SEPEKAN terakhir ini saya mengira urusan gelar adat odong-odong yang
diberikan Amabom mengatasnakaman masyarakat BMR sudah tutup buku. Toh umumnya orang waras di Mongondow
mahfum, Amabom cuma tukang catut yang sukses mempermainkan Pejabat Gubernur
Sulut, Soni Sumarsono, dan tipu-tipu Jemmy Lantong, Muliadi Mokodompit, and the gang, akhirnya hanya manjur
untuk mereka yang tidak tahu dan kurang pikir.
Kebetulan Pejabat Gubernur adalah orang
baru di Sulut. Kebetulan pula ada tukang jilat dan ABSS di sekitarnya, yang
tahu bahwa ada gerombolan bernama Amabom yang mudah diperalat. Ruas ketemu buku
melahirkan lelucon yang (lagi-lagi kebetulan) menyeret sejumlah pihak yang
terbingung-bingung, termasuk Walikota KK.
Eh, ternyata (khususnya) Jemmy Lantong dan
Muliadi Mokodompit masih percaya diri dan tebal muka berkoar seolah-olah Amabom
adalah lembaga kredibel dan mereka punya integritas sepolos bayi. Maka, tak
urung saya terbahak-bahak membaca totabuan.co,
Selasa, 1 Desember 2015, Ini Alasan AMABOM Soal Pemberian Gelar Adat
Kepada Gubernur (https://totabuan.co/2015/12/ini-alasan-amabom-soal-pemberian-gelar-adat-kepada-gubernur/).
Kian rajin dua orang ini buka mulut, semakin kelihatan belang mereka. Ko-onda don ule in opuyu monimu? Sin dia’
don ko-oya’oya’ nani’-on.
Pembaca, sebelum meneruskan cermatan
terhadap isu gelar adat Mongondow ala Amabom yang mulai melingkar-lingkar kemana-mana,
saya ingin menyatakan bahwa—terutama—Jemmy lantong adalah karib yang saya kenal
baik sejak masa kanak. Secara pribadi saya tidak punya masalah dengan dia.
Demikian pula Muliadi Mokodompit. Tapi dalam soal kepentingan umum, mohon maaf
saudara berdua, rasanya saya ingin muntah melihat kelakuan
kalian—terlebih—belakangan ini.
Mengutip Jemmy dalam sambutan di acara
seminar sejarah adat BMR di Hotel Green, Senin, 30 November 201, totabuan.co menulis, gelar adat yang
dianugerahkan pada Pejabat Gubernur Sulut adalah permintaan dari lima kepala
daerah dan sepengetahuan lima swapradja di BMR. Aduh, Jemmy, sudah mencatut dan
menipu, sekarang berbohong dengan konsisten pula. Bukankah Kabag Humas KK,
Suhartien Tegela, sudah tegas membantah ada keterlibatan Walikota dan Pemkot dalam
sandiwara penganugerahan gelar ‘’Punu’ Molantud’’ itu? Demi memperkuat fakta
bahwa Suhartien tidaklah dicatut dan diatasnamakan, Harian Sindo Manado, Selasa, 24 November 2015 (Gelar Adat Gubernur Dipolemikkan), bahkan memajang foto Kabag Humas
dalam pemberitaannya.
Artinya, jika Walikota Tatong Bara dan
jajaran tidak tahu-menahu, sudah jelas permintaan lima kepala daerah di BMR
agar Pejabat Gubernur Sulut diberi anugerah adat Mongondow cuma klaim Jemmy
Lantong. Sama bohongnya dengan restu lima swapradja versi Amabom, yang entah
dikait-kaitkan bagaimana, sebab alangkah idiotnya mendefinisikan ‘’Mongondow’’ dan
menyamaratakan dengan wilayah administrasi pemerintahan ala Belanda. Jemmy
Lantong dan antek-anteknya sebaiknya belajar membedakan ‘’wilayah budaya, adat,
dan tradisi’’ dan ‘’wilayah dan tata pemerintahan’’ sebelum menjajakan omong
kosong mereka.
Namun, omong kosong yang disampaikan
mulut-manis-lidah-bercabang kerap masih ampuh memukau orang. Ada saja kepala
daerah di BMR yang tertipu. Tanpa melakukan pengecekan terhadap status Amabom,
dokumen legalnya, dan AD/ART, mereka yang terlanjur terbuai, tersirep bahkan
hingga meminjam-pakaikan kendaraan berpelat merah untuk lembaga ‘’tarepak’’
ini.
Perut saya mulas dan liur meleleh karena
tertawa begitu mengetahui DPRD Bolmong meradang karena Amabom beroleh
pinjam-pakai DB 1112 D dari Pemkab Bolmong. Tampaknya Amabom kian naik kelas
hingga ketuanya setara dengan pejabat daerah dan karenanya layak menggunakan pelat
merah. Harus diakui, kali ini Jemmy Lantong sukses menekuk anggota DPRD Bolmong
yang tidak mendapat mobil dinas. Atau, barangkali memang benar Amabom lebih
penting dan berguna di Bolmong ketimbang DPRD?
Bahwa kebijakan Pemkab Bolmong memberikan
‘’mobil berpelat gincu’’ kepada Amabom (atau oknum sialannya) menabrak Pasal 35
dan penjelasannya dari Permendagri No. 17/2007 Tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Barang Milik Daerah; serta PP
No. 27/2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah/Negara, kita maafkan
saja. Sudah lama saya belajar memahami dan menerima, bahwa Bupati Bolmong dan
jajarannya cuma berhenti hingga ‘’merasa pintar’’ dan ‘’pintar merasa’’. Jangankan
benar-benar mencoba pintar, minimal belajar untuk sekadar tahu urusan yang
melibat UU dan turunannya, mereka tampaknya sudah tersesat entah ke belantara
yang mana di hutan BMR.
Untuk urusan status dan legalitas Amabom,
nasehat saya pada Jemmy: Ketimbang berputar-putar seperti ayam jago yang
keteteran dihajar lawan, sampaikan saya ke muka umum, didirikan dengan akte
notaris siapa dan kapankah Amabom ini? Terdaftar di Kemenhumham nomor berapa,
tanggal, dan tahun berapa? Serta, di manakah alamat sekretariatnya? Begitu saja
kok tidak paham? Bukannya kalian
organisasi hebat?
Sedang ihwal kendaraan pelat merah yang
dipinjam-pakaikan oleh Pemkab Bolmong, jika benar-benar tidak tahu malu,
gunakan saja untuk bergaya supaya punya status dan tampak penting. Buat saya
yang tidak pintar menyetir dan tidak punya mobil, angkutan umum cukup
memuaskan. Tidak pula mengurangi gengsi, apalagi harga diri.
Nah, terhadap Muliadi Mokodompit yang dalam
warta di totabuan.co menyatakan saya
tidak berhak bicara terkait gelar adat kepada Penjabat Gubernur Sulut; dan
(seolah-olah) hanya menjadi penghalang perjuangan PBMR, saya ingatkan:
hati-hati dengan mulut Anda! Pengetahuan terhadap budaya, adat, dan tradisi
Mongondow serta integritas pribadi kita tak dapat dibandingkan. Memangnya
Mongondow dan adatnya cuma milik nenek moyang Anda seorang? Kalau pun demikian,
tolong jelaskan siapa nenek moyang Anda itu?
Akan halnya PBMR, sebaiknya Anda tutup
mulut. Mencari-cari celah agar tetap dihitung dan boleh menempel di prestasi
politik orang lain, sekalipun itu kelakuan bejad, tidak akan saya
halang-halangi. Tapi kalau urusannya sudah melibatkan kepentingan publik,
mencatut orang banyak dan adat Mongondow, sebagai bagian dari masyarakat BMR,
saya punya hak ikut campur. Termasuk, bila perlu menempeleng dengan bukti-bukti
busuknya kelakuan Anda dalam banyak hal, termasuk yang paling memuakkan ihwal
soal catut-mencatut dan penyelewengan uang.
Selebihnya, sebagaimana yang sudah saya
tuliskan, kalau merasa keberatan: lapor ke pihak berwenang. Saya akan sangat
senang menghadapi polisi dan membeberkan seberapa busuk dan rusaknya motif
aktivitas kalian atas nama adat Mongondow, juga perjuangan PBMR, yang
ujung-ujungnya demi kepentingan kantong pribadi dan kelompok.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
ABSS: Asal Bapak Senang Sekali; AD/ART:
Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga; Amabom:
Aliansi Masyarakat Adat Bolaang Mongondow; BMR:
Bolaang Mongondow Raya; Bolmong:
Bolaang Mongondow; DPRD: Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah; Humas:
Hubungan Masyarakat; Kabag: Kepala
Bagian; KK: Kota Kotamobagu; PBMR: Provinsi Bolaang Mongondow Raya; Pemkot: Pemerintah Kota; Permendagri: Peraturan Menteri Dalam Negeri;
PP: Peraturan Pemerintah; dan Sulut: Sulawesi Utara.