti Bupati-Wabup
adalah akumulasi dari tabungan politik-sosial-ekonomi-budaya, kita bisa melihat
bahwa pasangan YSM-YT tidak terbantahkan jauh melampaui para pesaingnya.
Sebagai anggota DPR RI, selama dua periode jabatannya, YSM menunjukkan
konsisten berpihak pada kepentingan BMR. Akan halnya YT, selama menjadi Wabup
Bolmong 2011-2017, dia menunjukkan kesadaran terhadap posisi, fungsi, dan
tanggung jawabnya. Orang banyak di Bolmong tahu persis, kendati punya peluang
menyalip Bupati (terlebih partainya menjadi mayoritas di DPRD Bolmong) selama
masa kepemimpinan mereka, Wabup tak pernah sekali pun melangkah keluar dari
batas demarkasinya.
Kedua, sebab faktor pertama, jika parpol-parpol menengah dan kecil
sependapat mencalonkan YSM-YT (dengan konsekwensi mereka adalah calon tunggal),
selain meneduhkan tensi politik di jangka pendek, di jangka panjang justru
menguntungkan karena memberikan kesempatan pematangan kualitas tokoh-tokoh yang
kini baru bermunculan dan sebenarnya sekadar menguji seberapa besar modal
politik dan sosial mereka di tengah konstituen.
Di periode setelah 2022, cukup waktu bagi
PG, PD, Gerindra, dan Nasdem menyediakan tokoh-tokoh baru yang mampu menyaingi
YSM. Bahkan, jika hanya menyasar posisi Wabup, peluang politikus seperti Jefry
Tumelap (PD) terbuka lebar. Setelah YT (yang pasti tak bisa lagi mencalonkan
diri sebagai Wabup), di masa datang dia adalah tokoh kuat dari Dumoga yang
diharapkan memainkan peran lebih strategis.
Dan ketiga,
diusungnya YSM oleh PDIP adalah sinyal rekonsialisasi yang lembut dan manis untuk
internal parpol asalnya, PAN; contoh politik lapang dada bagi parpol yang lain;
dan tawaran keseimbangan baru politik di Bolmong yang lebih akomodatif dan
guyub.
Kita semua tahu, setelah Pilkada Boltim
2015, bandul rezim kekuasan di PAN Sulut dan BMR bergeser dari YSM-Tatong Bara
ke Sehan Landjar-Jainuddin Damopolii-dan kelompoknya. Bukan rahasia lagi
hubungan di antara dua faksi internal PAN ini terus-menerus berada di atas
titik didih. Dengan dicalonkannya YSM dan PAN bergabung mendukung, terbuka
lebar rekonsiliasi di antara dua faksi besar ini. Tanpa harus mengorbankan ego
dan kebangaan salah satu pihak.
Bagi parpol yang lain, dengan melihat
konstelasi lebih besar, misalnya PG dengan kepentingannya tetap mengusung
Aditya Moha di DPR RI, persaingan memperebutkan konstituen menjadi lebih
ringan. Aspek ini juga pantas dilirik parpol peraih suara signifikan lainnya
seperti Gerindra dan PD. Sebab, sejujurnya, setelah YSM, kecuali Sehan Landjar
turun langsung ke gelangang, kursi DPR RI yang mereka miliki hampri pasti akan
terlepas.
Dan dengan ditumpahkannya dukungan seluruh
parpol ke pasangan tunggal YSM-YT, serta mengingat PDIP-lah yang menjadi
lokomotif (yang dengan penuh kerelaan hanya mengambil Wabup sebagai
kompensasinya), mereka memikul tanggung jawab dan kewajiban moral bersikap adil
dan akomodatif. Posisi yang saling melengkapi ini, bila direnungkan dengan kepala
dingin dan demi kemaslahatan semua pihak--terutama masyarakat Bolmong--,
barangkali adalah yang pertama dan menjadi terobosan politik tidak hanya di
BMR.
Tentu alangkah bodoh, egois, dan
buta-tulinya kita jika mengabaikan begitu saja peluang melahirkan sejarah politik
praktis seperti itu.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong:
Bolaang Mongondow; Cabup: Calon
Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati;
DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
DPR RI: Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia; Gerindra:
Gerakan Indonesia Raya; Nasdem:
Nasional Demokrat; PAN: Partai
Amanat Nasional; Parpol: Partai
Politik; PD: Partai Demokrat; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan; PG: Partai Golkar; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Sulut: Sulawesi Utara; Wabup: Wakil
Bupati; dan YSM-YT: Yasti Soepredjo
Mokoagow-Yani Tuuk.