HINGGA Selasa, 24 November 2015, saya tak henti menerima SMS, BBM, dan
telepon ihwal anugerah ‘’Punu’ Molantud’’ untuk Pejabat Gubernur Sulut, Soni
Sumarsono. Musababnya adalah tulisan Gelar Odong-odong Organisasi ‘’Tarepak’’
untuk Pejabat Gubernur Sulut
yang saya unggah di blog ini.
Karena
gelar adat Mongondow yang disematkan Amabom (atas nama masyarakat Bolmong) tak
lebih dari tipu-tipu dan lelucon, mulanya saya tidak terlampau serius menanggapi
berbagai ‘’curahan hati’’ yang berdatangan itu. Bukan sekali-dua apa yang saya
tulis, sekalipun kebenarannya 100% tak terbantahkan, menjadi sekadar perhatian
dan keprihatinan pribadi sebab tak banyak orang Mongondow yang menunjukkan
kepedulian.
Pada
salah seorang kawan dekat yang mengontak, saya menyampaikan, demi kewarasan dan
tidur nyenyak kita semua, anggap saja prosesi anugerah gelar adat Mongondow dari
Amabom itu tak lebih dari pertunjukan ketoprak. Pejabat Gubernur Sulut, Soni
Sumarsono, yang kebetulan berasal dari Tulungagung, Jawa Timur, pasti tahu
persis apa itu ketoprak. Walau, sejatinya ‘’ketoprak’’ punya arti ganda:
sejenis makanan dengan komponen utama tahu, bihun, mentimun, taoge, emping, dan
ketupat; dan seni pentas khas Jawa—yang lagi-lagi kebetulan—sangat digemari di
Jawa Timur.
Pentas
ketoprak yang biasanya diangkat dari legenda atau sejarah Jawa, belakangan
melahirkan varian ‘’ketoprak humor’’. Di pertunjukan ketoprak humor (yang galib
tampil di layar-layar teve kita), logika boleh jungkir-balik, termasuk raja pun
boleh dipermain-mainkan. Amabom cuma LSM (yang sangat saya ragukan punya akte
notaris sebagai dokumen legal paling dasar), bukan lembaga atau representasi
budaya, adat, dan tradisi Mongondow; Pejabat Gubernur Sulut baru menduduki
kursinya berbilang hari dan karenanya tak heran kalau dia belum menyumbang apa-apa terhadap masyarakat daerah
ini; serta yang paling menggelikan, gelar ‘’Punu’ Molantud’’ yang entah
dipungut dari kearifan budaya, adat, dan tradisi Mongondow yang mana.
Orang
gila urusan dengan mulut beracun dan gemar dikutip media semacam Muliadi
Mokodompit tentu punya kilahan bahwa Amabom adalah bagian dari jaringan AMAN
(di mana dia dicantumkan sebagai Pd AMAN Bolaang Mongondow Tengah—kapankah
Bolaang Mongondow Tengah ini diresmikan?). Pembaca, luangkan waktu untuk
menegok situs AMAN (http://aman.or.id/) dan Anda tidak akan tersesat lagi di tengah
abab dan liur orang-orang yang tidak tahu diri dan tidak tahu malu.
AMAN
adalah Ormas. Tidak beda dengan organisasi sejenis yang jumlahnya puluhan ribu
di Indonesia. Walau punya pengurus daerah di BMR, organisasi ini tidak punya
hak sebiji sawi pun mengatasnamakan masyarakat Bolmong dan kemudian memberikan
gelar adat Mongondow pada seseorang. Memangnya komunitas mana yang memberikan
mandat pada Muliadi Mokodompit, Jemmy Lantong, dan beberapa orang yang disebut
sebagai ‘’Pd AMAN’’ di BMR hingga berani-beraninya mereka mengklaim sebagai
respresentasi adat Mongondow?
Dengan
mengetahui duduk-soal dan hal ihwal yang biasanya dijadikan senjata oleh
(terutama) Jemmy Lantong dan (kini ditambah) Muliadi Mokodompit menjual-jual
adat Mongondow, saya meredakan kejengkelan karena anugerah gelar untuk Pejabat
Gubernur Sulut memang cuma lakon. ‘’Punu’ Molantud’’ itu boleh diterjemahkan
sebagai Raja Agung dalam lakon ketoprak yang disutradarai Jemmy Lantong dengan
penulis skenario Muliadi Mokodompit dan diperanutamai Pejabat Gubernur Sulut,
Soni Sumarsono.
Namun,
urusan memang menjadi serius. Saya mencatat, secara umum komentar, pendapat,
bahkan cemohan terhadap keriuhan gelar adat untuk Pejabat Gubernur Sulut ini
melahirkan dua isu utama.
Pertama, kalangan yang menganggap Amabom adalah
lembaga representasi adat Mongondow menyoal, mengapa tokoh-tokoh (paling tidak)
yang pernah memimpin Sulut dan punya perhatian terhadap Bolmong seperti E. E.
Mangindaan atau Sinyo Sarundajang tak ‘’dianggap’’ oleh orang Mongondow,
setidak dengan penghormatan gelar adat?
Bahkan,
yang lebih dekat lagi, sesungguhnya ada sentimen apa hingga tokoh yang
jelas-jelas anak-temurun Mongondow seperti mantan Wagub Sulut, Abdullah
Mokoginta, juga tidak ‘’direken’’ dengan gelar—minimal lebih rendah—seperti
yang diberikan pada Pejabat Gubernur. Kurang apa ketokohan dan sumbangsih Om
Dula’—demikian dia dikenal akrab di kalangan dekatnya—setidaknya terhadap
kebanggaan masyarakat Bolmong?
Sebab itu, sungguh aneh tanpa mendung dan
angin, Pejabat Gubernur Sulut yang masa berkuasanya baru berbilang hari,
tiba-tiba dianugerahi gelar adat sangat tinggi oleh orang segerombolan orang
atas nama Mongondow. Pasti ada sesuatu yang amis dan menjijikkan dari yang
tontonan ‘’mendadak gelar adat Mongondow’’ dari Amabom itu.
Dan kedua, mereka yang lebih paham
tata-aturan dan seluk-beluk berorganisasi memperkuat kejengkelan (yang sudah
saya tuliskan) terhadap tabiat bengkok segelintir orang yang menjual-jual
budaya, adat, dan tradisi Mongondow. Penganugerahan gelar dari satu entitas
masyarakat, terlebih berlabel adat, semestinya adalah peristiwa budaya yang
khimat. Kecuali kalau anugerah itu sekadar tontonan hiburan atau konsumsi
pariwisata demi memuaskan keingintahuan turis asing terhadap eksotisme
Indonesia, khususnya Mongondow.
Pendek
kata, gerundelan terhadap anugerah
‘’Punu’ Molantud’’ atas nama adat Mongondow itu hingga menyerempet aspek yang
agak segan saya ungkap lebih jauh, terlebih anak-temurun (langsung) pewaris
darah biru Kerajaan Bolmong masih dengan mudah bisa kita temui. Lagipula, harus
diakui pertanyaan semacam ‘’Siapa itu Jemmy Lantong? Siapa Muliadi Mokodompit?
Anak-cucu raja yang mana? Siapa yang memberikan hak pada mereka
mempermain-mainkan adat Mongondow?’’ tidaklah mengada-ada dilontarkan orang
banyak yang masih punya kewarasan.
Tapi kita memang tidak sedang bicara
kewarasan. Melihat rekam jejak beberapa nama yang terlibat di pusaran anugerah
gelar adat itu, semestinya mereka sudah berakhir di RS Ratumbuysan atau kantor
polisi. Dan kalau cecuguk macam Muliadi Mokodompit—yang tampaknya kian tidak
punya tempat di luar Mongondow—tersinggung dengan yang saya tuliskan ini, mari
kita berperkara. Inta! Sin tua bi’ in ta inolatku.
Agar tak mengulang-ngulang lagu yang sama,
isu kedua tentu tak perlu dibahas lagi.
Akan halnya isu pertama, jika pun
diperbincangkan pasti berakhir sebagai spekulasi dan duga-duga. Apalagi
anugerah adat semestinya bukan sekadar ‘’penghargaan’’, terlebih cuma upaya
politik murahan. Dia adalah simbol penerimaan sebuah entitas terhadap
seseorang, baik sebagai tokoh maupun pribadi, yang memberikan lebih dari
sekadar pelaksanaan tugas karena tuntutan kewajiban.
Anugerah adat bicara tentang rasa dan
penerimaan, hormat yang tulus, yang sesungguhnya dapat ditakar di keseharian
masyarakat Bolmong. Siapakah yang akan mendebat jika E. E. Mangindaan dan Sinyo
Sarundajang (yang orangtuanya bahkan cukup lama bermukim di Mongondow) telah
dengan konsisten menunjukkan penghormatan, penghargaan, dan sumbangsih untuk
Mongondow. Juga Om Dula’ yang bahkan masih harus menunda bersenang-senang
dengan cucu karena di usia senjanya tetap didaulat memimpin P3BMR.
Atau barangkali mereka memang tidak perlu
diberi gelar adat Mongondow yang oleh Amabom diperlakukan tidak lagi dengan
dengan kontes kecantikan produk pupur. Toh
masyarakat Mongondow sudah menerima mereka dengan penghormatan tulus dan tinggi.
Maka tak terelakkan, syak yang paling
mungkin adalah anugerah gelar adat itu cuma didasari motif ‘’dagang politis
atas nama orang ramai di Bolmong’’. Pengakuan Muliadi Mokodompit adanya
permintaan dan rapat di Kantor Gubernur Sulut di Harian Sindo Manado, Selasa, 24 November 2015 (Gelar Adat Gubernur Dipolemikkan), menunjukkan mentalitas calo dan
tukang jual apa saja yang sudah lama saya tahu menjadi tabiat khas orang-orang
sejenis.
Pembaca, Anda yang mengikuti dinamika
politik Sulut umumnya dan BMR khususnya, tak perlu pura-pura kaget. Ada
seseorang di Kantor Gubernur yang tengah mempermainkan orang Mongondow,
bersekongkol dengan Jemmy Lantong, Muliadi Mokodompit, dan kawan-kawan, menipu
Pejabat Gubernur dengan gelar pepesan kosong. Targetnya? Apalagi kalau bukan kursi
Pejabat Gubernur BMR—jika Insya Allah provinsi ini terwujud. Akan halnya Jemmy
Lantong, (terutama) Muliadi Mokodompit yang beberapa waktu tertangkap tangan
mengeruk keuntungan pribadi dari P3BMR, dan kawan-kawan, punya celah turut
menepuk dada sebagai pahlawan pemekaran.
Melihat kegigihan banyak orang yang bekerja
tanpa pamrih dan berisik ,serta janji Pejabat Gubernur yang juga Dirjen Otda,
ada atau tidak ada ‘’gelar ketoprak
‘’Punu’ Molantud’’, PBMR tinggal menunggu
waktu direlisasi. Karenanya, sungguh hanya para bedebah dia’ ko opoyu yang punya nyali mengail keuntungan untuk pribadi dan
kelompoknya. Dengan menjual-jual adat Mongondow pula.
Dengan riuhnya tanggapan negatif orang
banyak, dari awam yang bingung hingga tokoh-tokoh yang khatam budaya, adat, dan
tradisi Mongondow—termasuk di Harian Radar
Bolmong yang sebelumnya ‘’memuji’’ tinggi ‘’Punu’ (keptoprak Amabom)
Malantud’’ untuk Pejabat Gubernur (Rabu, 25 November 2015, https://radarbolmongonline.com/polemik-gelar-adat-punu-molantub-hanya-untuk-raja/13541/)
saya kira pentas Jemmy Lantong, Muliadi Mokodompit, dan kawan-kawan, serta
dalang di balik mereka justru baru dimulai. Akal bulus dan pencatutan terhadap
adat Mongondow pasti telah tiba di meja Pejabat Gubernur Sulut.
Sungguh terlalu jika Soni Sumarsono tidak
mengambil tindakan apapun terhadap penipuan yang dilakukan terhadap dia.
Sekalipun dengan cara yang santun, halus, dan diam-diam mengingat latar budaya
Jawa-nya; tetapi sekaligus kerap lebih perih dibanding kemarahan yang
dinyatakan terbuka.
Kita boleh bertaruh, sembari—jika
perlu—mengambil tindakan hukum dan adat terhadap Jemmy Lantong, Muliadi
Mokodompit, and the gank. Yang jelas,
nujuman saya pasti: apa yang dilakukan Amabom akan berlabuh sebagaimana sinisme
‘’mo cari muka, eh, ternyata cuma dapa
panta’’. ***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
Amabom: Aliansi Masyarakat Adat
Bolaang Mongondow; AMAN:
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara; BBM:
BlackBerry Messenger; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; Ormas: Organisasi Kemasyarakatan; P3BMR: Presidium Panitia Pemekaran
Provinsi Bolaang Mongondow; PBMR:
Provinsi Bolaang Mongondow Raya; SMS:
Short Message; Sulut: Sulawesi Utara; dan Wagub:
Wakil Gubernur.