Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet
Showing posts with label Artikel Pilwako. Show all posts
Showing posts with label Artikel Pilwako. Show all posts

Sunday, July 14, 2013

Dukungan Harakiri untuk Pecundang


LELAH masih merumbung sekujur badan karena penerbangan panjang non stop, Sabtu malam (13 Juli 2013), tatkala saya menyimak Risalah Sidang Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kotamobagu 2013 yang berlangsung Kamis (11 Juli 2013) di Mahkamah Konstitusi (MK). Beberapa bagian risalah perkara Nomor 88/PHPU.D.XI/2013 yang diajukan Djelantik Mokodompit-Rustam Simbala (DjM-RS) dan Nomor 89/PHPU.D.XI/2013 dari Nurdin Makalalag-Sahat Robert Siagian (SRS) tak urung membuat saya terbahak-bahak.

Orang Mongondow adalah etnis yang menyukai sikap main-main, keceriaan, dan tawa. Baku terek dan loleke, sepanjang tak kelewat batas (bahkan lewat-lewat sedikit pun sebenarnya tak mengapa) dianggap sekadar penyedap pergaulan sosial. Hebatnya, loleke in intau Mongondow termasuk yang ditujukan pada diri sendiri. Entah untuk menertawai ketololan sendiri, mengakui kekalahan, atau demi tindakan preventif sebelum aib sendiri dikuak oleh orang lain.

Membesar-besarkan diri, mengaku-ngaku paling ganteng, pintar, kaya, juga bagian dari loleke terhadap diri sendiri. Dan itulah yang saya baca dari pernyataan Kuasa Hukum DjM-RS, Dorel Almir, yang dengan percaya diri mengatakan, seandainya tidak ada kecurangan di Pemilihan Walikota-Wakil Walikota (Pilwako) Kota Kotamobagu (KK), Senin (24 Juni 2013) lalu, maka pemenangnya adalah DjM-RS. Keyakinan ini, menurut Kuasa Hukum DjM-RS, karena DjM adalah kandidat dengan prestasi luar biasa selama dia menduduki kursi Walikota KK 2008-2013.

Prestasi DjM, kata Kuasa Hukum, setidaknya ada enam. Masing-masing, terpilihnya Kota Kotamobagu (KK) sebagai Juara Umum Festival Bunaken dan mewakili Sulut ke ajang nasional 2009; mendapat penghargaan Satya Lencana Karya Satya dari BKKBN 2010 dan 2011; penghargaan Manggala Karya; terpilih sebagai daerah otonomi baru terbaik di antara 54 kabupaten (catatan saya: seharusnya ditambahi ‘’kota’’) se-Indonesia; penghargaan dari Menteri Hukum dan HAM atas keberhasilan dalam pembinaan keluarga sadar hukum; dan memperoleh Adipura sebagai Kota Kecil Terbersih di Indonesia 2012 dan 2013.

Adapun pelanggaran terstruktur, sistematis, dan massif di Pilwako KK yang dilakukan pasangan pemenang, Tatong Bara-Jainudin Damopolii (TB-JD), antaranya praktik politik uang dengan modus baru. Bentuknya dengan membeli kartu undangan atau formulir model C-6 dari calon pemilih untuk dimusnahkan; atau melarang pemilih datang ke TPS dengan pemberian sejumlah uang, lalu kartu undangan yang bersangkutan diambil dan tidak dipergunakan. Akibat tindakan curang ini, menurut Kuasa Hukum DjM-RS, terdapat kurang-lebih 14.853 pemilih Pilwako KK yang tidak menggunakan hak pilihnya.

Dalam menjalankan modusnya, Tim Pemenangan TB-JD melakukan pertemuan-pertemuan; kemudian mendatangi tempat tinggal warga, di jalan-jalan, dan di TPS, menawarkan membeli kartu undangan pemilih dengan harga bervariasi, berkisar antara Rp 300 ribu hingga Rp 1 juta per surat undangan. Sasaran utama ‘’operasi’’ ini adalah para pendukung DjM-RS. Alhasil, simpul Dorel Almir, apa yang dilakukan Tim Pemenangan TB-JD itu mempengaruhi hasil perolehan suara, khususnya suara DjM-RS.

Luar biasa logika yang diajukan Kuasa Hukum dan DjM-RS, terlebih gugatan mereka juga menyinggung kecurangan lain, termasuk pengerahan pegawai negeri sipil (PNS) oleh pasangan pemenang. Usai menyimak risalah sidang, saya bertepuk tangan.

Hanya, menurut hemat saya yang awam hukum, ada beberapa hal yang mengganjal dan jadi pertanyaan. Pertama, tidakkah prestasi DjM yang dikemukakan Kuasa Hukum terlampau sedikit? Semestinya dimasukkan pula prestasi lain, semisal kasus penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) 2009 yang menyeret beberapa pejabat teras KK ke bui; pembongkaran Mesjid Raya Baitul Makmur (MRBM) yang kini sudah pula terserempet kasus hukum; atau relokasi Pasar Serasi dan 23 Maret ke Poyowa Kecil dan Genggulang yang tak ketahuan nasibnya.

Harus ditambahkan pula prestasi pribadi DjM yang sudah ber-haji, umroh menjelang Pilwako berlangsung, pandai berkhotbah, dan olah suara di acara apapun di KK. Dengan demikian tidak ada alasan lain bagi warga KK, mereka mutlak harus memilih DjM sebagai Walikota 2013-2018. Sebab apa lagi yang kurang dari sosoknya?

Kedua, gugatan DjM-RS (juga NM-SRS) hanya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) KK, tidak ke Panitia Pengawas Pemilu (Panwas), rakyat KK, bahkan Tuhan Yang Maha Esa? Kalau sedemikian banyaknya pelanggaran Pilwako yang terjadi, lalu Panwas tutup mata dan –sepengetahuan saya—hanya mengantongi satu laporan pelanggaran (itu pun tanpa bukti memadai), tidakkah institusi ini juga wajib digugat? Sama halnya, rakyat KK yang tidak tahu terima kasih sebab menutup mata terhadap prestasi luar biasa DjM sebagai Walikota 2008-2013, pantas pula diajukan ke hadapan mahkamah. Tega-teganya mereka makan sorok dan mengabaikan Walikota yang Rahmatan Lil Alamin ini hanya karena uang Rp 300 ribu hingga Rp 1 juta?

Dan tak kurang penting, mengapa Tuhan Yang Maha Esa menutup mata dan tidak turut campur, mengingat DjM adalah pemimpin sekaligus umat teladan-Nya?

Ketiga, apakah dengan mengajukan daftar kecurangan terstruktur, sistematis, dan massif oleh pasangan pemenang Pilwako KK ke MK, DJM-RS (pula NM-SRS) tentu berkeyakinan mereka tidak melakukan satu pun tindakan yang digugat itu? Bila demikian adanya, terkutuklah seluruh kita, terutama warga KK, yang mengabaikan fakta bahwa DjM bukan hanya berprestasi luar biasa sebagai Walikota 2008-2013 dan pribadi. Dia juga patut diusulkan sebagai Pahlawan Demokrasi di Mongondow.

Sekali lagi saya bertepuk tangan. Tampaknya masuk akal bila gugatan Pilwako KK mesti didukung agar MK menjatuhkan putusan Pilwako diulang dengan tetap diikuti empat pasang kandidat yang sudah berlaga. Saya –dan mungkin kebanyakan warga KK— tentu perlu memuaskan rasa penasaran seperti apa hasilnya nanti?

Sepengetahuan saya, menggungat hasil Pilwako dan memenangkan Pilwako adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Pilwako Kota Manado yang akhirnya menetapkan pasangan GS Vicky Lumentut-Harley AB Mangindaan dilaksanakan dua kali karena kandidat yang kalah menggugat dan MK memutuskan pemilihan mesti diulang. Hasilnya, Lumentut-Mangindaan tetap terpilih, bahkan dengan perolehan suara yang lebih tinggi dibanding sebelumnya.

Kalau DjM-RS dan NM-SRS ingin menguji pilihan politik warga KK, mari kita beri mereka kesempatan. Di sisi lain, warga juga akhirnya berkesempatan menakar seberapa tidak masuk akalnya ambisi politik DjM sekaligus kekuatan kantongnya membiayai aneka pengeluaran yang bakal disedot Pilwako babak kedua. Siapa tahu masih ada duit-duit siluman yang terselip dan siap dikucurkan.

Di pelosok dunia mana pun, pemenang selalu mengundang otot-otot kuat, terutama finansial dan pengaruh, merapat dan memberikan dukungan. Di Pilwako KK kita sudah tahu siapa pemenang dan pecundang, Hanya mereka yang ketololannya minta ampun yang bersedia harakiri bersama pecundang.***

Sunday, June 30, 2013

‘’ Simimpatoi Sin Pompulong’’


PLENO Komisi Pemilihan Umum Kota Kotamobagu (KU KK menetapkan pasangan Tatong Bara-Jainudin Damopolii (TB-JD) sebagai kandidat terpilih Walikota-Wakil Walikota (Wawali) 2013-2018. Melihat proses dan perolehan suara kemenangan pasangan ini, saya kira tak ada lagi yang perlu diperdebatkan dan permasalahkan.

Konklusi pemilihan Wawalikota-Wawali (Pilwako) KK mestinya tidak mengejutkan. 37.677 suara atau 52,81 persen dari total 71.350 suara yang diraih TB-JD hanya menegaskan penilaian warga terhadap buruknya kinerja dan kepemimpinan Walikota 2008-2013, Djelantik Mokodompit (DjM), yang berpasangan dengan Rustam Simbala (RS) dan hanya meraih  27.768 suara (38,92) persen. Dua pasang kandidat lain, Muhammad Salim Landjar-Ishak Sugeha (MSL-IRS) dan Nurdin Makalalag-Sahat Robert Siagian (SRS) masing-masing 5.055 suara (7,08 persen) dan  850 suara (1,19).

Dengan segala kelemahannya, pemilihan Walikota-Wawali (Pilwako) KK berjalan sebagaimana perhelatan politik yang kita kenal di Indonesia. Termasuk cukup tingginya jumlah warga yang tidak menggunakan hak pilih. Anggota KPU KK, Amir Halatan, sebagaimana dikutip Beritamanado.com (http://beritamanado.com/berita-utama/golput-pilwako-kotamobagu-capai-15-ribuan/190744/), Rabu (26 Juni 2013), memperkirakan angka ‘’golongan putih’’ (Golut) itu mencapai kisaran 15 ribu pemilih.

Masyarakat KK yang dari berbagai aspek relatif ‘’lebih’’ dibanding seluruh wilayah Mongondow lainnya, membuat kalangan menengahnya (dari aspek ekonomi, sosial, dan pendidikan) cukup independen. Mereka inilah, dengan berbagai alasan, yang paling potensial menjadi Golput, termasuk karena meyakini tidak ada satu pun dari empat pasang kandidat peserta yang memenuhi kriteria minimal.

Di luar minoritas warga yang tidak memilih (sekali pun demikian angkanya cukup signifikan karena mengalahkan perolehan suara dua pasang kandidat dengan perolehan suara terbawah), mayoritas pendudukan KK sudah menetapkan siapa yang mereka dukung memimpin kota ini lima tahun ke depan. Kita lihat nanti apakah TB-JD mampu memenuhi harapan yang dilimpahkan di pundak mereka; atau keduanya pada akhirnya tak bisa mengelak dari business as usual sebagaimana yang dipraktekkan pendahulunya.

Sedini mungkin TB-JD harus diingatkan agar tak mengulang laku busuk yang dibenci orang banyak. Peringatan dini ini tak mengada-ada. Dalam sepekan terakhir saya melihat dengan cepat bibit-bibit lupa diri disemai utamanya oleh para pendukung dan penyokong mereka, setidaknya yang terlihat dari gelaran pesta dan suka ria yang tak jua berkesudahan.

Menang Pilwako baru langkah awal. Yang lebih berat adalah menunjukkan mereka pantas dipilih bukan karena masyarakat capek dan muak terhadap pemimpin terdahulu, patahana yang telah ditolak meneruskan jabatannya. Jangan sampai lima tahun mendatang TB-JD hanya mampu terhenyak (seperti yang dialami DjM) mendengar The Carnival is Over dari The Seeker (1968) dilantunkan mayoritas warga yang kini memilih mendukung mereka.

TB-JD boleh berkaca dari pahit dan dinginnya selamat jalan terhadap pemimpin yang dianggap gagal. Di hari KPU KK menetapkan hasil Pilwako, Jumat (28 Juni 2013), dengan daya yang dihimpun susah payah, segelintir pendukung DjM berupaya menunjukkan masih ada warga yang mencintai dia. Orang-orang yang dihimpun itu sedianya digerakkan menggelar unjuk rasa bersamaan dengan dilaksanakannya pleno KPU.

Melihat modusnya, mudah diduga siapa-siapa yang menjadi inisiator dan penggerak rencana unjuk rasa yang hanya bisa mengumpulkan puluhan mama’-mama’ itu. Memprihatinkan betul. Sebagai aktivis, juga politikus, yang selama hampir lima tahun mendapat berkah dan privilege dari DjM, mereka cuma punya kekuatan yang dengan mudah disaingi penghuni seperempat ruas Jalan Amal? Itu pun barisan mama’-mama’? Yang benar saja?

Harusnya Ketua KPU, Nayodo Kurniawan, tak perlu berbudi baik (atau justru kegenitan) menyelamatkan muka segelintir oknum tukang jilat yang jadi penggerak dengan menemui perkumpulan pompulong itu di kediaman pribadi DjM. Biarkan saja mereka simimpatoi sesukanya, toh ada aparat keamanan yang menindak setiap gangguan terhadap seluruh rangkaian Pilwako.

Menyaksikan unjuk rasa yang maksud dan tujuannya tak jelas, sekadar upaya ‘’biar nafas kurang satu-satu torang masih eksis’’, pasti cukup menghibur. Mungkin pula menambah pengetahuan dan pembelajaran terhadap orang banyak agar besok-besok waspada tidak mempermalukan diri sendiri.

Saya tak habis pikir, alih-alih bersama menjaga harkat dan martabat, para pendukung DjM (dan mungkin DjM sendiri), tak henti menciptakan kerusakan baru. Dengan masih bersiasat kiri-kanan, mencari-cari celah menganggu seluruh rangkaian Pilwako, mereka tak beda dengan terus menguras tabungan sosial dan politik yang mestinya disimpan demi kepentingan lain di masa mendatang. Mereka malah menempatkan posisi di sorotan seluruh warga Mongondow untuk dengan serius mempertimbangkan dukungan terhadap orang-orang di sekitar DjM di pemilihan umum (Pemilu) 2014 nanti.

Mengakui kekalahan memang menyakitkan, terlebih bagi yang mengidap delusi superior. Tapi perolehan TB-JD yang mencapai 52,81 persen suara pemilih sah Pilwako KK, dibanding 38,92 persen yang diraih DjM-Rs, terlalu absah untuk dikutak-katik lagi. Sekali pun saksi-saksi DjM-RS, MSL-IRS, dan NM-SRS tidak bersedia membubuhkan tanda-tangan di dokumen hasil pleno KPU. Ini sama artinya dengan mengingkari kesaksian dari pendukung-pendukung mereka yang menjadi saksi di tingkat tempat pemungutan suara (TSP) dan Panitia Pemilihan Kecematan (PPK).

Beralasan bahwa banyak kejanggalan yang terjadi selama Pilwako berlangsung, utamanya dari pasangan DjM-RS, tidak menggelikan lagi. Kilahan ini lama-lama memicu jengkel. Bukan karena itu alasan bodoh, tetapi tersebab yang beralasan sungguh tak tahu diri.

Tepatlah bila mereka yang keberatan dengan hasil Pilwako secepat-cepatnya melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana yang berulang kali dianjurkan oleh Ketua KPU KK. Dengan begitu warga kota juga tak perlu bertanya-tanya dan berspekulasi siapa saja pompulong yang simimpatoi karena ambisinya gagal diwujud.*** 

Friday, June 28, 2013

‘’Kinoitakan In Bantong Bo Kinoumpagan In Nunuk’’



GEGAR pemilihan Walikota-Wakil Walikota (Pilwako) Kota Kotamobagu (KK), Senin (24 Juni 2013), tak jua surut. Dari kejauhan dengan takjub saya menikmati ekspresi keceriaan dan syukur—utamanya—para pendukung kandidat yang dipastikan unggul, sembari bersimpati dan berempati terhadap para penyokong calon yang tersungkur.

Orang Mongondow, warga KK, memang ‘’tukang baterek’’ dengan cara yang harus diakui menunjukkan ketinggian selera humor dan ‘’nimau’ tahu’’-nya etnis ini. Lihat saja bagaimana di seantero kota pendukung Tatong Bara-Jainudin Damopolii (TB-JD), sejak Selasa (25 Juni 2013) hingga tulisan ini dibuat (Jumat menjelang subuh, 28 Juni 2013), menggelar syukur dengan membantai sapi, menggelar aneka hidangan, dan mempersilahkan siapa saja bergabung.

Bukan makan-makannya yang lucu, melainkan kain rentang yang dipajang mengiringi pesta-pora itu serta plesetan (termasuk dalam bentuk foto) dan aneka komentar yang lalu-lalang. Harus diakui dua frame foto Tatong Bara dan Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, yang duduk dalam ekspresi tertawa lebar dan diimbuhi komentar, yang bersiliweran dikirimkan lewat BlackBerry Messenger (BBM), efektif mengguncang urat tawa.

Sama kocaknya dengan poster DjM-RS yang tagline-nya kemudian dimodifikasi menjadi ‘’Landjutkan Sampai ke Lolan.’’ Atau foto DjM sedang terpakur dengan Sehan Lanjar di sisi kiri yang memandang dalam posisi tubuh rendah dan kepala mendongak setengah memutar. Keterangan yang menyertai gambar ini ditulisi, ‘’nTik, kita so bilang jang malawang, eh ngana nyanda ba dengar. Kalah toh….’’

Sempat terlintas di benak pikiran bahwa loleke yang bersiliweran itu mulai melampaui batas. Namun, di sisi lain, dengan melihat rekam jejak pemerintahan Djelantik Mokodompit hampir lima tahun terakhir, perilaku orang-orang dekat dan penyokongnya, saya dapat memahami mengapa mayoritas warga KK bersuka ria menyambut kekalahan sang patahana.

‘’So talalu’’ adalah komentar yang tak berlebihan untuk menggambarkan bagaimana mayoritas warga KK menilai kelakuan Walikota dan antek-anteknya. Yang dikategorikan antek-antek ini bukan hanya mereka yang terhubung karena faktor politik (berada di partai yang sama), kedekatan pribadi, tapi juga pegawai negeri sipil (PNS), bahkan wartawan, yang diuntungkan oleh kekuasaan yang ada di tangan DjM.

Mereka yang pantas disebut antek-antek itulah yang pertama-tama pula tiarap, tanpa malu-malu mencari-cari celah bergabung atau mengaku-ngaku pendukung kandidat terpilih, atau berkilah pemihakannya selama rentang pemerintahan DjM hingga Pilwako sebagai loyalitas atau ketakberdayaan.

Salah satu yang sangat menggelikan adalah bersegeranya sejumlah wartawan menyambangi Tatong Bara di kediamannya, seolah-olah mereka adalah insan pers yang netral dan profesional. Padahal kita semua tahu, selama kampanye Pilwako mereka bukan hanya diam-diam memihak DjM-RS, tetapi bahkan dengan vulgar menghadiri kampanye-kampanye lengkap dengan uniform khas pasangan ini. Untuk gerombolan ini, komentar saya pendek saja: Oi, so nintau malo dang?

Antek atau pendukung yang kategori die hard, mereka yang tampaknya setiap hari memamah ular dan bisa, lumayan loyal tetapi bodoh dan gelap mata. Informasi terkini yang saya terima, mereka tengah merencanakan unjuk rasa merongrong Pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) KK dan akan digiring menjadi chaos. Saya yakin polisi bakal bersikap tegas menghadapi gangguan seperti itu. Kalau tidak, orang banyak yang gantian menggambil tindakan; dan saya pribadi sangat ingin berkontribusi menempeleng oknum-oknum najis itu.

Namun, di antara kegalauan akibat kekalahan patahana, saya mencermati yang paling merana dan was-was adalah PNS yang selama ini secara terbuka menyatakan atau menunjukkan pemihakannya terhadap pasangan DjM-RS. Tak hanya PNS KK, tetapi juga di Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk dan Boltim yang tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) KK. PNS Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) dan Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) boleh berlega hati karena Bupati Herson Mayulu resminya adalah pendukung DjM-RS, sedangkan Bupati Bolmut, Depri Pontoh, dapat dikategorikan bersikap netral saat Pilwako KK berlangsung.

Tidur tak nyenyak dan makan tak enak di kalangan PNS itu, terutama di Bolmong Induk dan Boltim, kian merongrong karena tiupan rumor beberapa hari terakhir yang menyatakan bakal terjadi tsunami pencopotan, mutasi, dan non-job. ‘’Katanya’’ Bupati Salihi Mokodongan tak mentolerir PNS-nya yang warga KK yang mendukung kandidat selain TB-JD; demikian pula dengan Bupati Boltim terhadap PNS warga KK yang tak menyokong pasangan Muhamad Salim Lanjar-Ishak Raden Suhega (MSL-IRS).

Saya tak percaya dengan ‘’fitnah’’ terhadap Bupati Bolmong Induk dan Bupati Boltim itu. Bisik-bisik dan spekulasi seperti itu adalah cara-cara oknum bejad mengail di air keruh.

Tetapi saya menyakini bahwa banyak PNS KK yang memang harus dihukum dengan tega oleh Walikota-Wakil Walikota (Wawali) 2013-2018 terpilih, dengan sejumlah alasan sahih. Telah menjadi rahasia umum, banyak PNS yang duduk di posisi-posisi birokrasi penting diangkat oleh Walikota Djelantik Mokodompit bukan berdasar profesionalisme, kompetensi, dan kapabilitas. Sudah demikian, mereka –tak beda dengan patronnya—berlaku semena-mena, seolah-olah KK adalah budel nenek moyangnya seorang dan warga kota ini cuma gerombolan lalat dan nyamuk.

PNS KK yang secara terbuka (dan ikut serta) memihak Djelantik Mokodompit selama proses pencalonan, kampanye, dan puncak Pilwako, semestinya dapat ditolerir. Setiap warga negara berhak memlilih mendukung siapa atau apa yang dia sukai. Namun tidak untuk perlakuan terencana dan berkelanjutan yang memang ditujukan mengkerdilkan seseorang, dalam hal ini Tatong Bara, terutama dalam posisinya sebagai Wawali KK 2008-2013. Posisi mereka, menukil komentar seorang kerabat, ‘’Aindon no’i tongkob bo kinoitakan padoman in bantong bo kinoumpagan magi’ in pangkoi in nunuk.’’

Balas dendam bukanlah tindakan yang saya sukai. Sebagai kandidat yang dipastikan menduduki jabatan Walikota KK 2013-2018, Tatong Bara juga sudah menyatakan dia memaafkan semua yang telah bersikap, berlaku, dan memperlakukan dia tak semestinya (sekaligus menegaskan bahwa memaafkan bukan berarti melupakan). Sayangnya, saya tidak sependapat dengan pemaafan seperti itu. Setiap bangsat yang ada di balik kasur harus disingkirkan. Bila tidak, di saat kita terlelap mereka pasti tanpa ampun berebutan mengisap setiap tetes darah yang mungkin dihirup.

Daftar kutu busuk, kecoak, dan tikus di birokrasi Pemerintah Kota (Pemkot) KK itu lengkap di tangan saya. Dengan penuh hormat saya akan menyerahkan pada Walikota-Wawali terpilih disertai pengantar pendek: ‘’But of course, decision is yours.‘’***

Monday, June 24, 2013

‘’Pulitik Memang Kras, Uyo”


HANYA satu-dua jam setelah hasil Pemilihan Walikota-Wakil Walikota (Pilwako) Kota Kotamobagu (KK) mengindikasikan kandidat mana yang menjadi pemenang, pesta demokrasi ini sudah mencapai kulminasi. Senin malam (24 Juni 2013) ini, pasangan Tatong Bara-Jainudin Damopolii (TB-JD), tim sukses (TS), dan pendukungnya masih larut dalam pesta kemenangan. Tapi ketika matahari merekah besok, hidup akan kembali seperti hari-hari sebelumnya.

Tiga hari terakhir, menjelang hari H dan ketika Pilwako digelar, saya mencatat banyak hal yang mengundang gelak dari cara warga KK mengekpresikan pandangan dan sikap mereka terhadap hajat demokrasi ini. Tatkala para kandidat mulai mengeluarkan amunisi, ‘’menyerang’’ para konstituen dengan berbagai iming-iming (terutama duit) di dua hari terakhir masa tenang, komedi politik juga mulai dipentaskan.

Para kandidat, tim sukses (TS), dan pendukungnya mungkin mengira ‘’serangan umum 24 jam’’ itu memberi pengaruh signifikan terhadap perpindahan pilihan pemilih dari satu kandidat ke kandidat lain. Saya berkeyakinan sebaliknya, karena jauh-jauh hari mayoritas warga KK sesungguhnya sudah menjatuhkan pilihan, ada atau tidak ‘’serangan umum 24 jam’’ itu.

Kepada sejumlah politikus, juga wartawan, yang bersua di restoran ikan bakar di ujung Mogolaing pada Senin malam (10 Juni 2013), saya meramalkan pasangan manapun yang akan terplih (dari empat pasang kandidat yang bertarung), perolehannya ada di kisaran 42-45 persen total suara sah. Dasar analisis saya, di tengah rivalitas TB-JD dan Djelantik Mokodompit-Rustam Simbala (RS), Muhamad Salim Lanjar-Ishak R Sugeha (MSL-IRS) tiba-tiba menguat karena Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, turun gunung mendukung pasangan ini.

Bupati yang akrab disapa Eyang, yang juga adik kandung MSL ini, berhasil menarik minat konsituen Pilwako untuk memberi perhatian pada pasangan yang dia dukung. Eyang adalah orator dan persuator ulung. Sayangnya, tewasnya Abdullah ‘’Ayu’’ Basalamah mengubah situasi yang mulanya telah memberi sinyal menguntungkan MSL-IRS. Gosip dan duga-duga tak mendasar, yang mengait-ngaitkan Eyang dengan tragedi itu, membuat ‘’krebilitasnya’’ goyah dan berimbas langsung pada MSL-IRS.

Andai tak ada tragedi Ayu (doa saya untuk Almarhum), peta perolehan suara para kandidat di Pilwako KK mungkin agak berbeda dengan apa yang tersaji saat ini.

Kembali pada respons warga terhadap apa yang dilakukan para kandidat, salah satu yang terkesan naif namun khas orang Mongondow, diekspresikan oleh seorang kakek yang bermukim di wilayah Lolayan. Di tengah riuhnya pembagian ‘’serangan umum’’, menukil BlackBerry Messenger (BBM) yang saya terima, dia dengan santai berkomentar: ‘’Masa na’a, komintan calon legislatip (kata ini sesuai aslinya) bo kapala daerah tatap bi’ mo bogoi aka aindon momili’. Aka ko-inako’, anggap don no bali’ kabiasaan don tua, na’ mo gutat. Aka oyu’on ta dia’ no bogoy, dega kinoliongan-nea, nodait don in ta sinadia, atau kita ta dia’ don noko uma.’’

Menurut kakek yang patut kita acungi jempol ini, ‘’Da’ tatap bi’ mo mili’ in pilihan naton tontani, ta korasa’an naton ta mopira, nobogoy ka dia’ in sia. Sin serangan tua tonga’ bi’ hiburan ko’i nanton. Sin aka aindon noi-litu’, ta onda in ugat mo bogoy, sia-sia bi’ doman in ugat mo gakut.’’

Pernyataan itu sungguh kearifan yang luar biasa. Terlebih bukan datang dari para pemikir, teoritikus, dan praktisi politik yang bergerombol di sekitar para kandidat, yang menganggap para pemilih mudah disilaukan iming-iming Rp 100 ribu, Rp 300 ribu, atau bahkan Rp 500 ribu. Orang Mongondow di KK tahu persis, ‘’ta onda in ugat mo bogoy, sia-sia bi’ doman in ugat mo gakut’’.

Sama dengan keyakinan sebagian besar warga yang bertekad, pasangan mana saja boleh jadi pemenang, kecuali DjM-RS. Keyakinan ini melahirkan kelucuan lain seperti yang terjadi di salah dari bagian kota di saat perhitungan suara masih berjalan. Ketika itu, kisah saksi mata kejadian, seorang pendukung DjM-RS sesumbar telah menyediakan berkarung-karung tissue yang akan digunakan pendukung kandidat lain menyeka airmata.

Begitu peta suara perolehan para kandidat menunjukkan TB-JD dipastikan jadi pemenang, berbondong-bondong orang mendatangi kediaman penyokong DjM-RS itu dan menghaburkan tissue toilet di sepanjang jalan di depan rumahnya. Menurut hemat saya, yang terjadi bukan balas dendam, tetapi cara orang Mongondow menuntaskan greget tanpa menjadi anarki. Dengan pikiran jernih dan terbuka, menghamburan tissue toilet itu justru menjadi humor yang bakal dibicarakan berhari-hari setelah gegar Pilwako berlalu.

Demikian pula dengan komentar-komentar yang lalu-lalang selama proses perhitungan suara berlangsung. Misalnya, ketika saya mengirim BBM menanyakan adakah yang tahu di mana Sehan Lanjar berada, balasan yang tiba membuat saya terbahak-bahak: ‘’Eyang ada samantara kompres depe kapala. Kase turung saki kapala karna lia ini Laris (tagline yang digunakan MSL-IRS) pe perolehan suara.’’

Tentu itu karang-karangan belaka. Tidak berbeda dengan BBM panjang yang saya terima, yang menggambarkan bahwa di kediaman DjM di Mongolaing dipenuhi orang-orang, yang berkerumun tanpa suara. Yang lucu adalah imbuhannya, ‘’Dorang ada ba tunggu DjM ada samantara uru. Baru abis pololok lei, gara-gara inimbalu’ in quick count.’’

Yang lebih dramatis lagi, mereka yang keluar dari kediaman DjM dilukiskan bagai habis mengunjungi kedukaan. Wajah penuh kesedihan dengan mata memerah seperti habis menumpahkan tangis. Tangis yang sama ternyata juga ditumpahkan para pendukung TB-JD. Pokoknya, kata sang pemotret suasana, ‘’Orang-orang yang pake atribut Kota Untuk Semua manangis baku polo di pinggir jalan, persis hari raya….’’

Namun, menurut saya, momen skala baterek-nya paling luar biasa adalah kretivitas sejumlah orang yang tiba-tiba berkumpul, menghiasi bentor berwarna kuning dengan balon-balon sewarna, menaikkan ke mobil pick-up, siap diarak diiringi barisan sepeda motor dengan pengendara dan yang dibonceng ber-tolu (topi caping), menenteng buah pinang dan pisang.

Sewaktu ditanyai apa yang akan mereka lakukan, jawabannya sungguh kocak dan sekaligus memiriskan: ‘’Mo ka Rudis. Mo kase pinang pa DjM kong abis itu mo antar dengan bentor ka Lolan.’’

Politik memang milik para pemenang. Siapa yang peduli baru beberapa jam lalu Djelantik Mokodompit adalah Walikota KK yang disegani, dijunjung, dan dipatuhi? De facto dia telah kalah dalam kompetisi sangat ketat yang dilalui dengan segala strategi dan taktik yang mungkin dilakukan, termasuk yang kotor sekali pun. Dan kalah berarti minggir dan dipinggirkan, tak peduli dengan cara sopan atau kurang ajar.

Kalau pun ada yang peduli, paling-paling hanya bersimpati dengan komentar khas Mongondow (yang juga saya terima via BBM), ‘’Pulitik memang kras, Uyo. Poko sabar don, sin lima notaong na’a kami in no sabar doman.’’***