SEMESTINYA para pemimpin politik dan birokrasi di KK terdidik dan berpendidikan,
setidaknya dari gelar yang mereka letakkan di depan atau belakang nama;
serta—yang paling penting—pencapaian jabatan publik yang diemban. Semestinya,
karena mereka adalah ‘’pemerintah’’, pengemban amanat orang banyak, yang
dijalankan adalah kepentingan yang lebih luas, strategis, dan jangka panjang.
Pemimpin politik dan birokrasi yang
sebenar-benarnya pelayan publik semestinya bukan antek segolongan orang,
terlebih dari para calo yang memanfaatkan setiap kesempatan dan kesempitan
untuk kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Dan semestinya pula, sebelum
mengambil tindakan atas nama publik, mereka menaati aturan yang dibuat secara
struktural dari Pusat hingga Daerah. Negeri ini sebuah Republik (dengan ‘’R’’),
yang punya norma, etika, hukum, tata, dan aturan. Sebagaimana Mongondow (dengan
‘’M’’ pula) punya pranata yang sama.
Karena itu, saya benar-benar terperanjat
mengetahui Pejabat Gubernur Sulut, Soni Sumarsono, tiba-tiba diberi gelar adat
(yang diklaim sebagai gelar adat Mongondow) dalam kunjungan resminya, Sabtu, 21
November 2015. Yang kian membuat saya tidak mengerti, mengapa Pemkot KK
terlibat dalam penganugerahan gelar ini, mengingat yang memberikan adalah
Amabom—setidaknya demikian yang saya baca di situs Radar Bolmong, Minggu, 22 November 2015, ‘Dega Nion Don Punu Molantud’: Pj Gubernur Bahas PBMR dan Terima Gelar
Adat (https://radarbolmongonline.com/dega-nion-don-ima-gelar-adat/13429/).
Pembaca, Amabom bukanlah institusi yang
mewakili budaya, adat, dan tradisi Mongondow. Lembaga ini cuma LSM, yang
pengurusnya pun sesuka-sukanya mengangkat dan mengklaim representasi untuk
dirinya sendiri. Memangnya siapa saja masyarakat Mongondow yang mengangkat Jemmy
Lantong, Muliadi Mokodompit, atau orang-orang petantang-petenteng mengaku
Amabom sebagai representasi adat Mongondow? Dengan cara apa mereka diangkat dan
diakui?
Sepanjang mereka tidak melakukan tindakan
kriminil, pelanggaran etika atau norma, dan lebih khusus lagi budaya, adat, dan
tradisi Mongondow; sikap saya: sesuka-suka kalianlah! Tapi tidak untuk menjual
Mongondow dengan harga murah seperti penganugerahan gelaradat yang kian seenaknya dilakukan oleh lembaga
ini, apalagi—belakangan dalam kasus Pejabat Gubernur Sulut—atas dukungan Pemda.
Pembaca, Kerajaan Bolmong dan
satelit-satelitnya sudah lama berakhir. Ini fakta sejarah yang tak perlu
diperdebatkan. Dengan berakhirnya kerajaan, maka berakhir pula segala hal-ihwal
pewarisan kekuasaan, struktur pemerintahan, dan atribut-atribut yang melekat
bersamanya. Jika pun masih ada penghormatan terhadap masa lalu, termasuk untuk
anak-temurun para pemimpin Kerajaan Mongondow dari masa nostalgi itu, semata
sekadar tradisi yang kian lama kian meredup.
Mau Anda berdarah biru kek, biru tua kek,
keturunan Tuang Raja kek, atau
sekadar ‘’tukang nae kalapa’’, harus diakui tidak lagi penting di kekinian
Mongondow. Sepanjang Anda tidak kompeten dan hanya mengandalkan ‘’kisah jaya
masa lalu’’, hari ini Anda bukan siapa-siapa.
Tapi orang Mongondow bukan ‘’bangsa yang
tidak berbudaya dan nir-adab’’. Masa lalu dihormati, dan karena itu sejumlah
budaya, adat, dan tradisi tinggi tetap dipelihara. Ada atau tidak Amabom atau
aku-mengaku dari mereka yang masih mimpi era kerjaan dan merasa berdarah biru.
Sebab itu, setiap tindakan melecehkan budaya, adat, dan tradisi itu semestinya
dilawan dengan sungguh-sungguh.
Apalagi, kali ini Amabom sudah keterlaluan.
Pejabat Gubernur diberi gelar ‘’Punu’ Molantud’’—menurut Sekretaris Amabom,
Muliadi Mokodompit (tampaknya di setiap peristiwa yang bengkok di Mongondow
nama ini selalu ada di depan, termasuk dalam kisruh UDK terakhir ini),
diberikan untuk pemimpin tertinggi atau Raja Agung. Barangkali kita tinggal
menunggu waktu nanti pejabat setara menteri akan diberi gelar (lucu-lucuan)
‘’Punu’ Totok Molantud’’, lalu Presiden RI disemati gelar entah apalagi di atas
itu.
Berdasar Permendagri No 52/2014 Tentang
Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, ada tata cara yang
harus ditempuh agar masyarakat (hukum) adat di satu daerah di wilayah RI
diakui. Masyarakat (hukum) adat mana yang diklaim oleh Amabom? Dan bagaimana
pengakuannya didapat, terutama dari otoritas berbangsa dan bernegara tertinggi
di negeri ini, yaitu Pemerintah Indonesia?
Hingga tulisan ini dibuat, sepengetahuan
saya belum ada satu pun pengakuan terhadap masyarakat (hukum) adat di wilayah
Mongondow yang diproses. Lain soal kalau dilakukan diam-diam; tetapi dengan
demikian ada hak orang banyak yang ditelikung oleh segelintir maling dan
manipulator di Bolmong.
Konsekwensi dari posisi Amabom yang
sedemikian itu, membuat hubungannya dengan Pemkot KK tidak memiliki payung
hukum formal. Sederhananya: Dukungan Pemkot KK terhadap aktivitas Amabom tidak
berbeda dengan dukungan terhadap KNPI, LSM, Ormas, atau organisasi mahasiswa.
Ada proposal yang disampaikan, ada persetujuan dan alokasi anggarannya. Atau,
dalam hal-hal yang lebih strategis semacam kerja sama untuk peristiwa yang
berkaitan dengan kepentingan Pemkot, ada kesepakatan yang dituangkan dalam
perjanjian yang dapat dipertanggungjawabkan. Terlebih jika kerja sama itu
menggunakan APBD atau yang membawa-bawa nama Pemkot.
Tanpa dasar hukum yang jelas, dari aspek
formal, tindakan Pemkot KK turut serta dalam penganugerahan gelar dari Amabom
untuk Pejabat Gubernur Sulut adalah penyalahgunaan. Bahkan jika menggunakan
APBD, keikutsertaan itu adalah korupsi. Sedang dari aspek budaya, adat, dan
tradisi Mongondow, tak diragukan lagi, kehadiran jajaran Pemkot dalam anugerah
gelar bodong oleh Amabom untuk Pejabat Gubernur Sulut adalah permufakatan dan
persekongkolan jahat meredahkan harkat seluruh orang Mongondow.
Melihat sepak terjang Amabom, saya kira
organisasi ini tak beda dengan komplotan ‘’mama minta pulsa’’. Saya meragukan
pula dari aspek legalitas apakah organisasi ini memiliki kelangkapan AD/ART dan kewajiban formal organisasi
lainnya di negeri ini. Itu sebabnya, karena cuma LSM yang mengaku-ngaku,
sebaiknya Jemmy Lantong dan seluruh pengurus Amabom harap tahu diri. Anda boleh
memberikan gelar apapun, termasuk Kaisar untuk diri Anda sendiri, Sultan untuk
Muliadi Mokompit, atau Paduka yang Mulia untuk siapa saja yang Anda sukai atas
nama Amabom. Terserah. Tapi jangan atas nama budaya, adat, dan tradisi
Mongondow.
Ingat, Amabom cuma LSM. Bukan pranata dan
insitusi budaya, adat, dan tradisi Mongondow. Bahwa satu saat, di kesempatan
lain ada yang akan menyampaikan pada Pejabat Gubernur Sulut, Soni Sumarsono,
dia telah ditipu dengan gelar odong-odong dan dari organisasi tarepak, saya pastikan: Sayalah yang
memberi tahu!***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
AD/ART:
Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga; Amabom: Aliansi Masyarakat Adat Bolaang
Mongondow; Bolmong: Bolaang
Mongondow; KK: Kota Kotamobagu; KNPI: Komite Nasional Pemuda Indonesia;
LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; Ormas: Organisasi Masyarakat; Pemda: Pemerintah Daerah; Pemkot: Pemerintah Kota; Permendagri: Peraturan Menteri Dalam
Negeri; RI: Republik Indonesia; dan Sulut: Sulawesi Utara.