KEHADIRAN mahasiswa-mahasiswi Akper Totabuan di tayangan Dasyat di RCTI, Minggu (8 Maret 2015), memicu kontroversi yang
memanaskan—terutama—media sosial di Bolmong. Keriuhan ini amat pantas,
mengingat musababnya tidaklah sesepele pernyataan ‘’Akper Totabuan di Manado’’
yang dijadikan identitas rombongan ini di acara tersebut. Ada persoalan
fundamental, kepantasan pendidikan dan adab sosial, yang sesungguhnya belum
dijamah umum yang masih terfokus pada yang artifisial dan tampak.
Hujatan terlanjur berhamburan dan
bersiliweran, termasuk meme sarkas
yang mengejek pengingkaran identitas wilayah asal Akper Totabuan, yang memang
bukan di Manado, melainkan berkampus di Kotamobagu. Kalau pun ada yang
bertendensi membela, misalnya dengan kilahan—yang saya terima dalam bentuk capture status BBM—90% orang Mongondow
lebih pede mengaku ‘’orang Manado’’
di luar daerah asalnya, serta-merta terlindas ketidaksukaan umum yang sudah
terlanjur mewabah.
Lagi pula, apa dasar menyatakan 90% orang
Mongondow lebih bangga mengaku ‘’orang Manado’’ itu? Apakah ada penelitian, survei, atau telaah ilmiah yang telah dilakukan? Ataukah itu juga
semacam alasan yang dibuat-buat oleh mereka yang memang mengidap minderwaardigheidscomplex?
Pengelakan lain, juga dari broadcast BBM yang mampir di telepon
selular saya, bahwa kejadian ‘’Akper Totabuan di Manado’’ adalah
ketidaksengajaan semata. Keterpelesetan orang gugup yang demam panggung karena
tak biasa disorot gemerlap lampu dan kamera. Baiklah. Tapi bagaimana kalau
justru ‘’Manado’’—bukan Mongondow atau Bolmong—yang memang dihidupkan di alam
bawah sadar sang penggugup yang gegar publik itu?
Mayoritas orang Mongondow yang terpicu
‘’harkat daerah dan etnisitasnya’’, yang kini bereaksi keras, pasti akan
sependapat dengan deretan kontra-alasan yang saya sampaikan itu. Segelintir
lainnya, mereka yang cenderung netral-pro atau justru pro dan menerima bahwa
peristiwa di tayangan Dasyat itu
adalah semata keterpelesetan, patut diduga bakal menuduh saya cuma mencari-cari
celah agar mahasiswa-mahasiswi Akper Totabuan itu absah sebagai ‘’tersangka
sosial’’.
Tetapi perkara sesungguhnya tidaklah
sesederhana itu. Tonte’ek, bully, dan
meme yang mengiringi peristiwa
memalukan akibat pernyataan menyaru-nyarukan Akper Totabuan seolah ada di
Manado, setidaknya dapat ditelisik dari dua cara pandang.
Pertama, peristiwa terjadi di ruang dan menjadi konsumsi publik (bagi yang
kurang paham, harap diingat frekwensi yang digunakan RCTI untuk menyiarkan
tayangannya adalah milik publik). Dengan demikian tidak ada yang salah dari
reaksi yang diekspresikan umum berkenaan dengan peristiwa yang bersifat publik.
Jadi, meminjam nasehat orang tua dan para bijak, tarima-ai don sin mo-iko bi’ in notayak kon parkara. Bahkan bila
orang banyak di Bolmong menuntut permintaan maaf dari Akper Totabuan sebagai
institusi, menurut hemat saya, bukanlah hal yang mengada-ada.
Dan kedua,
sejatinya mahasiswa-mahasiswi Akper Totabuan berada di Jakarta dalam rangka
praktek—apa bentuk prakteknya, entahlah, sebab hanya sebegitu informasi yang
di-forward ke saya. Apakah demikian
adanya, saya tak repot-repot memastikan akurasinya. Sebab sekali pun Bolmong
adalah wilayah kaya SDA dengan masyarakat yang relatif makmur, saya kira para
orangtua mahasiswa-mahasiswi akan berpikir panjang membiaya putra-putri mereka
dari Kotamobagu ke Jakarta sekadar cengegesan hampir 60 menit di layar
televisi.
Yang jadi soal adalah, apakah mereka mejeng di tayangan Dasyat sebelum atau setelah pelaksanaan praktek? Kalau sebelum
praktek, keterlaluan betul pendidikan yang dijalankan di Akper Totabuan.
Sebaliknya, bila setelah praktek, kacang polong betul cara berpikir
mahasiswa-mahasiswi itu. Tidakkah mengunjungi museum, Perpustakan Nasional,
atau RS dengan standar keperawatan kelas dunia lebih penting daripada bergaya
artis kapiran di tayangan yang faedah pendidikannya barangkali ada di urutan
1.000?
Terpeleset—atau sengaja mengaburkan
indentitas—hingga menjadi cemoohan, masih dapat dimaafkan. Orang muda mana sih yang bebas dari khilaf dan kebodohan
memalukan. Tapi lain soal dengan perilaku ‘’makang puji’’ dan gaya-gayaan torang maso tivi yang bakal disombongkan
di tengah komunitasnya di Mongondow.
Karenanya, adalah hal wajar bila orang
banyak bersyak, kehadiran mahasiswa-mahasiswi Akper Totabuan di studio RCTI dan
tampil di tayangan Dasyat bukanlah
kebetulan belaka—memangnya setiap orang bisa dengan mudah mampir ke stasiun
televisi dan didaulat masuk kamera? Kebenaran prasangka ini tentu mesti diuji
seadil-adilnya. Tapi, sebelumnya, izinkan saya bersetuju dengan komentar –yang
juga saya baca dari capture BBM—salah
seorang anggota DPRD Sulut asal Bolmong, bahwa: apa yang mereka pertontonkan
memang menjijikkan!
Menjijikkan sebab mereka dapat menjadi
representasi menakar kualitas generasi kini di Bolmong. Tatkala
mahasiswa-mahasiswi PT dan akademi lain di negeri ini eksis di berbagai
kompetisi asah otak dan kualitas—yang juga kita tonton dalam bentuk talk show lebih bernas—, Akper Totabuan
bersukarela diperolok dengan mie instant 10 bungkus. Saya kira hanya
mahasiswa-mahasiswi dungu yang rela melahap 10 bungkus mie instant atas nama
kampusnya. Dan jelas rombongan sirkus itu hadir sebagai Akper Totabuan. Bukan
pribadi-pribadi yang memang gila publisitas.
Dengan menelisik lebih cermat, dingin, dan
komprehensif, kita tiba pada simpulan: orang-orang Mongondow pantas
jengkel—bahkan malu—dengan ulah mahasiswa-mahasiswi Akper Totabuan. Bagi yang
membela mereka, terutama dengan alasan yang bertumpu pada kekhilafan semata,
harap diingat: bukan soal mereka mengaku dari mana dan kampusnya terletak di
wilayah apa. Substansi kemarahan publik Mongondow pada akhirnya akan bermuara
pada perilaku bodoh orang makang puji
yang gila ngetop.
Jika belum paham juga, mari saya
sederhanakan seluruh lelucon ‘’Akper Totabuan di Manado’’ ini lewat
pengandaian: mahasiswa-mahasiswi itu mengembang tanggung jawab melakukan
sesuatu ke Dumoga. Ternyata mereka justru mengalami kecelakaan di Modayag.
Sudah nahas, mereka pun tidak mengaku mahasiswa, melainkan menyaru intel
polisi. Gile bener!
Kedunguan yang tampaknya mulai
bertumpuk-tumpuk, terutama berkaitan dengan kilahan dan pembelaan segelintir
orang terhadap laku mahasiswa-mahasiswi Akper Totabuan itu, pada akhirnya cuma
pantas mengundang iba. Barangkali tepat adanya potongan komentar terbaru tokoh
Inde’ di Kartun Mongondow (http://kartunmongondow.blogspot.fr),
bahwa, ‘’Di situ kadang Inde’ merasa
sedih.’’***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
Akper: Akademi Perawat; BBM:
BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; PT: Perguruan Tinggi; RCTI: Rajawali Citra Televisi
Indonesia; dan RS: Rumah Sakit.