BUPATI-WABUP Bolmong 2011-2016, Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, mengakhiri jabatannya
pekan ini. Seperti ketika mulai menjabat, selain diwarnai serah-terima formalitas
pemerintahan dan birokrasi, pengakhiran jabatan ini juga disertai prosesi (yang
diklaim) adat.
Ihwal adat menyambut dan melepas para
pemimpin politik dan birokrasi (khususnya Bupati/Walikota) di Mongondow, bagi
saya pribadi, sesungguhnya kian amat membingungkan. Apalagi yang dipraktekkan
belakangan ini, yang katanya--oleh mereka yang mengklaim dan diklaim sebagai
''tokoh adat''--adalah warisan yang pantas dilestarikan dari masa lalu
masyarakat Mongondow yang gemilang karena berbudaya tinggi, bertradisi kuat,
dan beradat luhur.
Sebagai anak Mongondow yang tumbuh-besar di
tanah kelahiran dan sejak kanak-kanak menyaksikan datang dan perginya pemimpin
politik dan birokrasi, saya tercegang-cegang ketika mengetahui prosesi (adat)
penyambutan Walikota KK, Tatong Bara, ketika mulai menjabat dan memasuki rudis
sebagai kediaman resmi. Yang mengusik bukanlah tata upacaranya, melainkan
pernak-pernik yang menyertai prosesi itu: Walikota diantar lengkap dengan balun tikar dan bantal, tak beda dengan anak
mahasiswa baru yang pertama kali dibawa orangtuanya ke tempat kost.
Ketika itu saya sempat bertanya ke beberapa
orang tua, ''Apa artinya bantal dan tikar itu?'' Apakah karena terpilih sebagai
Walikota lalu Tatong Bara diusir dari tempat tinggalnya dan suami (atau rumah
orangtuanya)? Atau, rudis belum sepenuhnya siap, sehingga Walikota perlu
membawa tikar dan bantal supaya ada tempat melepaskan penat di malam hari?
Terlalu! Miskin betul masyarakat KK sampai-sampai tidak mampu menyediakan
sekadar ranjang, kasur, dan bantal yang memadai untuk pemimpinnya.
Alasan bahwa tikar dan bantal itu adalah
simbol semata, membuat saya lebih bingung lagi. Simbol apakah yang dimaksud?
Sepengetahuan saya (yang tentu jauh dari memadai dibanding para tokoh adat yang
bijak bestari), tikar dan bantal yang diserah pada seseorang di Mongondow hanya
dapat diartikan sebagai: ''mulai saat ini Anda memiliki sendiri tempat
meletakkan tikar dan bantal ini. Tempat pulang Anda adalah di mana tikar dan
bantal itu berada. Dan sifatnya permanen, kecuali jika satu saat tikar dan
bantal itu diserahkan kembali untuk dipindah ke tempat lain.''
Kalau dipikir-pikir, dalam kasus prosesi di
KK itu, para mereka yang mengaku tokoh adat sebenarnya telah memperlakukan
Walikota tidak lebih dan kurang setara sopir truk antar kota antar provinsi.
Setiap kali bertugas, dia dibekali bantal, handuk putih kecil, kain sarung, dan
kaos oblong. Dengan asesoris ini, lengkap dengan tulisan ''buronan mertua atau
abang pergi demi uang, pulang demi cinta'' di bak belakang truk, resmilah sang
sopir mulai bertugas hingga dia pulang ke rumah.
Sekadar memuaskan keingintahuan, adakah
orang-orang yang mengaku tokoh adat yang bisa mengkonfirmasi, apakah di zaman
monarki masih berkuasa di Mongondow, para raja dibekali pula dengan tikar dan
bantal ketika mulai berkuasa? Adakah secarik catatan saja atau kesaksian dari
masa lalu, yang dapat membenarkan urusan sepele tikar dan bantal ini? Sebab,
jangan-jangan kita telah mengacaukan tradisi Mongondow, dimana seorang pemuda
memberikan ranjang, kasur, dan bantal saat melamar calon istrinya, dengan
urusan menyambut dan merayakan naiknya pemimpin politik dan birokrasi.
Maafkan para orang tua yang tahu persis
ihwal budaya, tradisi, dan adat Mongondow, tampaknya praktek ''adat modern''
kita telah kacau-balau karena tafsir sesuka-suka hati. Simbolisme sebagai salah
satu ciri khas budaya tinggi, tidak lagi ditelusuri asbabun nuzul-nya. Akibatnya, simbolisme (katanya) yang
dipraktekkan dalam adat Mongondow kini menjadi tak jelas juntrungan dan
logikanya. Padahal, sekali pun sekadar simbol, setiap tindakan dan pernak-pernak
yang mengiringi satu upacara budaya, tradisi, atau adat, semestinya punya
pijakan logis.
Logika simbolisme itu pula yang mati-matian
saya kais tatkala mengetahui Bupati Bolmong, Salihi Mokodongan, mengakhiri
jabatan dengan diusung di atas tandu dari kantor ke kediamannya. Ini
pertunjukan apa lagi? Apakah ketika Bupati-Wabup mulai menjabat mereka diusung
dengan tandu dari kediaman ke kantor? Di keseharian, selama lima tahun
terakhir, pernahkah mereka diusung dengan tandu saat turne?
Pembaca, abaikan dulu catatan sejarah dan
tetek-bengek sehari-hari para pemimpin Mongondow di zaman lalu. Mari kita
gunakan logika. Di zaman doeloe, ketika Camry, Kijang, Avanza, dan Xenia belum
dibuat, masuk akallah jika pemimpin (raja) yang diangkat, diusung atau naik
kuda menuju kediaman resmi. Di keseharian, wajar pula jika dia turun menemui
rakyat dengan naik kuda atau diusung. Sebab alangkah memalukannya jika raja, berserta
pakaian kebesarannya, berkasut penuh lumpur, terlebih kotoran kuda dan sapi.
Karena raja adalah pemimpin seumur hidup
(kecuali dia dikudeta), dapat dipastikan yang mulia turun tahta dengan normal
paling tidak hanya oleh dua sebab: meninggal dunia atau tak berdaya karena
sakit parah dan telah menyerahkan kekuasaan pada pewarisnya. Dalam dua kondisi ini,
raja pasti akan diusung. Yang pertama diusung ke pekuburan, sedang yang kedua
diusung ke tempat perawatan untuk ompigon
hingga wafat.
Tak heran seorang kawan, yang hanya
mendengar Bupati Salihi diusung dari kantor ke rumah karena masa jabatannya
berakhir, mengirimkan BBM, ''Ai, notakid
bi' atau nodia' bidon in ki Bupati, sin binuligan bi' nongkon kantor nobui kon
baloi?'' Saat saya menjawab bahwa sepengetahuan saya Bupati sehat wal
afiat, pertanyaan berikutnya datang, ''Jadi
binuat bo binuligan in ki Bupati sin doi' bi' moponag?''
Pertanyaan-pertanyaan itu sungguh logis. Di
Mongondow, seseorang yang bertahan (duduk atau mendiami) tempat yang bukan
haknya lagi, biasanya--demi sopan-santun dan adab sosial--diusir dengan cara
''buaton'' dan ''binuligan''. Dengan kata lain, tafsir paling logis dan sejalan
dengan budaya, tradisi, dan adat Mongondow dari peristiwa diusungnya Bupati
Salihi dari kantor, pulang ke kediamannya, adalah: walau masanya telah berakhir,
dia masih kerasan menduduki jabatan, dan karenanya orang banyak perlu ramai-ramai
memaksa dia pulang ke rumah yang menjadi haknya.
Jika bukan demikian tafsirnya, lalu apakah
itu, wahai para mereka yang mengaku dan petantang-petenteng sebagai tokoh adat?
Mohon pencerahan agar kami yang muda dan tak paham ini jauh dari dungu dan
sesat.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
Balun: Bekal; Binuat: Diangkat; Binuligan:
Diusung; Bolmong: Bolaang Mongondow;
Buaton: Diangkat (Paksa); KK: Kota Kotamobagu; Ompigon: Ditemani dan dirawat; Pemkot: Pemerintah Kota; Rudis: Rumah Dinas; dan Wabup: Wakil Bupati.