Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet
Showing posts with label Artikel Tamu. Show all posts
Showing posts with label Artikel Tamu. Show all posts

Wednesday, November 2, 2016

Bagaimana Menyikapi Tulisan di ''Kronik Mongondow''?

Pengantar:
Tulisan tamu kali ini, dari Shandry Anugerah, diunggah setelah perenungan dan konsultasi dengan beberapa orang. Bukan sebab idenya buruk atau bahasanya jelek, melainkan karena kandungannya yang beririsan dekat dengan ego saya sebagai pemilik Kronik Mongondow. Sungguh kikuk membaca pujian, sekalipun implisit. Narsisme bukan tabiat yang saya sukai, apalagi lakukan. Namun, saya sajikan juga dan Anda, para pembaca, sila menikmati dan menakar sendiri.

Oleh Shandry Anugerah
Pendiri Rumah Belajar Saung Layung Arus Balik

DUA pekan belakangan, di tengah kekhusyukan menanam bibit pohon cokelat sembari menikmati mistisitas musim penghujan, BBM saya berkali-kali menerima pesan berantai yang berisi sebuah link blogspot. Padahal biasanya pesan berantai yang sering saya terima, hanya berisi promosi untuk mengundang pertemanan ABG krisis eksistensi yang gemar mengoleksi teman di kontak BBM. Yang bahkan setelah kita berteman kemudian kita menyapa mereka, maka jangan berharap chat kita akan dibalas. Mungkin ia hanya akan membacanya, kemudian membuat status “sorry ee, ndak balas chat orang tak dikenal. Sedang Nabi cuma dapa suru bacalah, bukan balaslah.

Namun pesan kali ini berbeda. Sebuah link lengkap dengan sepenggal epigram satire, serta judul tulisan yang sarkastik dan provokatif. Nama blog itu adalah Kronik Mongondow (selanjutnya ditulis KM). Dan seperti yang tercantum di biodata admin, blog tersebut dikelola oleh Katamsi Ginano, diperjelas dengan foto sang empu blog tengah berpose di salah satu jembatan di kota Amsterdam, Belanda.

Pesan-pesan berantai itu disiarkan oleh beberapa teman yang berprofesi sebagai wartawan di Bolmong. Semua terlibat dan melibatkan diri dalam karnaval tulis-lapor yang gegap gempita itu. Sehingga menjadi daya tarik tersendiri untuk segera menyingkap gerangan apa yang sebenarnya diributkan di blog Kronik Mongondow? Yang mencuri perhatian rekan-rekan di dunia jurnalistik.

Apakah itu kabar tentang kiamat yang semakin dekat ? Saya membuka link blog tadi dengan tergesa-gesa dan membaca dengan tergesa-gesa pula. Mencari-cari substansi dari tulisan yang ada di layar Android. Sejenak dua jenak ternyata kiamat memang sudah dekat. Tapi bukan untuk saya, pun bagi beberapa kawan yang menyiarkan pesan tersebut.

Sembari bersyukur, saya putuskan untuk melanjutkan membaca di rumah saja. Karena banyak pekerjaan yang kadung dimulai dan harus diselesaikan sore ini. Terlebih ayah terus memanggil dengan bibit pohon cokelat berayun di kedua tangan, “Mari jo somo ba tanam, sadiki le somo ada bulan!’’ Saya khawatir bibit-bibit tadi akan berganti sandal atau batu kerikil, jika saya tak acuh dan terus melanjutkan bacaan. Rapuh jemari mengusap layar Android berganti lengan kokoh menghujamkan linggis. Kabut-kabut penasaran berganti bulir-bulir harapan.

Di rumah, saya kembali membuka link blog KM dan mulai membaca dengan saksama. Saya hendak melacak benang merah konflik yang terjadi, baik melalui media sosial, portal berita online hingga “bergosip” dengan beberapa teman yang ada di kontak BBM.

Sampai akhirnya saya mulai paham persoalan yang sedang hangat itu. Tentu berdasarkan dengan perspektif dan preferensi saya sebagai subjek. Namun setelah membaca beberapa seri tulisan yang diunggah di KM, saya mulai melirik hal lain dari tulisan Katamsi Ginano. Saya tidak lagi tertarik dengan ending dari konflik yang melibatkan dia dan Audy Kerap, Ketua PWI Kota Kotamobagu, setidak-tertariknya saya pada kedondong yang disodorkan tetangga saat saya tengah melahap durian montong. Mau berakhir ironi atau bahagia, itu urusan personal mereka. Dan menurut saya, kita harus berdiri di garis terluar.

Mengapa kita harus berada di garis terluar ? Tentu agar kita bisa merefleksi tulisan Katamsi tentang anomali-anomali yang terjadi di Bumi Totabuan secara objektif dan proporsional. Menguliti bentuk-bentuk ketidak-adilan dan kesemena-menaan yang terjadi, hampir di setiap lapisan sosial kemasyarakatan. Bukan sekadar ikut berkoar demi memuaskan hasrat superior kita: bahwa kita ada di pihak yang benar dan yang berseberangan sudah pasti keliru.

Ketika Katamsi mengkritik seseorang, kita serta merta membenci orang tersebut. Padahal, berkali-kali Katamsi menjelaskan bahwa dia bukan mengkritik personal, namun karena jabatan publik yang tersemat pada orang tersebut. Seperti pengidap neurossis obsesional, kita tertawa bahagia melihat nasib Audy Kerap, yang diserang habis-habisan dan mulai berandai seperti apa dia terpuruk nantinya.

Semakin dia di-bully, semakin puaslah kita ketagihan dengan penderitaan orang lain. Tanpa disadari kita terjebak dalam kebanggaan absurd: puas hanya dengan menikmati bagian paling aksidentil dari sebuah tulisan. Semoga si Bapak Psikoanalisis, Sigmund Freud, mau memaklumi. Maklum semaklum-maklumnya.

Padahal, jika jeli, kita bisa belajar banyak hal dari tulisan-tulisan Katamsi; belajar bersikap kritis, membedah masalah, menganalisa, menulis hingga belajar merdeka sejak dalam pikiran. Peradaban semakin cepat menggelindingkan kita. Maka sudah sewajarnya, kita butuh orang waras di tengah kegilaan kehidupan urban yang kian hari kian pelik. Apalagi jika eksistensi mahasiswa tidak lagi sanggup mengemban tugas sebagai agent of change dan social of control. Dan kritik Katamsi bukan sekadar doktrin terima jadi. Karena ia selalu menyertakan solusi yang berbeda-beda di setiap persoalan yang ia angkat.

Saya tertarik dengan konstruksi berpikir dan kemampuan agitasi dari pemilik blog KM. Logikanya yang sistematis, argumentasi yang kuat dan ditopang oleh wawasan yang luas. Seperti yang selalu didengungkan Subcomandante Marcos dari pedalaman hutan Chiapas, Meksiko: kata adalah senjata. Maka blog KM sebenarnya adalah sebuah wadah kognisi bagi kita yang gelisah dengan fenomena penindasan atas nama perubahan. Mari melawan dengan kata-kata.

Jika kita menyimak dengan mengajak serta nalar kritis kita untuk mendedah, maka dalam tulisan Berita ''Picek'', Ditulis Si Tuli, Mengutip Sumber Bisu dan Linglung, bermaksud menjelaskan bahwa analisa tajam dan komprehensif diperlukan dalam menerjemahkan sebuah peristiwa. Sehingga konklusi tidak bias dari inti persoalan sebenarnya.

Tulisan Daganglah Kacang, Jangan Menulis, Apalagi Bikin Situs Berita dan Kursus Singkat Pencemaran Nama Baik untuk Ketua PWI KK, mengajarkan kita tentang bagaimana melakukan counter isu, menghegemoni pembaca dengan pesan-pesan konstruktif dan yang paling penting, ia melakukannya dengan gaya. Pun dengan tulisan-tulisan lainnya yang jelas mencerminkan bahwa ia memiliki perspektif berbeda dengan kebanyakan orang. Ia menggunakan gaya berfikir Janusian disertai logika-logika terbalik.

Kemampuan itu, yang pasti membuat kita memeras otak hingga tetes terakhir jika berada di sisi yang berseberangan dengan dia (Katamsi). Apalagi jika ia menjadi lawan tarung dalam berdebat. Saya sempat membayangkan jika kita berada dalam satu ruangan dengan Katamsi, kemudian seseorang mengajukan pertanyaan: “Kawan-kawan, 2 itu hasil dari mana?” Maka kita akan kompak dan gampangnya menjawab, “Dari hasil 1 + 1.” Sedangkan Katamsi, dengan santainya berseloroh: “100 - 98, 4 : 2, atau 2 x 1.

Kita tentu bersepakat bahwa setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru. Maka blog KM dan Katamsi adalah bagian yang tak lepas dari peribahasa di atas. Banyak pengetahuan baru yang bisa diserap dari kritikan serta opini yang ia tuliskan. Dan sudah barang tentu, pencapaian tertinggi dari ilmu pengetahuan adalah ketika memberi nilai manfaat bagi orang lain.

Maka mari terus membaca sembari mendengarkan lagu Hey Jude dari The Beatles!***

Wednesday, October 16, 2013

Tausyiah ‘’Jurnalisme Bid'ah’’


Jurnalisme, jurnalistik, dan jurnalis bergulir menjadi diskusi yang belum usai di beberapa kalangan, khususnya pewarta di BMR, sejak blog mengedepankan isu Radar Bolmong dan induknya, Grup MP. Penulis tamu, Chendry Mokoginta, yang sebelumnya sudah turut memeriahkan lalu lintas ide terkait isu itu, kembali menulis untuk pembaca.

Oleh Chendry Mokoginta

DI PENGUJUNG 2012 lalu, saya pernah menghadiri sebuah kajian yang membahas tentang perkara syariat yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW oleh guru kami (sebutan afdolnya adalah Ustadz dan ‘’kami’’ karena yang hadir di majelis kala itu tidak saya sendiri), Abu Qotadah. Di hadapan majelis Ustadz membawa muqadimah dengan menyebutkan sebuah hadist yang dalam bahasa Indonesia kurang lebih seperti ini: ‘’Setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan (alamatnya) di neraka.’’

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan menulis: ‘’Bid'ah  menurut bahasa diambil dari kata bida’, yakni mengadakan sesuatu tanpa ada contoh.’’ Saya sendiri cenderung mengartikan kata bid'ah sebagai modifikasi  syariat, jauh meninggalkan standar yang dijabarkan dalam tuntunan kitab suci serta panduan turunannya (hadist serta ijma ulama).

Penjelasan singkat perihal bid'ah saya sudahi saja. Terlalu sensitif rasanya saya mengusik perkara syariat meski dengan modal referensi kuat. Toh, kebanyakan orang juga tahu saya bukanlah seorang ustadz yang sering nongol di televisi dan biasanya menjadi idola pemirsa.

Halnya pengutipan firman sebagaimana BC yang beredar yang disebut-sebut hasil ketikan Korlip MP, Idham Malewa, bukanlah masalah serius. Ini justru cara bijak memberi peringatan kepada saudara sendiri yang berlaku salah, entah akibat lupa atau kesengajaan. Cara ini pasti diimpikan teraplikasi dalam bentuk yang lebih kompleks. BC Idham inilah yang kemudian menjadi inspirasi Bang Tamsi melahirkan tulisannya (yang tak pernah melepas ciri khasnya:  kritis, mudah dipahami dan kental dengan loleke. Saya menyebutnya sebagai ahli loleke) dengan judul Grup MP: Begitu Induk, Demikian Anak (1) dan (2)).

Damai rasanya jika dalam tiap dialog ada kata-kata mulia yang didengungkan. Tidak dengan meneriakkan kata-kata kasar, rasis, tidak etis, merusak tatanan, serta berpotensi mengantar pengucapnya ke penjara. Saya membayangkan jika ada pemimpin memberi teguran kepada anak buahnya dengan cara yang halus namun tetap diperhatikan. Contoh kasus: disaat seorang pewarta sedang  kesulitan menyetor biaya advertorial yang belum terbayar lantas diberi teguran dengan mengutip semisal firman berikut: ‘’Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba'.’’

Tanpa penjelasan terperinci lagi, saya sudah memahami jika tak perlu mencari rentenir untuk menutupi setoran advertorial yang belum dibayarkan pengorder. Bukankah Pemberi pinjaman dan peminjam sama-sama terkena peringatan tersebut: riba'.

Bentuk komunikasi semacam itu yang perlahan hilang dan jauh. Tekanan pekerjaan merubah situasi menjadi ekstreem dan mengabaikan nilai-nilai luhur yang sebenarnya efektif diterapkan. Contoh lainnya, saat mendelegasikan seseorang untuk memimpin divisi tertentu di sebuah perusahan lantas menuruti  kalimat berikut: ‘’Setiap perkara yang diserahkan kepada yang bukan ahlinya hasilnya adalah kehancuran.’’

Halnya agama yang memiliki tuntunan, maka jurnalis punya kitab sucinya sendiri (Ahmad Alheid telah menyentilnya lebih dulu):  UU No 40/1999 Tentang Pers dan KEJ sebagai sandaran syariat. Lebih dari itu, ada pula aturan khusus perusahan penerbitan yang mengikat pewartanya. Kita katakan saja aturan ini sebagai ‘’ijma'’’. Selama jurnalis menjadikan tuntunan tersebut sebagai ruh profesinya, inilah ‘’jurnalisme sunnah’’. Lantas yang bid'ah? Tak perlu mengerutkan dahi mencari jawabnya.  Mudah saja, yaitu yang mengangkangi UU Pers dan KEJ. Bentuknya bisa berupa  pemberlakuan sistem kerja yang benar-benar melenceng dari fungsi pers sebagaimana amanat UU tadi.

Aplikasi UU Pers serta KEJ, sudah dipapar panjang kali lebar oleh pemilik blog ini, Bang Tamsi. Pun (dugaan) adanya perusahan yang menabrak aturan tersebut atau memang bid'ah menjalankan syariat pers, telah  diumbar "ahlul silat" di tulisan-tulisannya sebelumnya.

Saya kurang percaya diri jika menjabarkan kembali persoalan ini (karena akan terkesan menggurui). Selain tak cukup kompetensi, pengalaman terbatas, saya pun bukan apa-apa di tempat saya bekerja. Banyak yang lebih mumpuni menjawab beragam dinamika yang kian mengemuka ini. Tak hanya di Radar Bolmong atau grup MP. Namun saya menaruh harap, ada cara-cara bijak yang bisa diterapkan nanti. Jika banyak hal yang sudah melenceng dan telah diingatkan agar disesuaikan, maka perubahan penting segera dilaksanakan. Sebagai jurnalis, lirik lagi panduan tadi. Agar terbebas dari predikat ‘’Jurnalisme Bid'ah’’.

Bang Tamsi, sebelum tulisan ini makin nyeleneh mending saya sudahi saja. Banyak berbusa-busa juga tak akan memberi faedah berarti bagi saya di blog ini, kecuali kepada mereka yang memanfaatkan fungsi otak sebagaimana mestinya. Saya juga masih kuatir dengan sikap kritis dan loleke Anda yang bakal balik menyerang ketika saya mulai ngawur menulis.

Sebab, jika setingkat Pemred saja Anda  juluki  sebagai pomponu dan kelas teri. Apalagi sekelas saya sebagai pewarta pemula (masih dalam hukuman non aktif di Radar Bolmong), bakal tak akan lebih terhormat dari gonone.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BC: Broadcast; BMR: Bolaang Mongondow Raya; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; Korlip: Koordinator Liputan; MP: Manado Post; dan UU: Undang-undang.

Thursday, October 10, 2013

Untuk Idham dari Seorang ''Kroni''


Pernyataan Korlip Harian MP, Idham Malewa, yang disebar melalui BBM, terutama berkaitan dengan orang-orang yang bersetuju dan patut diduga menjadi sumber fakta yang saya beber dalam mengkritik dan mengkritisasi Harian Radar Bolmong, mengundang reaksi pihak yang dituju. Untuk itu, saya sajikan ke hadapan Anda, Pembaca, tanggapan dari Ahmad Alheid yang tidak hanya relevan terhadap Idham Malewa, tetapi patut disimak oleh kalangan jurnalis umumnya dan para penikmat media.

Oleh Ahmad Alheid

IDHAM Malewa, Korlip Harian MP, menyematkan sebutan kroni bagi segelintir penikmat Kronik Mongondow dan “Brutus-Brutus” bagi “kalangan dalam” RB –mungkin juga, Grup MP—yang terlibat pada “geger” yang ditiupkan Bang Tamsi. Karena saya termasuk pada daftar penerima BBM dari Idham, barangkali, menjadi bagian yang dia golongkan sebagai kroni Bang Tamsi. Apalagi, saya terlanjur nimbrung lewat sebuah artikel yang dimuat Kronik Mongondow. Terlepas dari benar atau tidaknya asumsi saya, Idham harus dijawab. Siapa tahu, jawaban ini bisa tercipta menjadi obrolan yang mengasyikkan.

Idham, biasanya saya tersinggung berat bila dianggap sebagai kroni seseorang. Apalagi, jika sebutan kroni itu dikaitkan dengan politisi –sementereng apa pun namanya di daerah ini. Lagi pula lidah saya tak terbiasa menjilat pantat penguasa atau mereka yang merasa punya kuasa dan kendali atas hajat hidup orang banyak. Namun, saya sungguh-sungguh berlapang dada digolongkan sebagai kroni Bang Tamsi. Menjadi kroni seorang esais berkelas cukup membuat dada saya agak berkembang.

Saya selalu senang menceritakan tradisi sewaktu di tabloid Kabar dan Totabuan. Menceritakan masa-masa pergaulan dengan para “pendekar kepenulisan” di Bumi Nyiur Melambai sebagai kisah penuh romantisme. Mengamati wajah Endi Biaro --seorang aktivis HMI dan turut berkecimpung sebagai wartawan Kabar— yang berdecak kagum menyimak rubrik “Ufuk” yang berisi esai-esai Bang Tamsi. Motivasi yang dipantik sejak dari Kabar itu, mungkin, yang kemudian mengantarkan Endi dinobatkan sebagai pemilik blog terbaik di Detik.com.

Hari-hari itu, Idham, telah menjebak “para kroni” ini pada militansi mengasah kepenulisan. Keterampilan menulis ditularkan, penggunaan huruf dan tanda baca dipelototi, kepekaan jurnalistik diasah, dan ihwal menelisik data dijejalkan. “Si Penulis Cepat” --meminjam sebutan Hamid Basyaib untuk Bang Tamsi— adalah “penyiksa” utama bagi awak Kabar. Juga, di kemudian hari, bagi Totabuan. Andai Kabar bisa hidup lebih lama, mungkin telah menjadi mercusuar bagi penikmat karya jurnalistik di daerah ini.

Semua eks Kabar –-semisal Endi, Asep Sabar, Raymond Pasla, Begie Ch Gobel, Jamaluddin Lamato, dan kami yang datang belakangan bergabung ketika Kabar tengah dirundung tengkar “para pendekar”— barangkali bisa menirukan mimik dan gesture Bang Tamsi kala naik pitam. Semua kegeramannya adalah tentang data tak lengkap jelang tengat, kekacauan struktur penulisan, nara sumber yang tak terkonfirmasi, dan atau kekeliruan penulisan huruf dan kesalahan tanda baca. Pemeriksaan produk penulisan dilakukan saksama sebelum diantarkan ke percetakan.

Perlakuan serupa diterapkan pada artikel opini yang masuk ke tabloid mingguan ini. Di zaman Bang Tamsi meninggalkan Kabar, saya pernah terkena “dampratan” Pitres Sombowadile karena meloloskan sebuah artikel opini. Karena kesalahan menangkap instruksi, artikel yang semestinya diteruskan ke tong sampah, saya per-“moy” dan memaksakan memuatnya.

Kabar, juga Totabuan, menyiapkan iklim bagi mereka yang bertekad mengasah kemampuan menulis dan reportase. Persentuhan singkat dengan media ini cukup memberi saya wawasan tentang jurnalistik. Secara tidak langsung, Kabar juga memacu semangat media lain agar menaikkan mutu kewartaan dan perwajahan. Karena itulah banyak pembaca setia lembaga berita ini menyayangkan “kematian” tabloid yang hanya berumur sekira tiga tahun ini.

Tetapi, bagi saya, Kabar dan Totabuan tetaplah ingatan yang membanggakan.

Tapi ada hal yang “salah” sebagai hasil belajar dari “para pendekar”. Kita selalu merasa serupa diri yang tak lengkap menekuni profesi sebagai jurnalistik. Kita menetapkan standar terlalu tinggi untuk mendapatkan “pangkat” selaku penulis dan jurnalis. Saya sempat tercerabut dari dunia jurnalistik, memasuki kehidupan LSM atau Ornop, dan kembali mencoba menjalani profesi ini di lain kesempatan.

Di suatu hari, saya mendapat kesempatan mengikuti pelatihan jurnalistik yang digelar Yayasan Lestari, sebuah LSM di Manado yang bergerak pada isu-isu lingkungan. Salah seorang pematerinya adalah Andreas Harsono, pendiri majalah Pantau dan pengintroduksir genre jurnalisme naratif (sastrawi) di Indonesia.

Di sana, Idham, hadir juga wartawan-wartawan --bahkan mungkin kelas redaktur--  dari media Anda. Coba Anda tanyakan kepada yang hadir bagaimana Andreas menyebut koran terbesar di Sulut waktu itu!

Saya cukup beruntung memiliki kesempatan menemani Andreas ke Jalan Roda. Dia menceritakan kisah perjalanannya ke daerah kepulauan. Seorang pastor yang berbincang dengannya di tengah perjalanan menyelipkan pertanyaan, apa agama Andreas. “Agama saya adalah jurnalisme,” jawabnya lugas. Cerita itu kelihatan sederhana. Tetapi, membuat saya mafhum apa arti jurnalisme bagi seseorang seperti Andreas. Saya lebih mengerti ketika menyimak Elemen-Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Sebagai sebuah “agama”, tentu saja, jurnalisme punya “syari’at”-nya sendiri.

Saya yakin, Idham, Anda pernah membaca Elemen-Elemen Jurnalisme. Sehingga semua lembaga berita tak sesuka hatinya menetapkan “pakem” jurnalisme sendiri-sendiri. Bila setiap lembaga berita dan masing-masing jurnalis berhak menentukan standar jurnalisme sesuai keinginannya, apa artinya klaim Pilar Keempat Demokrasi? Dimana forum kritik ditempatkan? Bagaimana keberpihakan terhadap kebenaran dijalankan?

Toleransi terhadap standar yang disesuaikan dengan kemampuan khalayak pembaca adalah dalih yang harus diperiksa kembali. Benar, bahwa standar yang menjadi dasar kritikan Andreas terhadap media mainstream di Indonesia, terlalu ideal untuk diterapkan hari ini. Namun, tidak serta-merta dijadikan alat merasionalisasi penghancuran kaidah-kaidah jurnalisme.

Kami prihatin, Idham, karena masih menyisakan cinta bagi jurnalisme di lubuk hati. Jurnalisme merupakan ruang bagi publik memperoleh informasi yang benar. Itulah sebabnya, jurnalisme memberikan beberapa syarat yang harus dipenuhi lembaga berita dan para jurnalisnya. Jurnalis ibarat hakim saat berhadapan dengan data-data yang terkumpul dan menjahitnya sebagai sebuah karya.

Tanggung jawab yang tidak kecil yang diemban jurnalis dan lembaga tempat dia bekerja menuntut penyajian fakta yang akurat. Di sisi lain, menghindari paparan kepentingan yang mengotori integritas mereka. Dengan demikian, lalu-lintas informasi tidak distortif. Semua itu dapat diwujudkan selama loyalitas terhadap publik dijaga dan disiplin verifikasi dikedepankan. Selama ada semangat mengikuti standar jurnalisme yang benar, Idham, saya yakin lembaga Anda tidak akan tergelincir terlalu jauh pada praktek yang menodai profesi dan lembaga Anda.

Anda tentu paham, Idham. Sebab Anda yang menggeluti jurnalistik saat ini. Saya sekadar mengingat-ingat ihwal pelajaran masa lalu soal jurnalisme dan, sekarang ini, menghadapi produk lembaga berita sebagai konsumen. Saya hanya menyodorkan sebuah ingatan bahwa semua kaidah itu, elemen-elemen yang dipersepsikan bersama oleh para jurnalis profesional, senantiasa membuat saya merasa tak layak jadi jurnalis. Dan saya kerap heran bertemu orang-orang yang dengan mudah mendapuk diri sebagai “jurnalis”. Pembawa berita, sejak jaman dahulu kala, kredibilitasnya tidak boleh memiliki cacat dan cakap merangkum informasi. Bagaimana pembaca tak tersesat jika pembawa pesan nyata tak cakap?

Di sini kita perlu mempertegas batas perbedaan antara lembaga berita, corong kelompok tertentu, dan pamflet. Itu saja, Idham.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlackBerry Messenger; HMI: Himpunan Mahasiswa Islam; Korlip: Koordinator Liputan; LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; MP: Manado Post; Ornop: Organisasi Non Profit; dan RB: Radar Bolmong.

Wednesday, October 9, 2013

Cuma Gertak dan Pepesan Kosong?


Pemred, kebijakan, dan praktek jurnalistik Radar Bolmong tetap menjadi isu yang mengundang perhatian khalayak. Tanggapan pun terus berdatangan. Demi kesetaraan dan kesamaan kesempatan, setelah Ahmad Alheid (Kritik Semestinya dan Respons Emosianal), kali ini dihaturkan tulisan dari Wartawan Radar Bolmong, Chendry  Mokoginta.

Oleh Chendry Mokoginta

CUCUNDA Ginano (sebenar-benarnya bukan Gilano, kami warga Mongondow begitu menghormati para leluhur), Katamsi Ginano, belum juga berkesudahan menyebar banyak informasi yang dia kantongi tentang kondisi di Radar Bolmong. Entah sebagai duga-duga, fitnah ataukah fakta (sejauh ini, khususnya saya yang belum cukup dua bulan dinonaktifkan sebagai wartawan Radar Bolmong, masih merasa wajib melindungi "merah-putih" di dapur sendiri), sudah cukup menampar kami, wartawan di media ini.

Hampir sepekan tulisan yang menguliti sistem manajemen, keredaksian serta gobloknya penulisan dalam berita yang memicu protes berkelas Anda, tak juga disahuti pihak yang sebenarnya lebih berkompeten dari saya. Badan sudah sakit, tapi kepala masih pura-pura berfikir terus sehat.

Dalam peperangan ini (mohon maaf: jika akibat tulisan ini lantas Pemred Budi Siswanto memecat saya sebagai wartawan Radar Bolmong, entah karena alasan melangkahi apa yang menjadi porsinya, maka sesegera istri saya akan menyiapkan makanan sekedarnya dan mengundang jiow membacakan doa keselamatan untuk kami sekeluarga), tahapan yang dialami pasukan kami sudah begitu menyiksa. Peluru yang ditembakan Katamsi Ginano banyak mengena ke bagian-bagian vital tubuh. Masi ada pula (saya yakini) mortir aktif  siap ledak yang dia simpan, meski ancamannya tak sedahsyat dibanding bom nuklir "Little Boy" yang menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, dan menewaskan 220.000 jiwa pada PD II, 1945.

Bang Tamsi (Saya terus menaruh rasa hormat kepada Anda dan memilih tak menuliskan marga demi memperkecil peluang amarah akibat kesalahan tulis ataupun kesengajaan), perlu Anda sadari, marah terhadap Pemred Radar Bolmong, Budi Siswanto, sudah meluber jauh. Kobaran api yang Anda ciptakan seakan tak terbendung dan baru padam jika alam mengirimkan tsunaminya.

Anda boleh menyebut Budi Siswanto (dalam kapasitas mahluk ini sebagai pribadi atau ‘’komandan satuan’’ Radar Bolmong) sebagai pomponu atau kelas teri. Entah itu akibat dugaan penghinaannya terhadap nama besar kakek buyut Anda atau akibat kelalaiannya meloloskan berita yang ditulis tangan-tangan yang belum mahir memencet keyboard laptop atau handphone, sebagaimana yang melatarbelakangi tulisan pertama Anda, ‘’Storit’’, ‘’Storis’’, dan Sebagainya, tapi jangan menggeneralisir seakan tukang sosapu lante di kantor Radar Bolmong pun menjadi wajib Anda mutilasi.

Soal lain, pelibatan Bambang Hermawan (kemungkinan terbesar karena faktor biologis: adik kandung Budi Siswanto, atau juga satu rumpun di Grup MP), yang ikutan memelesetkan nama kakek buyut Anda (saya enggan menulis persisnya), selesaikanlah dengan cara yang menurut Anda apik. Setiap huruf yang Anda tulis di blog ini, entah mengandung kritik serta embel-embel mengundang tawa, saya teliti dengan serius. Anda kerap mengumbar gertak yang bikin mual. Seberapa berani Anda mempertahankan harga diri kakek buyut Anda yang sudah dicoreng, sejauh ini masih pepesan kosong belaka.

Budi Siswanto, Pemred saya, lewat tulisan ini saya juga ingin menyampaikan secuil kritik kepada Anda. Akan lebih elok sebenarnya bila saya sampaikan secara langsung di rapat atau melalui SMS, namun karena tabiat buruk Anda sudah terlanjur diumbar ke publik, maka kritik ini menjadi terbuka untuk umum. "Menyesuailah dengan lingkungan di mana Anda berada. Kita menginjak tanah yang sama yang masih menjunjung tinggi O'adatan bo O'aheran. Biasakan lidah Anda menggunakan kosakata yang tak membuat perasaan orang lain terluka." Saya menunggu SMS atau telepon pemecatan jika bagi Anda apa yang saya tulis ini adalah perbuatan makar. Saya masih akan banyak menulis tergantung dari apa yang akan dialami kemudian.

Kembali ke Bang Tamsi, mungkin lidah Budi Siswanto sukar mengucap kata maaf atas kekeliruan yang terlanjur terjadi. Saya sendiri bukanlah pihak yang diberi kuasa mengatas-namakan diri orang lain atau institusi tertentu untuk bermohon pemaafan dari Anda.

Selama Anda menganggap persoalan dengan Budi adalah kekeliriuan pribadi dan tidak melembaga, maka Anda berhak mengadilinya sesuai selera Anda. Tapi jika semut yang ditakdirkan berada di Radar Bolmong pun anda salahkan (gertak dan ancam), kemungkinan terburuk apapun bisa terjadi. Anda mungkin lihai ba silat deng ba salto, tapi Saya masih cukup mahir bermain belati.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Pemred: Pemimpin Redaksi; PD: Perang Dunia; dan SMS: Short Message.