SURAT—katanya—dan pernyataan Wasekjen DPP PAN, Dedi Dolot, bahwa partai
berlambang matahari ini merekomendasi Sehan Landjar-Rusdi Gumalangit sebagai
bakal calon Bupati-Wabup Boltim 2016-2021, mendadak jadi ‘’ombak besar’’ menjelang
Pilkada serentak di Bolmong Raya. Saya membaca kabar ini di situs liputanbmr.com (http://www.liputanbmr.com/boltim/dpp-pan-resmi-calonkan-sehan-rusdi-di-pilkada-boltim-2015-2020/),
Rabu, 8 Juli 2015, sembari membayangkan seorang politikus muda bau kencur yang kaget
kuasa sedang unjuk kebolehan.
Isu rekomendasi PAN terhadap
Landjar-Gumalangit memang memanaskan tensi politik dan membuat ‘’gatal-gatal’’
banyak pihak. Mantan kader PAN yang banting setir jadi PNS di Boltim, Ahmad
Alheid, bahkan menulis dengan semburan kekesalan terhadap langkah politik yang
dia nilai ‘’bernalar bengkok’’ itu di Harian Sindo Manado, Kamis, 9 Juli 2015 (Nalar Bengkok Politik PAN). Dengan tanpa memihak siapa
pun—memangnya siapa saya?—, saya setuju sepenuhnya terhadap seluruh argumen
yang disampaikan Alheid.
Di bawah permukaan, ‘’nalar bengkok’’ itu
menjalar menjadi persoalan yang segera mengerucut ke tokoh-tokoh teras dan elit
di DPP PAN. Jumat malam (10 Juli 2015), dalam perjalanan pulang usai silahturrahim dengan seorang kerabat
(pengusaha yang sedang menjejak karir politik) saya menerima kabar, rekomendasi
terhadap Landjar-Gumalangit bahkan membuat beberapa ‘’dewa PAN’’ turun tangan.
Mereka sama heran, bingung, dan tidak mengerti asal-muasal rekomendasi itu,
sebagaimana orang banyak yang melek politik di Boltim.
Mereka yang lebih tenang dan memahami
mekanisma, tata aturan, dan manajemen Parpol, semestinya tidak serta-merta
menelan kabar rekomendasi PAN terhadap Landjar-Gumalangit. Rekam jejak
hubungan Eyang—sapaan populer Sehan
Landjar—dan PAN jauh dari manis, apalagi mesra. Sebab itu, hanya satu cara
pandang yang masuk akal bila benar Eyang menggantongi rekomendasi PAN: ada bau
duit yang sangat kental. Dengan kata lain, ada pihak yang membeli ‘’tiket
politik’’ pada calo yang—kalau bukan pengurus teras DPP—pasti punya akses cukup
bagus ke pengambil keputusan di elit PAN.
Pernyataan Ketua Tim Pilkada DPW PAN Sulut,
Husen Tuahuns, yang dikutip situs Tribun
Manado (http://manado.tribunnews.com/2015/07/10/husen-tak-ada-nama-sehan-landjar-dalam-rekomendasi-kami),
Jumat, 10 Juli 2015, Husen: Tak Ada Nama
Sehan Landjar dalam Rekomendasi Kami, semestinya sudah
terang-benderang. Merujuk pada aturan
dan mekanisme internal PAN, hampir mustahil Eyang mengantongi restu partai ini
karena tidak ada namanya dalam rekomendasi yang disampaikan DPW ke DPP.
Pemberitaan yang lebih tegas saya temukan
di Harian Radar Manado, Jumat, 10
Juli 2015 (PAN Tidak Pernah Akomodir
Landjar). Husen dengan keras menyatakan isu rekomendasi yang beredar bohong
belaka, karena Eyang tidak pernah mengikuti tahapan pencalonan sesuai aturan
dan mekanisme PAN. Parpol modern yang menghormati tata aturan, kader, dan
konsituennya tentu mesti taat terhadap tata kelola yang dia tetapkan sendiri.
Kecuali kalau PAN ‘’kian lucu’’ dan dikelola sekadar sebagai fans club-nya Amien Rais (sebagai
‘’Bapak Besar’’-nya), Zulkifli Hasan (dalam posisi sebagai Ketua Umum), atau
kelompok hura-hura politik belaka.
Merujuk pada Ketua Tim Pilkada DPW Sulut
itu (lagi pula, siapa yang harus dipedomani kalau bukan dia?), jika tiba-tiba
ada rekomendasi yang berbeda, akal sehat kita sepantasnya menyimpulkan:
barangkali ada jin atau hantu belau yang sedang mempermainkan Eyang. PAN
selayaknya menangkap jin atau hantu itu dan mengandangkan dalam botol.
Walau demikian, saya pribadi tidak akan
buru-buru menyimpulkan peluang Landjar-Gumalangit mendapatkan SK Cabup-Cawabup
dari DPP PAN sama sekali nol. Politik Indonesia yang ajaib dan kerap melawan
akal sehat, selalu membuka peluang terjadinya sesuatu yang normalnya ‘’tidak
mungkin’’ sekalipun. Apalagi kalau sudah melibatkan pertukaran pengaruh politik
dengan kekuasaan atau imbalan tertentu.
Sukar dielakkan ada aroma tak sedap dari
isu ‘’mendadak-sontak’’ rekomendasi PAN terhadap Landjar-Gumalangit, yang
berhulu pada politikus yang tiba-tiba namanya rajin terdengar di Bolmong Raya: Wasekjen
DPP PAN, Dedi Dolot. Entah karena media (terutama online) malas mencari sumber berita atau sebab yang bersangkutan
agresif mengasongkan dirinya (sembari meyakinkan umum bahwa dia adalah tokoh
politik baru dari Mongondow), dia selalu dikutip menyertai isu rekomendasi PAN
terhadap Landjar-Gumalangit.
Agresitivitas Dedi Dolot bahkan cenderung
kasar dan mentang-mentang, setidaknya tercermin dari pernyataannya, sebagaimana
yang dikutip totabuannews.com (http://totabuanews.com/2015/07/dpp-pan-tegaskan-semua-kader-partai-wajib-dukung-sehan-landjar/),
Selasa, 7 Juli 2015 (DPP PAN Tegaskan
Semua Kader Partai Wajib Dukung Sehan Landjar). ‘’Apa yang sudah menjadi
keputusan partai, maka setiap kader partai harus mengamankannya. Itu Wajib!’’
Oh, tahulah saya betapa bahlul-nya politikus satu ini.
Rekomendasi (kalau pun benar ada ‘’barang ini’’ serta sesuai aturan dan
mekanisme internal partai) belum menjadi SK. Apa yang harus diamankan dari
sebuah rekomendasi, yang masih harus diuji keseluruhan proses dan kelayakannya
sebelum menjadi keputusan partai? Saking bernafsunya Wasekjen satu ini, dia tak
sungkan memamerkan keterbatasannya memilah antara rekomendasi (yang semata
saran) dan keputusan sebagai sikap partai. Politikus yang pengetahuan dasar
manajemen organisasi saja payah kok bisa-bisanya
dipilih sebagai Wasekjen?
Saya tidak kenal Dedi Dolot. Tidak pula
punya kepentingan atau urusan dengan yang bersangkutan. Sebagai bagian dari
masyarakat Mongondow, saya turut senang melihat ada politikus berlatar Bolmong
yang berdaya di tingkat nasional. Tetapi, di saat bersamaan, saya juga punya reserve terhadap perilaku, pengetahuan,
dan adab politik siapapun politikus Bolmong atau berlatar Bolmong.
Karena pengetahuan yang terbatas itu—ingatan
saya hanya sepintas pada enam-tujuh tahun lampau berkenaan dengan baliho
kampanye Pileg Dedi Dolot yang sok avant-garde
dengan menciplak hampir mentah-mentah gaya iklan sebuah merek rokok—saya tidak
berani memberikan komentar apapun tatkala ada beberapa politikus Mongondow
(terutama yang berkeinginan berkompetisi di Pilkada) menanyakan rekam-jejaknya.
Saya tidak tahu apa konteksnya, yang jelas mereka umumnya menginformasikan akan
bertemu dengan Dedi Dolot.
Saya baru dapat menyambungkan puzzle-puzzle yang berkaitan dengan Dedi
Dolot ketika isu rekomendasi PAN terhadap Landjar-Gumalangit meruyak; dan aktifnya
dia menjadi ‘’juru bicara’’ yang mengatasnamakan partai dalam urusan ini.
Pertanyaan saya: Apa sumbangsih orang ini terhadap perkembangan PAN di Sulut,
yang dari sebuah partai pinggiran enam-tujuh tahun lampau, menjadi ‘’sesuatu’’
saat ini (setidaknya ditandai dengan kursi di DPR RI dan fraksi utuh di beberapa
kota dan kabupaten), hingga dia mendadak tampil layaknya politikus jagoan di
Bolmong Raya paska Kongres PAN di Bali, Maret 2015 lalu?
Politik, politikus, dan Parpol tidak lepas
dari dinamika dan sejarah eksistensinya. Sepengetahuan saya, prestasi PAN di
Sulut umumnya dan Bolmong Raya khususnya, tak lepas dari kerja keras para pengurus,
kader, dan simpatisannya dari hari ke hari, bulan ke bulan, dan tahun ke tahun,
agar partai ini direken. Tidak satu pun saya menemukan catatan ada sumbangsih
berarti dari seorang Dedi Dolot. Sebab itu, sekalipun bukan seorang kader atau
aktivis PAN, saya tak segan ikut mengomentasi—dan mencela—manuvernya yang lebih
membela Sehan Landjar ketimbang Ketua DPD PAN Boltim, Sam Sachrul Mamonto.
Sachrul Mamonto, yang membawa PAN
mendapatkan satu fraksi utuh di DPRD Boltim, sudah membuktikan dan memberi arti
tertentu terhadap partai ini. Sepak-terjang dan ulah Dedi Dolot, khususnya yang
seolah-oleh meniadakan apa yang telah dicapai Sachrul, hanya menunjukkan dia
sekadar petantang-petenteng karena didapuk menjadi Wasekjen DPP (yang
penunjukkannya pun dapat dipertanyakan atas dasar apa). Menurut hemat saya,
bila dibiarkan, ulah politikus ‘’mendadak kuasa’’ seperti ini bakal sukses
membawa PAN terjun bebas di event
politik apapun di Sulut, dan bahkan Pemilu 2019 mendatang. Dan saya berani
bertaruh untuk itu.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
Bahlul: Berasal dari bahasa Arab. Akar katanya
adalah bahlala yang artinya sesuatu
yang batil atau sesat. Kata ini digunakan sebagai istilah untuk menyatakan
orang yang berkelakuan rada-rada aneh atau pandir; Bolmong: Bolaang Mongondow;
Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Cabup: Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati; DPD: Dewan Pengurus Daerah; DPP: Dewan Pengurus Pusat; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; DPW: Dewan Pengurus Wilayah; PAN: Partai Amanat Nasional; Pileg: Pemilihan Legislatif; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; PNS: Pegawai Negeri Sipil; RI: Republik Indonesia; SK: Surat Keputusan; Sulut: Sulawesi Utara; Wabup: Wakil Bupati; dan Wasekjen: Wakil Sekretaris Jenderal.