PILKADA Boltim 2015 praktis terkonsentrasi pada pertarungan—sekaligus
perseturuan—antara pasangan Cabup-Cawabup Sachrul Mamonto-Medi Lensun dan Sehan
Landjar-Rusdi Gumalangit serta para pendukung masing-masing. Calon lain, Candra
Modeong-Supratman Datunsolang, mohon maaf sebesar-besarnya, tanpa bermaksud
meremehkan, boleh dikata sekadar mei-mei periuh
kompetisi.
Tapi saya harus memuji—khususnya—Candra,
yang belakangan dengan cerdas memanfaatkan celah sempit politis dengan
mempersoalkan Kapolres Bolmong yang dinilai menghambat kampanyenya. Isu yang
segera ditangkap media massa ini memang seksi, apalagi kemudian berkembang
menjadi dugaan adanya ‘’permainan’’ dalam distribusi dana pengamanan Pilkada di
Boltim.
Langkah kuda cantik itu digosok-gosok lagi
dengan gertakan dia akan ke Jakarta mengadukan praktek sumir penggunaan dana
pengamanan itu ke Kapolri sebagaimana yang saya baca di situs berita totabuan.co, Kamis, 26 November 2015 (https://totabuan.co/2015/11/candra-saya-ke-jakarta-untuk-laporkan-kapolres-bolmong-ke-mabes-polri/).
Di usia muda, Candra sudah menunjukkan
kepiawaian bersilat politik. Sekalipun, keriuhan di media yang dia ciptakan
sekadar alasan yang sangat mudah dibaca: supaya dia juga mencicipi sedikit kue
perhatian konstituen dari gegar Pilkada. Sebab kalau mau jalan-jalan—untuk
memperhalus ‘’melarikan diri’’—ke Jakarta karena sejak awal memang ditempatkan
sekadar agar ada lebih dari satu pasang Cabup-Cawabup di Boltim; dan karena
tahu persis peluang untuk mendulang suara siginifikan dari para pemilih sangat
rendah; lakukan saja tanpa berisik. Tidak pula ada yang akan menahan, apalagi
melarang.
Kapolri terlalu sibuk mengurusi Pilkada
serentak di seluruh Indonesia. Lagipula, begitu mengetahui ada isu dugaan
praktek bengkok polisi itu, Kapolda Sulut, Brigjen Pol Wilmar Marpaung, bahkan
meminta jika memang ada bukti awal, maka penduga langsung ketemu dia atau
membuat laporan resmi (totabuan.co,
Rabu, 25 November 2015, https://totabuan.co/2015/11/soal-pembagian-dana-pam-pilkada-kapolda-segera-buat-laporan-tertulis/).
Namun, tulisan ini bukanlah tentang Candra
Modeong—juga manuver-manuver belutnya—dan pasangannya di Pilkada Boltim. Bukan
pula soal duo Sachrul-Medi dan Sehan-Rusdi. Melainkan tentang fenomena kompleksitas umum Pilkada Boltim
serta tokoh-tokoh dan ujung tombak pendukung kandidat yang tengah bertarung,
khususnya para jurkam yang diboyong untuk menyakinkan orang banyak. Dan
mengingat ‘’perseteruan’’ Sachrul-Medi dan Sehan-Rusdi adalah yang paling keras
dan ketat, saya memfokuskan cermatan siapa dan bagaimana ‘’tulang belakang’’
yang menopang dua pasang calon ini.
Pertama, Cabup-Cawabup Sachrul-Medi. Diusung PDIP dan Nasdem, pasangan ini
sejak mula diuntungkan konteks politik regional karena Pilkada Boltim
dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada Sulut. Di Pilgub, dari tiga pasang
kandidat Cagub-Cawagub, calon yang didukung PDIP, Olly Dondokambey-Steven
Kandow, di atas kertas jauh mengungguli lawan-lawannya. Keuntungan persepsi
publik terhadap Olly-Steven ini turut dinikmati Sachrul-Medi yang menjadi
bagian dari paket calon kepala daerah PDIP di Sulut.
Kelemahan karena Sachrul Mamonto yang tak
lain Ketua DPD PAN Boltim tidak didukung partainya sendiri, dalam perkembangan
terakhir justru berubah menjadi keunggulan. Ini karena sikap mendua PAN yang
akhirnya mengecewakan kader-kader militannya serta—yang paling krusial—dukungan
dari para politikus PAN yang sebelumnya berhasil meraih sukses di Pilkada di
BMR dan Pemilu 2014, seperti anggota DPR RI, Yasti Mokoagow, dan Ketua DPW PAN
Sulut yang juga Walikota KK, Tatong Bara.
Jika dikonklusi, secara umum
kelemahan-kelemahan Sachrul-Medi berhasil dieliminasi perkembangan terkini
politik di Sulut serta dukungan penuh para politikus yang sedang mendapat
atraksi positif publik, termasuk Olly Dondokambey, Steven Kandow, petahana
Bupati Bolsel (yang pengaruhnya melintasbatas hingga Boltim) Herson Mayulu,
Yasti Mokoagow, dan Tatong Bara. Di balik panggung, Sachrul-Medi juga didukung
tim yang sukses memenangkan Pilkada di hampir semua kota/kabupaten di Sulut,
karena mengolah seluruh proses menuju hari ‘’H’’, 9 Desember 2015 mendatang,
dengan pendekatan berbasis data dan analisis faktual.
Karena mengenal dekat beberapa ‘’pemain
kunci’’ di tim yang mendukung Sachrul-Medi, saya percaya, misalnya, mereka
tidak mengarang-ngarang angka dukungan. Terlebih datanya bukan dalam bentuk
prosentase, tetapi orang per orang pemilih.
Kedua, pasangan Sehan-Rusdi. Keunggulan terbesar pasangan ini adalah
kontradiksi, karena sekaligus menjadi kelemahan fundamentalnya. Dengan dukungan
utama dari PAN (yang punya satu fraksi utuh di DPRD Boltim)—ditopang PKB,
Gerindra, dan Partai Demokrat—, sejak menerima mandat, (utama Sehan Landjar) disibukkan
upaya menyakinkan publik bahwa mereka ‘’tidak merampok’’ hak politik Sachrul Mamonto—yang
justru diabaikan partainya walau sudah membuktikan prestasi politik di DPD yang
dipimpinnya.
Keteralihan itu berdampak sangat buruk sebab
lebih menampakkan sisi irasional dan emosi pribadi Sehan, ketimbang pencapaian
kualitas politik dan kepemimpinannya sebagai petahana. Situasinya kian tidak
menguntungkan karena tokoh-tokoh PAN—terutama dari DPP—yang dijadikan ‘’bala
bantuan’’ politik, cuma masyuk menyerang kader-kadernya sendiri yang lebih
memilih mendukung Sachrul-Medi.
Padahal, fokus pada aspek paling
fundamental dari sebuah isu, peristiwa, atau kompetisi adalah faktor paling
utama pencapaian keberhasilan. Mengabaikan magic
point yang belakangan dikupas tuntas psikolog yang juga wartawan, Daniel
Goleman (Focus: The Hidden Driver of Excellence, HarperCollins, 2013)
ini, mendorong Sehan-Rusdi pada posisi cuma ‘’berkelahi dengan bayangan
sendiri’’.
Kampanye terbuka Sehan-Rusdi, Rabu (24
November 2015), yang dihadiri sejumlah elit DPP PAN adalah contoh terkini cerai-berainya
strategi pemenangan pasangan ini. Alih-alih menjual ide, capaian, dan rencana
ke depan Sehan-Rusdi, mereka justru masih bersikutat dengan isu basi semacam
‘’dukungan partai yang sah’’ (totabuan.co,
Kamis, 26 November 2015, https://totabuan.co/2015/11/waketum-dpp-pan-dukungan-pan-yang-sah-ada-pada-pasangan-seru/),
‘’sanksi untuk kader PAN yang berseberangan’’, dan tetek-bengek sejenis yang sejatinya
adalah urusan sangat internal partai.
Dan celakanya, tanpa disadari ‘’serangan’’
itu justru membuka lebar kelemahan para peyokong utama dan jurkam Sehan-Rusdi.
Publik yang sudah terpapar informasi lengkap dan mau sedikit berpikir langsung
menyadari, kualitas orang-orang yang disodorkan pasangan ini ke depan umum
justru menggelikan, dibanding dengan tokoh-tokoh yang mereka serang.
Kita terang-terangan saja. Warga Boltim
tentu lebih percaya pada Yasti Mokoagow yang mereka pilih ke DPR RI pada Pemilu
2014 ketimbang Caleg konsisten (telah empat kali mencalonkan diri) seperti Bara
Hasibuan. Mereka setidaknya lebih nyaman mendengar Tatong Bara yang Walikota KK
ketimbang calon gagal DPRD Provinsi seperti Dedi Dolot. Pula, mereka pasti
tidak serta-merta memamah-biak pernyataan-pernyataan Sekjen PAN, Eddy Soeparno,
yang mendadak kader paska Kongres Bali 2015 atau Wakil Ketua DPP, Hanafi
Rais—walau dia adalah putra ‘’mogul’’ PAN, Amien Rais—yang terbukti gagal
meraih kursi Walikota Yogyakarta pada 2011.
Kehadiran dan pernyataan-pernyataan
tokoh-tokoh DPP PAN di kampanye yang mestinya menjadi salah satu ultimate moment Sehan-Rusdi (sebab
Pilkada tinggal menghitung hari yang pendek) itu, menurut hemat saya, membuat pasangan
ini gagal total ditampilkan di arus utama isu politik Boltim. Yang mencolok
justru para jurkam dan aneka intrik internal PAN.
Apa artinya situasi itu terhadap sukses Sehan-Rusdi
pada 9 Desember mendatang? Saya tak berani menyimpulkan. Mungkin ada baiknya saya
kutipkan saja komentar yang barangkali dapat mewakili pikiran sejumlah kecil
konstituen di Boltim, bahwa, ‘’Sedang kon
tampat monia in no-kalah-bi’, yo mamangoi bi’ ko-na’a bo molimbu-limbung kon
ubol ko’i-nami.’’***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
BMR:
Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolsel:
Bolaang Mongondow Selatan; Boltim:
Bolaang Mongondow Timur; Brigjen:
Brigadir Jenderal; Cabup: Calon
Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati;
DPD: Dewan Pimpinan Daerah; DPP: Dewan Pengurus Pusat; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Gerindra: Gerakan Indonesia Raya; Jurkam: Juru Kampanye; Kapolda: Kepala Kepolisian Daerah; Kapolres: kepala Kepolisian Resor; Kapolri: Kepala Kepolisian Republik
Indonesia; KK: Kota Kotamobagu; Nasdem: Nasional Demokratik; PAN: Partai Amanat Nasional; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan; Pilgup: Pemilihan
Gubernur (dan Wakil Gubernur); Pilkada:
Pemilihan Kepala Daerah; PKB: Partai
Kebangkitan Bangsa; Pol: Polisi; RI: Republik Indonesia; Sekjen: Sekretaris Jenderla; dan Sulut: Sulawesi Utara.