MINGGU, 12 Juli 2015, Bupati Sehan Landjar pulang ke Boltim—dari lawatan
lebih dua pekan di Jakarta, memburu tiket pencalonan di Pilkada serentak,
Desember 2015 mendatang—dan disambut pikuk massa. Saya turut menikmati keriuhan
unjuk kekuatan politik ini dari lalu lintas broadcast
BBM dan pertukaran kabar (juga foto-foto) di WhatsApp.
Teknologi membuat jarak menjadi pendek;
informasi datang secepat kilat; dan
pengetahuan mekar hampir selalu seketika bersama fenomena dan bukti-bukti
faktual.
Bupati yang diakrabi dengan sapaan ‘’Eyang’’
ini, para pendukung, dan simpatisannya pantas bersuka ria. Konon, dia pulang
dengan menggantongi SK DPP PAN sebagai Cabup Boltim 2016-2021 berpasangan
dengan Cawabup Rusdi Gumalangit. Di jejeran hadirin penyambut berkibar bendera
PAN, juga simbol beberapa Parpol lain. Katanya—sekali lagi, sebab saya tidak
menyaksikan langsung, maka yang pantas adalah ‘’katanya’’—ada PKB, Hanura, dan
PD.
Aksi itu pantas diacungi dua jempol. Dalam hal
memainkan emosi massa, memutar bandul politik yang sebelumnya hampir tak terjangkau,
Eyang masih tetap tak ada duanya di Bolmong Raya. Saya harus mengakui tak henti
terkagum-kagum terhadap manuver dan siasatnya, kendati ada kabar lain yang tak
kurang sahihnya, bahwa elit tertinggi PAN justru telah menyepakati Ketua DPD
PAN Boltim, Sam Sachrul Mamonto, yang resmi di-SK-kan sebagai Cabup berpasangan
dengan Medi Lensun yang diusung PDIP. Kesepakatan petinggi PAN ini sudah pula
dikomunikasikan dengan PDIP, yang prosesnya saya duga berlangsung saat Eyang
sedang dalam penerbangan kembali ke Manado.
Simpan-siur kabar itu membuat ihwal SK PAN
untuk Cabup-Cawabup Boltim 2016-2021 tak beda dengan misteri Aki Botutu. Karena
itu, kita—orang banyak yang jadi konsumen dan penonton politik—mohon bersabar.
Untuk sementara waktu nikmati saja kesumrigahan Eyang, para pendukung, dan
simpatisannya; sembari bersimpati dan berempati terhadap lara dan ‘’makang
hati’’ yang dipikul Sachrul Mamonto.
Lepas dari masih liarnya cerita akhir isu
rekomendasi dan SK DPP PAN itu, warga Mongondow—dan khususnya para politikus—semestinya
menjadikan gegar politik di Boltim sebagai pembelajaran penting. Apa yang
terjadi bukan sekadar anomali politik dari anomali perilaku Parpol dan para
elitnya, tetapi juga berpotensi menguji normalitas atau justru anomalitas
sosial masyarakat pemilih di Boltim.
Skenario
satu, Landjar-Gumalangit benar-benar mengantongi SK
DPP PAN sebagai Cabup-Cawabup, sekaligus menyingkirkan, mempermalukan,
dan—mohon maaf—menistakan Sachrul Mamonto sebagai kader yang bahkan menggantar
partai ini meraih satu fraksi utuh dan kursi Ketua di DPRD Boltim. Jika
skenario ini yang terwujud, kabar baiknya: Eyang bukan hanya mendapatkan tiket
Pilkada, tetapi dengan sekali tending dia juga paripurna meminggirkan salah
satu pesaing utamanya.
Namun, di balik kabar baik itu ada kabar
buruk yang lebih merugikan Eyang. Pertama,
dia justru menciptakan lebih banyak die
hard, tidak hanya di internal PAN, yang bertekad mati-matian mengalahkan dia.
Dari sudut pandang manapun, tindakan Eyang merampas ‘’panada’’ dari mulut
Sachrul Mamonto menunjukkan tingkat keburukan etika dan fatsun politiknya. Dan kedua, jika Sachrul tetap mendapatkan
dukungan dari PDIP dan satu Parpol lain sebagai penggenap, manuver dan siasat
Eyang akan sangat efektif menjadi propaganda kezaliman dan kesemena-menaan
kekuasaan.
Jenis isu seperti itu, terlebih dengan
sebagai fakta yang dikonsumsi telanjang oleh umum, sangat efektif menggerus
kepercayaan pemilih terhadap seorang kandidat pejabat publik. Sepengelaman
saya, hanya segelintir orang yang cukup toleran dengan perilaku zalim dan
semena-mena.
Tetapi, kabar yang lebih buruk lagi justru
dialamatkan untuk PAN. Realitas politik saat ini membuktikan: di Sulut, partai
ini hanya bergigi di empat dari lima kota dan kabupaten di Bolmong Raya. Di
Kabupaten Bolmong, Boltim, dan Bolmut, serta Kota Kotamobagu, PAN berhasil
mencapai satu fraksi utuh. Dari wilayah ini pula PAN mendudukkan dua kadernya
di DPRD Sulut dan menyumbang suara mayoritas untuk satu anggota DPR RI.
Alih-alih mengusung Sachrul Mamonto, dengan
memberikan rekomendasi, kemudian SK Cabup-Cawabup untuk Landjar-Gumalangit, PAN
bagai memaklumatkan ketiadaan penghormatan dan penghargaan terhadap kader
sendiri. Bila Sachrul—didukung jajaran pengurus lainnya—yang sudah bekerja
keras menghadirkan satu fraksi di DPD yang dia pimpin dilepeh begitu saja,
dapat dipastikan di masa datang hanya politikus meheng yang cukup bernyali dan sudih berkhimat di partai ini.
Apalagi, melihat sepak-terjang segelintir
kader PAN dari DPP hasil Kongres Bali, Maret 2015 lalu, yang kini turun
wara-wiri di Bolmong Raya, kedunguan politik ‘’menukar sapi dengan bebek
pincang’’ itu tidak mustahil terjadi. Tanpa perlu menguasai ilmu nujum, kita
sudah dapat menduga, kader dan simpatisan yang masih punya cukup kadar
kewarasan bakal ramai-ramai meninggalkan partai ini. Wassalam, good-bye, au revoir….
Siapa yang ingin, meminjam komentar seorang
tokoh politik di Boltim, ‘’Cuma ba
pece-pece deng partai yang nyanda ada integritas?’’
Skenario
dua, SK DPP PAN ternyata tetap diberikan pada
Sachrul, berpasangan dengan Medi Lensun. Kabar baiknya: koalisi PAN-PDIP ini
membuktikan bahwa politik adalah ikhtiar telaten membangun bata demi bata
kepercayaan konstituen terhadap Parpol dan politikus yang mereka dukung. Bahwa
politik bukanlah jalan pintas meraih tujuan semata karena peluangnya mudah
dipertukarkan dengan ‘’sesuatu’’.
Langkah PAN mempercayai dan mendukung kader
sendiri di Pilkada Boltim berarti pula menyelamatkan integritasnya. Menunjukkan
dengan kepala tegak bahwa partai ini adalah wahana yang memberi tempat
tertinggi untuk kader-kader dan simpatisannya, terutama mereka yang berkinerja
dan berprestasi optimal.
Sebagaimana yang kesatu, skenario kedua ini
juga punya kabar buruk. Pertama,
pasti memojokkan dan mengancam posisi Landjar-Gumalangit. Tanpa PAN, kalau
mereka tetap didukung beberapa Parpol (setidaknya yang diklaim sudah memberi
dukungan), pencalonan memang bukanlah masalah. Yang jadi soal adalah integritas
dan kredibilitas—terutama—Eyang sebagai politikus yang sudah membordir publik
dengan klaim sangat meyakinkan. Kegagalan membuktikan klaim rekomendasi dan SK
DPP PAN, membuat untuk kesekian kalinya dia bakal dituduh sebagai pendusta,
sebuah citra dan reputasi yang tak beda dengan stempel paria untuk seorang
politikus di kompetisi sepenting Pilkada.
Dan kedua,
pengurus atau kader PAN—siapa pun dia—yang berada di balik gegar rekomendasi
dan ‘’konon’’ SK DPP untuk Landjar-Gumalangit, jelas kuyup lumpur comberan politik.
Tidak memerlukan waktu lama nama-nama mereka akan dipertukarkan sebagai
peringatan di kalangan para politisi, menjadi olok-olok, bahkan mungkin
diisolasi dan kehadirannya ditunggu cuma karena politik—seganas, dingin, dan
sebrutal apapun—tetap memerlukan badut penghibur.
Saya sungguh tidak sabar menunggu
siapa-siapa politikus yang akan menjadi badut saat pendaftaran Cabup-Cawabup
Boltim 2016-2021 berlangsung, 26-28 Juli 2015 mendatang. Yang jelas, dari dua
kemungkinan skenario itu, tampaknya pihak yang paling diuntungkan justru
Sachrul Mamonto. Karenanya, mungkin tidak berlebihan bila saya menyarankan agar
dia beranjangsana, menemui Eyang, dan menghaturkan terima kasih
sebesar-besar.***
Singkatan
dan Istilah yang digunakan:
BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Cabup: Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati; DPD: Dewan Pengurus Daerah; DPP: Dewan Pengurus Pusat; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Hanura: Hati Nurani Rakyat; PAN: Partai Amanat Nasional; PD: Partai Demokrat; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan; Pilkada: Pemilihan
Kepala Daerah; PKB: Partai
Kebangkitan Bangsa; RI: Republik
Indonesia; dan SK: Surat Keputusan.