MENJADI Mongondow tak henti saya syukuri. Lahir, tumbuh, dan dewasa bersama
hal-ihwal Bolmong bukan ‘’pemberian’’. Dia adalah rahmat. Buat saya—juga
adik-adik, termasuk yang menikah, bekerja, dan bermukim di luar negeri
(sesekali tegoklah http://kartunmongondow.blogspot.fr
yang dia buat dengan kebanggaan penuh kangen ‘’seorang Mongondow di
perantauan’’)—tidak ada wilayah, etnis, budaya, adat, dan tradisi yang lebih
mesra, khusyuk, sekaligus menggembirakan dari Mongondow.
Pendek kata, bila hidup adalah pengulangan
terus-menerus, saya tetap memilih lahir sebagai orang Mongondow.
Kebanggaan menjadi Mongondow itu, Kamis
malam (5 Maret 2015), saya sampaikan dengan harga diri tegak di hadapan Phill—expatriate asal Australia yang bertemu
dalam bual-bual pengantar rapat serius usai makan malam di salah satu site tambang milik korporat raksasa.
Kisah tentang Mongondow dan Bolmong antara saya dan Phill, tercetus begitu saja
setelah dia memperkenalkan diri sebagai warga dunia asal Perth, Western
Australia.
Mendengar kata ‘’Perth’’, spontan salah
seorang kawan yang bersama kami mengatakan, saya cukup lama bolak-balik ke kota
ini mengunjungi keluarga. Phill yang tampaknya sangat mencintai tempat
lahirnya—sesungguhnya Perth memang kota yang indah—berubah jadi serius, bahkan
mengeksplorasi hingga tempat di mana keluarga saya tinggal dan sekolah
anak-anak. Setelah penjelasan singkat, Phill mengacungkan jempol dan berucap:
‘’Keluarga Anda bermukim di Nedlands? Itu wilayah kelas satu Perth.’’
Lalu percakapan bergeser. Phill bertanya
asal-muasal saya dan keluarga. Saya jelaskan, saya berasal dari Mongondow.
Sebuah wilayah luas yang terletak di Sulut dan ‘’mungkin’’ sebentar lagi menjadi
provinsi sendiri. Tatkala dia mengejar dengan menanyakan apakah yang saya
maksud Manado, saya tegaskan: Sekali pun memiliki rumah dan dalam 25 tahun
terakhir lebih sering di Manado ketimbang Kotamobagu, saya adalah orang
Mongondow. Tidak lebih dan kurang.
Demi menjelaskan tentang Mongondow dan
Bolmong, saya bahkan perlu mengisahkan sejarah panjang masyarakat dan
wilayahnya.
Sebagai ibukota provinsi, Manado tentu
lebih dikenal dibanding Kotamobagu—lagi pula banyak orang Indonesia yang memang
payah dalam soal geografi negaranya sendiri. Lebih jauh lagi, etnis Minahasa
dan Sangihe Talaud barangkali lebih populer, terutama di kota-kota besar
Indonesia yang jadi pusat trend
seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. Kendati
begitu, buat saya tidak ada kebanggaan yang tergores, apalagi menjadi aib,
mengaku sebagai Mongondow.
Kecintaan dan hormat saya pada Mongondow
melampaui sekadar gengsi—seolah-olah mengaku sebagai ‘’orang Manado’’ misalnya,
membuat kita mendadak menjadi setampan pangeran?—dan atribut-atribut artifisial
lainnya. Saya toh tidak kehilangan
respek dan hormat dari sesiapapun yang hanya memerlukan sedikit penjelasan
karena ketidaktahuannya terhadap Mongondow dan Bolmong.
Maka saya memang sensitif terhadap sesama
Mongondow yang ‘’gengsinya tergores’’, bahkan yang paling parah merasa
hina-dina, ketika harus mengaku sebagai orang Mongondow. Sukar bagi saya
menerima orang yang jelas-jelas lahir, besar, bahkan terputar-terputar di
Bolmong dan Manado, lalu ketika keluar Sulut terang-terangan enggan mengaku
sebagai orang Mongondow.
Satu ketika, bertahun-tahun yang lalu,
secara tidak sengaja—sebab masih dengan jas dan dasi usai menghadiri sebuah
konferensi bisnis—saya bertemu dengan seorang kawan dari masa kecil di
Singapura. Bersua dengan sesama Mongondow di negeri orang (walau jaraknya cuma
satu-dua jam penerbangan dari Manado) adalah kejutan menyenangkan. Spontan
dengan kegembiraan meluap saya menyapa dia dengan bahasa Mongondow.
Setelah beberapa jenak saling bertukar
cerita, saya tersadar: sepanjang percakapan kami, saya terus-menerus
menggunakan bahasa Mongondow, sementara dia tak henti menderaskan bahasa
Indonesia bercampur bahasa Inggris. Pembaca, tanpa basa-basi saya menatap tajam
wajahnya dan berbalik dengan serapah, ‘’I#^t,
na’ ta inorod kon Singapura iko. Tonga’ no-i-sare magi’ bo mo kalauang-don
nani’on.’’
Maafkan, Pembaca, hingga melewati usia 45
tahun, saya cukup puas menjelajahi permukaan bumi ini. Kian jauh berjalan,
bangga dan sayang terhadap Mongondow kian kental. Andai tak berpikir tentang
sopan-santun dan adab modern, tempeleng dan ludah sudah mendarat di wajah
‘’orang Mongondow tak tahu diri’’ itu, yang kemudian saya putuskan secara
permanen dicoret dari daftar manusia yang pernah saya kenal.
Kalau satu saat bertemu lagi, entah di
Manado, Kotamobagu, atau sebuah tempat di luar sana, saya memastikan bakal
tidak mengenal yang bersangkutan. Barangkali memang saya salah orang. Yang saya
sua itu bukanlah sosok yang saya kenal di Mongondow. Dia mungkin sesama Indonesia
yang kebetulan berwajah mirip kawan dari masa kanak, yang sama sekali tidak
punya hubungan dengan Mongondow.
Satu-dua orang Mongondow bersiasat
menyembunyikan asal dapat dimaklumi sebagai ‘’makang puji’’ pribadi. Tapi
bagaimana dengan serombongan mahasiswa Akper Totabuan yang tampil di tayangan Dasyat RCTI, Minggu (8 Maret 2015), yang
kompak menyaru berasal dari Manado? Jelas mereka—termasuk dosen dan sesiapapun
yang menjadi pendamping—tidak melakukan kekhilafan. Mereka memalsukan
identitas. Alasannya boleh jadi karena menyebut ‘’Kotamobagu’’ barangkali
membuat gengsi jatuh atau mungkin karena seluruh rombongan itu memang berasal
dari Manado dan sekadar ‘’pemain pinjaman’’ untuk Akper Totabuan.
Mengingat saya jarang menonton televisi,
kamuflasi rombongan Akper Totabuan itu saya ketahui dari broadcast BBM yang dikirimkan seorang kawan jurnalis di Kotamobagu.
Karena penasaran, saya menghidupkan televisi dan susah-payah mencari channel RCTI (ini karena saluran
televisi saya otomatis diprogram ke National
Geographic dan Wild Life—menonton
monyet, buaya, dan harimau lebih menghibur ketimbang sinetron dan tayangan
kacangan umumnya stasiun televisi Indonesia). Info itu benar adanya dan sungguh
mendidihkan darah, memprovokasi kebanggaan saya sebagai orang Mongondow.
Sayang sekali saya tak sedang berada di
Jakarta. Gatal rasanya ingin menemui rombongan sirkus itu, menanyakan apa benar
Akper Totabuan berkampus di Manado dengan mahasiswa yang seluruhnya berasal
dari kota ini. Sebab, saya yakin sebagian besar mereka adalah anak-anak
Mongondow yang kampusnya ada di Kotamobagu; yang satu-satunya applause yang pantas mereka terima
adalah tonjokan di kepala.
Baru tampil di acara ecek-ecek yang hanya
ditonton para tukang gossip dan orang
kurang kerjaan, mereka sudah malu mengaku berasal dari Mongondow. Bagaimana
jika tampil di CNN atau stasiun televisi global lainnya? Begitu tidak berarti
dan hinanyakah mengaku berasal dari Mongondow?
Masih berstatus mahasiswa saja sudah
menjalankan tipu-tipu dan manipulasi. Bagaimana kalau mereka lulus dan bekerja
mengurusi hidup-mati orang?
Dari manakah mahasiswa-mahasiswi Akper
Totabuan itu tertular mentalitas inferior? Sebab kebanyakan sesama Mongondow
yang saya kenal, terutama yang sukses di luar Sulut, dengan dada membusung
memaklumatkan daerah asalnya. Atau mungkin di akademi ini salah satu tujuan
akhir pendidikan mereka adalah menjadi pembohong dan manipulator.
Karenanya, terhadap keenganan mengakui asal
seperti yang ditunjukkan para mahasiswa Akper Totabuan itu, saya cuma punya
pendapat pendek: Sebaiknya mereka tidak perlu pulang ke Kotamobagu. Silahkan
saja menjadi ‘’Manado dan orang Manado’’. Semoga Tuhan Yang Maha Esa
memberkati. Amin.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
Akper: Akademi Perawat; BBM:
BlackBerry Messenger; Bolmong:
Bolaang Mongondow; CNN: Cable News
Network; RCTI: Rajawali Citra
Televisi Indonesia; dan Sulut:
Sulawesi Utara.