DIBANDING Pilkada 2015 di Boltim yang gemuruh—juga diwarnai rusuh—, kompetisi
Cabup-Cawabup di Bolsel adalah peristiwa politik guyup, mesra, dan datar-datar
saja. Pasangan yang berlaga pun cuma dua: Herson Mayulu-Iskandar Kamaru
(didukung PDIP dan PAN) dan Azhar Yasin-Gustamil Katili (disokong Hanura,
Gerindra, dan PPP).
Di tahapan awal tensi politik memang sempat
melonjak karena kandidat Cabup-Cawabup independen, Haris Kamaru-Yusuf Mooduto,
gagal memenuhi persyaratan yang ditetapkan KPU. Ada massa yang beraksi, ada
kandidat calon yang menandak-nandak. Namun, aksi jalanan hingga ke meja hukum mendukung
pasangan ini berakhir sebagaimana yang sudah diduga umum: Haris-Yusuf tetap tak
memenuhi syarat.
Walau setengah hati—karena dinamikanya yang
landai—, saya tetap mengikuti riak Pilkada Bolsel yang diciptakan Haris-Yusuf.
Secara pribadi, kendati selalu kontroversial, saya menyukai Yusuf
Mooduto—percaya atau tidak, kami berkerabat dari sisi Nenek pihak Ayah—yang
meledak-ledak dan di luar mainstream.
Selama memimpin PPP dan duduk di DPRD Bolmong, dia selalu mampu menarik atensi
publik. Jika tidak karena aksi di ruang sidang dan komentar-komentar
politiknya; maka pasti berkaitan dengan ‘’mama baru’’. Urusan yang terakhir ini,
saya angkat dua jempol untuk Yusuf.
Yang tidak kurang mengagumkan (dan sudah
pernah saya tulis), kesetiaan Yusuf pada komitmen politik yang dia buat. Hingga
keanggotaannya di DPRD—juga Ketua PPP—berakhir,
dia adalah loyalis tak tergoyahkan dari mantan Bupati Marlina
Moha-Siahaan. Setiap politikus, lurus
atau bengkok, cerdas atau sekadar bernasib baik, sukses atau menjadi langganan
pecundang, pasti berharap punya karib politik seperti Yusuf.
Harus diakui, gagalnya Haris-Yusuf
berkompetisi di Pilkada Bolsel 2015 membuat laga di antara para pesaing
kehilangan gregetnya. Minimal kita meluputkan orasi dan aksi panggung Yusuf
Mooduto, yang saya bayangkan bakal membakar massa dan meledakkan tawa. Di balik
‘’kegarangannya’’, Yusuf yang saya kenal adalah manusia penuh humor. Dia bakal
jadi daya tarik karena memang berbeda laku dan gaya dibanding Herson-Iskandar
dan Azhar-Gustamil yang cenderung hati-hati, formal, dan serius.
Laku dan gaya berbeda belum tentu
berbanding lurus dengan keterpilihan pasangan Cabup-Cawabup. Tetapi,
sebagaimana taman bunga, hamparan yang melulu merah atau semuanya kuning,
dengan cepat menjadi membosankan.
Setitik kuning di antara lautan merah, misalnya, akan menyedot fokus
pandang kita dan mempertegas keindahan sebuah taman bunga.
Namun, politik yang berkelanjutan memang
memerlukan kehati-hatian yang serius. Petahana Bupati Bolsel, Herson Mayulu,
sadar betul untuk mempertahankan kepercayaan orang banyak dia tidak boleh
berlaku sembrono. Bupati bukanlah aktor teater yang harus memuaskan penonton
melalui drama, tragedi, dan komedi. Seorang Bupati sedapat mungkin ‘’sangat
dingin’’ dan meletakkan seluruh pertimbangan tindakannya pada hal besar,
ketimbang ego dan keinginan pribadi. Sekalipun dengan demikian dia harus
bersedia ‘’makang hati’’.
Herson Mayulu bukan Sehan Landjar yang
orasinya menggelegar dan membakar. Saking melantangnya, pernyataan-pernyataan
Eyang—demikian dia akrab disapa—bahkan tak sedikit yang balik menghantam dia
sendiri. Laku dan gaya Eyang juga melahirkan massa fanatik: yang memuja dia
sepenuh hati di satu sisi dan sungguh-sungguh tidak menyukai dia di sisi lain.
Jenis mana yang paling banyak di tengah kemajemukan masyarakat Boltim, akan
terbukti pada 9 Desember 2015 mendatang.
Sebaliknya, Herson yang populer
dikenal sebagai ‘’Oku’’ mengedepankan
kepemimpinan yang akomodatif, hasil evolusi interaksinya dengan tanggung jawab
yang diemban sebagai Bupati dan dinamika masyarakat Bolsel. Kita semua belum
lupa, di awal-awal masa kepemimpinannya Oku juga dikenal temperamental dan
mudah tersulut. Karena tidak ‘’tipis telinga’’, kecaman, kritik, bahkan makian
justru dia jadikan alat introspeksi diri. Terbukti kemudian, yang
berseberangan—juga terang-terangan bermusuhan—perlahan berubah menjadi kawan
seiring.
Akomodatif tidak berarti kompromistis dan
pragmatis. Oku merangkul semua pihak, sembari perlahan-lahan menegaskan sikap
terhadap tujuan bersama. Dia tetap memberi ruang pada para ‘’die hard’’ dan
oposan, sebagaimana juga mendorong para penyokong dan loyalis agar mengambil peran
signifikan. Capaian dari pendekatan politik dan kepemimpinan model ini tidak
serta-merta dan mencengangkan, melainkan perlahan dan pasti. Dan terbukti
efektif. Statistik terakhir menunjukkan, setelah lima tahun masa
kepemimpinannya—juga Eyang di Boltim—, IPM Bolsel kini berada di atas Boltim.
Tapi politik dan kepemimpinan Oku memang
minim aksi, bahkan di saat kampanye Pilkada serentak 2015 ini. Tidak ada
tontonan yang mengairahkan sebagaimana pasangan Sehan-Rusdi dan Sachrul-Medi
‘’berbalas pantun dan pentung’’ di Boltim. Ibarat tayangan teve, dinamika
politik di Bolsel bertema ‘’drama keluarga’’, sedang Boltim sejenis tayangan
‘’aksi’’. Di Bolsel segala perselisihan diselesaikan di ruang-ruang yang
terkontrol dan nyaris senyap; di Boltim, sedikit perbedaan pendapat dan cara, ditangani
dengan hiruk-pikuk, bahkan batu dan parang pun turut bicara.
Maka, sebagai praktek politik dan
kepemimpinan, dinamika di Bolsel layak menjadi pelajaran penting—minimal—dari
para Walikota/Bupati se BMR. Bahwa selama lima tahun, dengan pendekatan yang
benar, keberlanjutan (atau suksesi) kepemimpinan politik dan birokrasi dapat
disiapkan terukur dan matang. Bahwa alangkah bodoh dan jumud-nya seorang
petahana bila masih harus bertarung seperti pemula ketika dia tinggal melanjutkan
langkah dengan mengantongi semua kesiapan dan bekal yang dibutuhkan.
Bahwa dengan demikian peristiwa seperti
Pilkada menjadi sesuatu yang datar, biasa, dan jauh dari riak, adalah soal
lain. Masyarakat Bolsel berhak memilih ekspresi pesta demokrasinya dengan cara
mereka sendiri; seperti warga Boltim, Bolmut, Bolmong (Induk), atau KK juga
mempraktekkan demokrasi ala mereka. Jika pun karena itu Pilkada Bolsel 2015
menjadi tidak menarik, terutama karena jauh-jauh hari kita tahu persis pasangan
mana yang bakal keluar sebagai pemenang, di situlah keunggulan strategi jangka
panjang Bupati petahana.
Tidak ada yang lebih menenangkan seorang
politikus kecuali menghadapi pertarungan yang 99% dia ketahui akan dimenangkan.
Selamat untuk Herson-Iskandar. Dan, diundang atau tidak, saya tak sabar menunggu
pesta santap durian setelah pelantikan Anda berdua sebagai Bupati-Wabup Bolsel
2016-2021.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong:
Bolaang Mongondow; Bolmut: Bolaang
Mongondow Utara; Boltim: Bolaang
Mongondow Timur; Bolsel: Bolaang
Mongondow Selatan; Cabup: Calon
Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati;
DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Gerindra: Gerakan Indonesia Raya; Hanura: Hati Nurani Rakyat; IPM: Indeks Pembangunan Manusia; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; PAN: Partai Amanat Nasional; PDIP: Paryai Demokrasi Indonesia
Perjuangan; Pilkada: Pemilihan
Kepala Daerah; PPP: Partai Persatuan
Pembangunan; dan Wabup: Wakil Bupati.