JAUH sebelum matahari mekar, Sabtu (9 Juli 2016), di tengah semarak Idul
Fitri 1437 H, saya, adik-adik, kerabat, dan sejumlah sahabat dekat terjerembab
dalam diskusi dan percakapan seru di garasi kediamanan Sarif Mokodongan dan Vera
Lamama. Sejak dibangun, pasangan ini--keduanya adalah adik dan sepupu saya--telah
mengikhlaskan rumah mereka menjadi tempat saya sekeluarga berlabuh setiap kali
pulang ke Kotamobagu.
Perut-perut yang melambung karena lebih 100
ekor oci bakar, kangkung cah, panganan, dan aneka minuman yang dihampar sejak
Jumat (8 Juli 2016) petang, membuat lalu lintas percakapan menderas. Tampaknya
makanan enak memang selalu menjadikan hormon, termasuk ''hormon bicara'', aktif
bergolak.
Lewat tengah malam, majelis bual-bual kian
menggelegak karena kehadiran beberapa tokoh yang secara politik cukup punya
pengaruh di Bolmong Raya. Mereka tiba satu per satu, lalu akhirnya tak kuasa
lagi melepaskan diri. Akan halnya anak-anak dan para istri, diam-diam telah
menghempaskan diri (saya kira dengan menahan geram karena ayah dan suami dengan
tak tahu diri mengabaikan kantuk yang menggantungi mata) di ruang tengah dan
melayang bersama dalam koor dekuran.
Tersebab tak ada topik khusus, percakapan
yang datang dan pergi merentang dari semi final Piala Eropa hingga faedah ulat
kangkung sebesar kelingking yang tidak sengaja ikut tergigit. Toh sepanjang tidak beracun, ulat adalah
salah satu sumber protein sedap. Bahkan di beberapa daerah, termasuk Bolmong,
ulat sagu (obatog) dikenal sebagai
teman nasi yang lezat.
Selepas tengah malam kabar itu datang.
Mula-mulanya dengan pernyataan spekulatif: ''Kita
dengar kata....''; disusul pertanyaan: ''Butul
jo itu?'' Karena kabar yang tiba cukup mengguncang, beberapa orang beranjak
dan mulai menelepon. Saya kira, andai yang ditanyakan bukan perkara serius,
mereka yang sudah tertidur dan dibangunkan dengan raungan telepon menjelang
subuh, punya alasan sahih mendahului jawabannya dengan cacian.
Bersama kian dinginnya udara menjelang pagi
di ujung Kelurahan Mogolaing yang berbatasan dengan Motoboi Kecil, yang mulanya
duga-duga mulai benderang. Apalagi ada salah satu saksi mata yang berhasil
dibangunkan dan bersedia memberi konfirmasi--tentu dengan suara serak yang
sulit dibedakan antara menahan haru atau mati-matian bertempur dengan mata yang
dipaksa melek.
Pembaca, galibnya Lebaran, para politikus
papan atas, pejabat teras, dan birokrat elit membuka pintu rumah lebar-lebar,
menerima kunjungan orang ramai yang berkesempatan bertemu langsung, menjabat tangan,
dan (syukur-syukur) berkesempatan sepatah-dua berbincang dengan tuan rumah.
Bupati Bolmong, Salihi Mokodongan, yang segera menanggalkan masa jabatan
(pertamanya) pada Minggu, 17 Juli 2016, juga menggelar tradisi yang dikenal sebagai open house ini di kediamannya di Lolak.
Open
house di kediaman Bupati, yang semestinya menjadi
etalase politik, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat kabupaten yang dia
pimpin, pastilah bukan sekadar keramaian di rumah Ketua RT atau Kades. Bila
perlu tenda yang didirikan dan kursi yang tersedia mampu menampung ratusan
orang yang datang seketika; makanan dan minuman yang dihampar meruah dan
mengundang selera; dan among tamu siaga
di semua sudut, siap memberikan layanan prima.
Pendek kata, open house seorang Bupati adalah pesta di mana orang banyak datang
menunjukkan hormat, respek (mungkin juga ''takut''), dan kasih sayang, terhadap dia. Apalagi para birokrat dan
perangkat birokrasi yang berada di bawah kepemimpinannya. Saya kira, di luar
mereka yang bertugas mengurusi tetek-bengek protokoler, terutama para birokrat
yang selama ini diberi kepercayaan jabatan, promosi, dan kemudahan oleh Bupati,
bahkan semestinya harus meluangkan waktu lebih dari sekadar datang, berjabat
tangan, mencicipi suguhan, dan pulang.
Di Idul Fitri 1437 H ini, seluruh gambaran
indah itu buyar di kediaman Bupati Salihi. Tenda besar didirikan, kursi-kursi
ditata, makanan dan minuman disiapkan, tetapi selepas Sholat Id kemuraman
menggantung. Tamu yang tiba hanya dihitung dengan jari. Bahkan di jam makan
siang, yang biasanya menjadi puncak arus orang banyak, hanya ada beberapa
birokrat level menengah Bolmong dan istri mereka yang duduk menemani Bupati.
Tak ada keriuhan yang hidup dan melegakan
seperti tahun-tahun sebelumnya. Tiada terlihat protokoler yang lalu-lalang
mengatur tamu dan acara. Termasuk tak tampak pula Satpol PP pimpinan Laksamana
Jenderal Linda ''Aladeen'' Lahamesang yang biasanya sigap mengawal kediaman
Bupati Salihi.
Kepada saya (langsung), salah seorang
tetamu yang saat itu hadir, bersaksi bahwa di Lebaran ini Bupati Salihi memang ditinggalkan
oleh semua orang yang selama ini mengerubungi dia. Tidak terkecuali para
birokrat asal Lolak yang dipromosi di masa pemerintahannya. Ah, seketika saya
teringat pada lagu tua Mongondow: Ki
Bata' ki Dumondaloi. Betapa mengguncangnya syair lagu ini siang itu di
kediaman Bupati. Nonaid bo nonogulanoi/Tonga
diya'bi' in no'i angoi/Ki Bata ki Dumondaloi/Lua'nea no taput kon ayoi.
Kurang dari enam bulan sejak pasangan
Salihi Mokodongan-Yani Tuuk dilantik sebagai Bupati-Wabup Bolmong, saya
meyakini banyak hal yang akan berjalan keliru di Bolmong. Bahwa, khususnya
Bupati, punya logika, nalar, dan sikap sendiri (termasuk tidak memerlukan
komentar, apalagi sekadar satu-dua saran dari saya). Tersebab itulah, sekalipun
memendam marah dan sesal--khususnya pada perilaku para birokrat di
jajarannya--, saya akhirnya melegakan jiwa dan berhenti bahkan sekadar
menyedekahkan kritik terhadap dia.
Namun, sebagai bagian dari warga Mongondow,
setelah 4,5 tahun menjauh dari Bupati Salihi (jangankan bertemu, bertelepon dan
mengirim pesan saja tidak) dan hanya menyaksikan komedi dan pesta pora
pemerintahan dan birokrasi di Bolmong dengan dada yang sesak karena sebal,
perlakuan orang banyak (lebih khusus para birokrat dan orang-orang puas
menangguk keuntungan dari jabatan Bupati Salihi) membuat saya turut terluka.
Kebiadaban bukanlah soal memenggal kepala atau menyiksa seseorang dengan darah
dingin. Menjadikan Lebaran terakhir seorang Bupati sunyi-senyap, padahal
kekuasaannya tinggal menghitung hari kurang dari jumlah jemari di dua tangan,
sungguh perilaku yang lebih rendah dari adab segerombolan babon.
Salihi Mokodongan bukanlah dan teramat jauh
dari perilaku diktator yang digambarkan sastrawan Kolombia, Gabriel Garcia
Marquez, dalam The Autumn of the
Patriarch (El otono del patriarca). Novel ini, yang terbit pertama kali
dalam bahasa Spanyol pada 1975 (sekaligus best
seller pada tahun yang sama di Spanyol), menurut Marquez, adalah, ''Sebuah
puisi tentang kesendirian kekuasaan.'' Tapi, kesendirian yang kejam itu memang
pantas untuk para diktator.
Bagaimana dengan Bupati Salihi? Orang yang
justru memimpin dengan kelemah-lembutan lebih dari seorang ustadz. Yang
memperlakukan kekuasaan politik dan birokrasi di tangannya dengan kenaifan kanak-kanak
usia delapan tahun. Yang urung mencopot jabatan seorang birokrat sebab: ''Bagimana kasiang dengan depa anak-anak pe
biaya skolah?''
Saya menyukai dan tergila-gila dengan
kisah-kisah realisme magis Marquez. Tetapi, apa yang dilakukan orang ramai
terhadap Bupati Salihi di open house
Idul Fitri 1437 H adalah seseram dan seliar-liarnya realisme magis yang bahkan
mungkin tak terlintas di benak Marquez.
Di mimpi terburuk pun saya tak pernah
membayangkan menjalani momen sesakral dan seagung Idul Fitri dalam kesendirian.
Apalagi jika saya masih memiliki sisa kekuasaan, walau itu hanya tinggal
menghitung jam dan detik. Dan karena itu, setelah hari-hari kekuasaannya
berlalu, akhir pekan ini, Insya Allah
saya akan datang dan kembali menjadi bagian dari orang-orang yang bangga dan
sukacita mengenal dia sebagai seorang manusia. Bukan Bupati, orang kaya, tokoh
politik, atau salah satu warga kelas elit masyarakat Mongondow.
Buat saya--dan beberapa gelintir orang yang
mengenal dia dengan baik dan sempat menjauh karena jengah dengan kekuasaan--,
Salihi mungkin adalah Bupati, pemimpin, dan politikus yang buruk. Amat jauh
dari ideal. Tapi dengan seyakin-yakinnya saya dapat bersaksi, dia adalah orang
baik dengan hati yang baik.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
Bolmong: Bolaang Mongondow; H: Hijriyah;
Kades: Kepala Desa; PP: Pamong Praja; RT: Rukun Tetangga; Satpol:
Satuan Polisi; dan Wabup: Wakil
Bupati.