Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet
Showing posts with label Artikel Pilkada. Show all posts
Showing posts with label Artikel Pilkada. Show all posts

Tuesday, December 1, 2015

Betapa Tidak Menariknya Pilkada Bolsel

DIBANDING Pilkada 2015 di Boltim yang gemuruh—juga diwarnai rusuh—, kompetisi Cabup-Cawabup di Bolsel adalah peristiwa politik guyup, mesra, dan datar-datar saja. Pasangan yang berlaga pun cuma dua: Herson Mayulu-Iskandar Kamaru (didukung PDIP dan PAN) dan Azhar Yasin-Gustamil Katili (disokong Hanura, Gerindra, dan PPP).

Di tahapan awal tensi politik memang sempat melonjak karena kandidat Cabup-Cawabup independen, Haris Kamaru-Yusuf Mooduto, gagal memenuhi persyaratan yang ditetapkan KPU. Ada massa yang beraksi, ada kandidat calon yang menandak-nandak. Namun, aksi jalanan hingga ke meja hukum mendukung pasangan ini berakhir sebagaimana yang sudah diduga umum: Haris-Yusuf tetap tak memenuhi syarat.

Walau setengah hati—karena dinamikanya yang landai—, saya tetap mengikuti riak Pilkada Bolsel yang diciptakan Haris-Yusuf. Secara pribadi, kendati selalu kontroversial, saya menyukai Yusuf Mooduto—percaya atau tidak, kami berkerabat dari sisi Nenek pihak Ayah—yang meledak-ledak dan di luar mainstream. Selama memimpin PPP dan duduk di DPRD Bolmong, dia selalu mampu menarik atensi publik. Jika tidak karena aksi di ruang sidang dan komentar-komentar politiknya; maka pasti berkaitan dengan ‘’mama baru’’. Urusan yang terakhir ini, saya angkat dua jempol untuk Yusuf.

Yang tidak kurang mengagumkan (dan sudah pernah saya tulis), kesetiaan Yusuf pada komitmen politik yang dia buat. Hingga keanggotaannya di DPRD—juga Ketua PPP—berakhir,  dia adalah loyalis tak tergoyahkan dari mantan Bupati Marlina Moha-Siahaan.  Setiap politikus, lurus atau bengkok, cerdas atau sekadar bernasib baik, sukses atau menjadi langganan pecundang, pasti berharap punya karib politik seperti Yusuf.

Harus diakui, gagalnya Haris-Yusuf berkompetisi di Pilkada Bolsel 2015 membuat laga di antara para pesaing kehilangan gregetnya. Minimal kita meluputkan orasi dan aksi panggung Yusuf Mooduto, yang saya bayangkan bakal membakar massa dan meledakkan tawa. Di balik ‘’kegarangannya’’, Yusuf yang saya kenal adalah manusia penuh humor. Dia bakal jadi daya tarik karena memang berbeda laku dan gaya dibanding Herson-Iskandar dan Azhar-Gustamil yang cenderung hati-hati, formal, dan serius.

Laku dan gaya berbeda belum tentu berbanding lurus dengan keterpilihan pasangan Cabup-Cawabup. Tetapi, sebagaimana taman bunga, hamparan yang melulu merah atau semuanya kuning, dengan cepat menjadi membosankan.  Setitik kuning di antara lautan merah, misalnya, akan menyedot fokus pandang kita dan mempertegas keindahan sebuah taman bunga.

Namun, politik yang berkelanjutan memang memerlukan kehati-hatian yang serius. Petahana Bupati Bolsel, Herson Mayulu, sadar betul untuk mempertahankan kepercayaan orang banyak dia tidak boleh berlaku sembrono. Bupati bukanlah aktor teater yang harus memuaskan penonton melalui drama, tragedi, dan komedi. Seorang Bupati sedapat mungkin ‘’sangat dingin’’ dan meletakkan seluruh pertimbangan tindakannya pada hal besar, ketimbang ego dan keinginan pribadi. Sekalipun dengan demikian dia harus bersedia ‘’makang hati’’.

Herson Mayulu bukan Sehan Landjar yang orasinya menggelegar dan membakar. Saking melantangnya, pernyataan-pernyataan Eyang—demikian dia akrab disapa—bahkan tak sedikit yang balik menghantam dia sendiri. Laku dan gaya Eyang juga melahirkan massa fanatik: yang memuja dia sepenuh hati di satu sisi dan sungguh-sungguh tidak menyukai dia di sisi lain. Jenis mana yang paling banyak di tengah kemajemukan masyarakat Boltim, akan terbukti pada 9 Desember 2015 mendatang.

Sebaliknya, Herson yang populer dikenal  sebagai ‘’Oku’’ mengedepankan kepemimpinan yang akomodatif, hasil evolusi interaksinya dengan tanggung jawab yang diemban sebagai Bupati dan dinamika masyarakat Bolsel. Kita semua belum lupa, di awal-awal masa kepemimpinannya Oku juga dikenal temperamental dan mudah tersulut. Karena tidak ‘’tipis telinga’’, kecaman, kritik, bahkan makian justru dia jadikan alat introspeksi diri. Terbukti kemudian, yang berseberangan—juga terang-terangan bermusuhan—perlahan berubah menjadi kawan seiring.

Akomodatif tidak berarti kompromistis dan pragmatis. Oku merangkul semua pihak, sembari perlahan-lahan menegaskan sikap terhadap tujuan bersama. Dia tetap memberi ruang pada para ‘’die hard’’ dan oposan, sebagaimana juga mendorong para penyokong dan loyalis agar mengambil peran signifikan. Capaian dari pendekatan politik dan kepemimpinan model ini tidak serta-merta dan mencengangkan, melainkan perlahan dan pasti. Dan terbukti efektif. Statistik terakhir menunjukkan, setelah lima tahun masa kepemimpinannya—juga Eyang di Boltim—, IPM Bolsel kini berada di  atas Boltim.

Tapi politik dan kepemimpinan Oku memang minim aksi, bahkan di saat kampanye Pilkada serentak 2015 ini. Tidak ada tontonan yang mengairahkan sebagaimana pasangan Sehan-Rusdi dan Sachrul-Medi ‘’berbalas pantun dan pentung’’ di Boltim. Ibarat tayangan teve, dinamika politik di Bolsel bertema ‘’drama keluarga’’, sedang Boltim sejenis tayangan ‘’aksi’’. Di Bolsel segala perselisihan diselesaikan di ruang-ruang yang terkontrol dan nyaris senyap; di Boltim, sedikit perbedaan pendapat dan cara, ditangani dengan hiruk-pikuk, bahkan batu dan parang pun turut bicara.

Maka, sebagai praktek politik dan kepemimpinan, dinamika di Bolsel layak menjadi pelajaran penting—minimal—dari para Walikota/Bupati se BMR. Bahwa selama lima tahun, dengan pendekatan yang benar, keberlanjutan (atau suksesi) kepemimpinan politik dan birokrasi dapat disiapkan terukur dan matang. Bahwa alangkah bodoh dan jumud-nya seorang petahana bila masih harus bertarung seperti pemula ketika dia tinggal melanjutkan langkah dengan mengantongi semua kesiapan dan bekal yang dibutuhkan.

Bahwa dengan demikian peristiwa seperti Pilkada menjadi sesuatu yang datar, biasa, dan jauh dari riak, adalah soal lain. Masyarakat Bolsel berhak memilih ekspresi pesta demokrasinya dengan cara mereka sendiri; seperti warga Boltim, Bolmut, Bolmong (Induk), atau KK juga mempraktekkan demokrasi ala mereka. Jika pun karena itu Pilkada Bolsel 2015 menjadi tidak menarik, terutama karena jauh-jauh hari kita tahu persis pasangan mana yang bakal keluar sebagai pemenang, di situlah keunggulan strategi jangka panjang Bupati petahana.

Tidak ada yang lebih menenangkan seorang politikus kecuali menghadapi pertarungan yang 99% dia ketahui akan dimenangkan. Selamat untuk Herson-Iskandar. Dan, diundang atau tidak, saya tak sabar menunggu pesta santap durian setelah pelantikan Anda berdua sebagai Bupati-Wabup Bolsel 2016-2021.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolmut: Bolaang Mongondow Utara; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Bolsel: Bolaang Mongondow Selatan; Cabup: Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Gerindra: Gerakan Indonesia Raya; Hanura: Hati Nurani Rakyat; IPM: Indeks Pembangunan Manusia; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; PAN: Partai Amanat Nasional; PDIP: Paryai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; PPP: Partai Persatuan Pembangunan; dan Wabup: Wakil Bupati.

Thursday, April 28, 2011

Hore...!

TULISAN MK akan Menangkan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk dan KPU Bolmong yang diunggah di blog ini pada Jumat (22 April 2011) terbukti kebenarannya. Di  sidang Mahkamah Konstitusi (MK) yang berlangsung Kamis (28 April 2011), putusan Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini memang sudah diduga sejak awal. Paling tidak oleh mereka yang memahami hukum dan wewenang batas-batas kewenangan MK dalam menyindangkan sengketa Pilkada; serta yurisprudensi dari putusan-putusan sebelumnya.

Terhadap gugatan pasangan Didi Moha-Norma Makalalag, Majelis Hakim MK berpendapat: Pertama, gugatan untuk keabsahan ijazah Salihi Mokodongan bukanlah kewenangkan MK. Dengan demikian, dalil yang disampaikan pemohon (dalam hal ini pasangan Didi Moha-Norma Makakalag) harus dikesampingkan. Kedua, gugatan adanya politik uang yang dipraktekkan pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk juga ditolak. Majelis Hakim MK justru menilai penggugatlah yang justru mempraktekkan politik uang.

Terbuktinya praktek politik uang oleh Didi Moha-Norma Makalalag membenarkan mayoritas pendapat yang berkembang di Bolmong (sayangnya ditutup-tutupi media massa yang mendukung pasangan ini karena terikat kontrak pencitraan dengan menggunakan dana Pemkab), bahwa gugatan mereka tidak lebih dari meludah ke wajah sendiri. Penilaian Majelis Hakim itu, di sisi lain bisa ditindak-lanjuti, sebab bila dana yang digunakan berasal dari APBD/APBN atau fasilitas negara untuk warga kurang mampu seperti beras miskin (Raskin), konsekwensinya adalah tindak kriminal.

Dua putusan MK terkait gugatan Didi Moha-Norma Makalalah itu sebelumnya sudah berulangkali saya bahas di beberapa artikel di blog ini. Sama dengan gugatan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit yang juga ditolak Majelis Hakim.

Kelemahan terbesar gugatan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit karena (sebagaimana yang juga disampaikan sejumlah saksi selama proses pengadilan berlangsung) satu partai pendukung saja yang menarik dukungan, maka syarat minimal 15 persen dukungan yang mesti mereka kantongi gugur sudah. Dan itulah yang terbukti dilakukan beberapa partai, sebagaimana fakta yang tersaji selama persidangan berlangsung.

Pelajaran Demokrasi

Apa arti ditolaknya gugatan Didi Moha-Norma Makalalag dan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit bagi warga Bolmong umumnya? Menurut hemat saya, masyarakat telah berhasil mengajarkan apa dan bagaimana berdemokrasi, terutama pada pasangan Didi Moha-Norma Makalalag dan partai pendukungnya (Partai Golkar dan Partai Demokrat).

Beberapa hari lalu saya membaca pernyataan Didi Moha, juga Sekretaris PG Bolmong, di media massa terbitan Manado dan Kota Kotamobagu Pernyataan Didi Moha, juga Sekretaris PG Bolmong, Widi Mokoginta, bahwa gugatan mereka ke MK adalah untuk pembelajaran demokrasi, justru adalah cermin ketidakmengertian dan ketidakmampuan mereka memahami serta mempraktekkan demokrasi yang sehat-bermartabat. Apalagi kemudian MK menilai merekalah yang justru mempraktekkan politik uang, satu perilaku yang sangat menciderai demokrasi.

Saya kira, sebagai anak muda, Didi Moha –juga Widi Mokoginta— bisa memetik pelajaran berharga dari seluruh rangkaian pelaksanaan Pilkada Bolmong hingga putusan Majelis Hakim MK hari ini. Bahwa, ada batas-batas di mana seorang politikus mesti mengambil putusan dengan pertimbangan tidak hanya demi egonya atau ego kelompoknya.

Saya berharap dapat membantu Didi Moha untuk keberlanjutan karir politiknya di masa datang, sepanjang sejumlah orang yang secara sengaja menjerumuskan dia (juga keluarganya) ke praktek politik yang irasional, disingkirkan sejauh mungkin.

Kesadaran terhadap batas ingin saya sampaikan pula pada sejumlah politikus dan (katanya) konsultan serta pengamat politik, yang terlibat aktif (atau aktif melibatkan diri) di Pilkada Bolmong, semisal Pitres Sombowadile. Saya menggaris bawahi Pitres bukan karena dia penting, tetapi untuk mengingatkan warga Bolmong (dan publik politik umumnya di Sulut), betapa tidak berkualitasnya assessment dan prediksi politik yang bersangkutan.

Pembaca, Anda mungkin masih ingat Harin Komentar, Senin (18 April 2011) menurunkan berita Hasil Sidang MK Bakal 
Keluarkan Putusan ‘Heboh’
Bolmong, yang mengutip habis analisis Pitres. Bahwa, Pertama, kemungkinan MK memutuskan diadakanya Pemilukada ulang dan harus mengakomodir Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit. Kedua, diadakanya pemungutan suara ulang tanpa mengikutsertakan Suharjo-Hasna. Ketiga, Pemilukada ulang dimana pasangan Salihi Mokodongan-Yanni Tuuk akan didiskualifikasi. Dan keempat, MK akan meminta KPU Bolmong untuk menggelar pleno penetapan Bupati-Wakil Bupati Bolmong terpilih (minus Salihi-Yanni). Secara otomatis pasangan Limi Mokodompit-Meidy Pandeirot peraih suara terbanyak kedua tampil sebagai pemenang.


Analisis yang luar biasa ngawurnya karena tak ada satu pun yang mendekati fakta putusan Majelis Hakim MK hari ini.

Arus Balik

Lalu apa setelah MK menolak gugatan Didi Moha-Norma Makalalag dan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit? Tentu yang pertama kita semua menunggu dikukuhkannya Salihi Mokodongan-Yani Tuuk sebagai Bupati-Wakil Bupati (Wabup) Bolmong 2011-2016. Setelah itu, biarkan mereka bekerja menata Bolmong tanpa direcoki oleh kebiasaan ‘’asal bapak senang’’ yang terbukti perlahan-lahan bakal meracuni dan membuat mereka berakhir sebagai pemimpin yang ‘’sama saja dengan yang lain’’.

Agar mereka selalu awas, kontrol dan kritik harus terus-menerus dilakukan dengan ketat. Saya, hari ini –di saat kebanyakan warga Bolmong meneriakkan ‘’hore…!’’ menegaskan: Saya akan selalu mengambil jarak dengan kekuasaan. Artinya, sampai di sini dukungan saya terhadap Om Salihi dan Yani Tuuk. Setelah ini, dukungan saya terhadap mereka berdua adalah kritik dan koreksi yang mungkin saja bakal memerahkan kuping dan memicu amarah.

Di luar itu, yang saya kuatirkan, adalah nasib sejumlah orang –tertama birokrat yang terang-terangan berpolitik praktis, bahkan menjadi operator terdepan kampanye hitam terhadap Bupati-Wabup terpilih--; yang tentu bakal dituntut pertanggungjawabannya sesuai UU dan peraturan yang berlaku. Saya yakin, tanpa dipegaruhi perasaan pribadi (sakit hati dan sejenisnya), orang-orang tersebut lebih dari pantas dicopot dari jabatan dan diseret ke hadapan hukum.

Saya berharap proses itu bukanlah balas dendam politik yang biasanya selalu dengan cara bumi hangus.***

Saturday, April 23, 2011

Rezim Penunggang Kuda Mati

Artikel ini ditulis bersama Rahfan Mokoginta. Ide dasarnya dipertukarkan lewat email yang dia kirimkan. Saya hanya memformulasi dan menambahkan beberapa aspek.

MENGAPA umumnya orang Mongondow bagai tak kehabisan energi mengikuti roller coaster Pilkada Bolmong, yang sengketanya masih menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (28 April 2011) pekan depan –bukan Selasa (26 April 2011) seperti yang dituliskan di blog ini sebelumnya?

Pilkada Bolmong 2011 adalah puncak dari seluruh isu politik yang diakui atau tidak menjadi pondasi arah Mongondow paling tidak hinga 10-15 tahun ke depan. Berubah-tidaknya bandul, praktek  dan budaya politik serta birokrasi, sangat dipengaruhi apa yang terjadi Bolmong –yang menjadi induk dari tiga kabupaten dan kota hasil pemekarannya.

Faktor rezim yang berkuasa selama 10 tahun terakhir menambah daya pikat Pilkada. Di permukaan, orang banyak digambarkan patuh dan memuja Bupati yang sebentar lagi mengakhiri masa jabatannya. Persepsi itu diperkuat agresifnya upaya pencitraan yang dilakukan kelompok pendukung Bupati dan keluarganya (kebanyakan dari kalangan birokrasi dan sejumlah orang dekat berlatar aktivis mahasiswa dan Parpol).

Tatkala impian rezim itu dan pendukungnya memperpanjang kekuasaannya, paling tidak hingga 10 tahun lagi dengan mengusung putera Bupati sebagai suksesor Ibunya, kandas lewat kekalahan telak di Pilkada Selasa, 22 Maret 2011; orang Mongondow sebenarnya sedang menggambar ulang bukan hanya peta politik dan birokrasi, tapi juga kelompok sosial, kelompok penekan, dan bahkan klik-klik antar tokoh-tokoh elit yang baru.

Belum tentu rezim yang baru akan lebih baik dari sebelumnya. Namun setidaknya masyarakat Bolmong sudah menentukan mereka ingin perubahan. Ini adalah dinamika alamiah yang kerap sulit diterima para elit yang terlampau lama terdilusi (atau sengaja mendilusi kepercayaannya) seolah kekuasaan yang ada di tangan akan dikuasai selama. Dilusi seperti ini, di konteks global, selalu berakhir pahit dan bahkan berdarah-darah seperti yang terkini kita saksikan di Mesir dan Libya.

Di banyak diskusi politik, rezim yang gigih melestarikan kekuasaan biasanya dipercakapkan dari dua sudut pandang: Pertama, mereka sangat cerdas dan mampu menjawab kebutuhan rakyat hingga keseimbangan sosial terjaga. Singapura adalah salah satu contoh yang sukses menerapkan suksesi rezim model ini dengan baik. Perdana Menteri (PM) saat ini adalah putera kandung mantan PM sebelumnya, yang sukses berkuasa selama bertahun-tahun. Kedua, rezim yang cenderung bodoh dan totaliterian, yang berhasil membangun kekuasaan dengan formulasi khas negara-negara miskin dan berkembang, yaitu pencampuran antara mitologi dan represi. Contoh untuk rezim jenis ini bertebaran di mana-mana dalam sejarah peradaban manusia.

Mengapa rezim jenis kedua ini layak disebut bodoh? Sebab biasanya di titik tertentu mereka tidak lagi mampu menjaga keseimbangan sosial; yang akhirnya meledak menjadi penolakan massal. Ekspresinya bisa damai lewat jalan demokrasi; atau kerusuhan sosial yang hampir dalam semua kasus sukses menumbangkan rezim yang ditentang.

Kearifan Tua

Menyitir kearifan tua, rezim model kedua itu adalah mereka yang ‘’tak sadar lagi sudah menunggang kuda mati’’. Padahal: “Kalau Anda tahu sedang menunggang kuda mati, adalah arif jika Anda turun dan cari kuda lain yang masih hidup.’’ Repotnya, kearifan bagi setiap rezim yang keenakan berkuasa, hanya jadi kewajiban rakyat.

Karena itulah, kalau pun tahu mereka sudah menunggang kuda mati, yang dilakukan justru upaya yang kerap sia-sia, seperti: Satu, mencambuk kuda lebih keras dan bertubi-tubi agar dia mau berlari. Kegagalan dijawab dengan peningkatan pengendalian terhadap si pencambuk. Ujung-ujungnya ada yang dipersalahkan sebagai ‘’kambing hitam’’ mogoknya si kuda. Dua, membentuk panitia khusus (biasanya dari lingkaran terdekat dan terpercaya( untuk mempelajari masalah dan menemukan cara yang benar menunggang kuda mati. Tiga, studi banding demi mengetahui bagaimana orang lain, di tempat lain, berhasil menunggang kuda mati. Keempat, merekrut penunggang baru yang diduga lebih ahli menunggang kuda mati. Pembaca, daftar ini dapat diperpanjang lagi sesuai kreativitas Anda masing-masing.

Sengketa Pilkada Bolmong yang bergulir di MK adalah contoh nyata bagaimana ‘’kuda mati’’ itu berusaha dipacu agar bisa berlari. Begitu kerasnya usaha sejumlah orang, saya kira bahkan alternatif mengundang dukun voodoo pun pasti sudah terpikirkan. Siapa tahu turun tangannya dukun dengan mantra-mantra saktinya, kuda mati bangun dan berlari kencang seperti adegan di film Creek besutan sutradara Joel Schumacher yang sedang tayang di sejumlah bioskop.

Celakanya, makin lama kuda mati itu susah payah ditungganggi, kian tak sadar pula rezim keras kepala itu bahwa sebentar lagi dia membusuk, menyebarkan bau dan penyakit ke mana-mana. Dampak ikutan yang kerap tidak diperhitungkan ini, malah bisa lebih destruktif dan melibatkan kerugian berantai yang tak berujung.

Menggugat keabsahan ijazah Salihi Mokodongan, misalnya, membuat bau ‘’mayat kuda’’ membangunkan amis dan busuk yang lain. Ini yang sedang terjadi dengan mencuatnya dugaan ijazah sarjana instant (yang diperoleh hanya dalam waktu tiga tahun), yang melibatkan kelompok terdekat dari rezim tersebut. Terakhir –baru beberapa hari marak di sejumlah group facebook dan milis—malah merembet ke kabupaten lain karena ada PNS yang menempuh pendidikan D3 cukup delapan bulan dan dilanjutkan ke jenjang S1 selama setahun, hingga gelar sarjana diperoleh hanya 1,8 tahun.

Iri betul mengetahui ada sarjana yang begitu mudah menyelesaikan pendidikannya. Di sisi lain, karena ini terjadi di Mongondow, semestinya jadi kebanggaan karena diam-diam daerah ini menyimpang para jenius yang baru terungkap keberadaannya.

Kembali ke kuda mati yang masih tetap ditungganggi itu, apakah lagi dampak ikutan yang akan terjadi? Apakah jadi urusan polisi, jaksa, dan KPK; atau RSJ? Kita tunggu saja.

Catatan:
Di awal 2000-an Rahfan Mokoginta adalah salah satu anggota Komunitas Banjer (komunitas ini bermarkas di rumah milik almarhum Ahmad Honny Mokoagow –kami memanggilnya ‘’Papa Honny’’). Ketika itu Rahfan baru menyelesaikan studi di Akademi Perawat Manado. Di periode itu Komunitas Banjer yang hampir seluruhnya berasal dari Mongondow (kecuali Budi Santoso), menerbitkan Tabloid Totabuan. Rahfan yang bekerja di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Manado (kini berganti nama menjadi RSU Prof dr VL Ratumbuysang) mendapat gelar ‘’Mantri Gila’’. Kini dia bekerja sabagai salah seorang paramedik di Kota Kotamobagu; dan alhamdulillah tidak pernah tercatat sebagai pengidap gangguan jiwa.

Friday, April 22, 2011

MK akan Menangkan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk dan KPU Bolmong

BANYAK yang lucu selama sidang gugatan Pilkada Bolmong berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK). Bukan karena kesaksian beberapa saksi dari para penggugat yang justru melemahkan gugatan yang diajukan; melainkan berbagai analisis dan spekulasi yang beredar di Bolmong, yang seolah-olah MK sudah menjatuhkan putusan.

Santernya kampanye itu, yang mengatakan MK memenangan gugatan pasangan Didi Moha-Norma Makalalag dan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit, bahkan mempengaruhi beberapa saksi yang sejak satu hari setelah sidang terakhir (Selasa, 19 April 2011) sudah kembali ke Bolmong. Saking bingungnya, salah satu saksi dari tergugat, Salhi Mokodongan-Yani Tuuk, menelepon beberapa orang di Jakarta dan menanyakan kebenaran beritanya.

Salah seorang yang ditelepon, yang tahu persis duduk-soalnya (bahkan masih berada di kantor pengacara yang membela Salihi Mokodongan-Yani Tuuk), tak kalah bingungnya. Setelah sadar musababnya, sambil terbahak dia menjawab, ‘’Selain duduk sebagai saksi, Anda kan mengikuti seluruh proses sidang secara langsung. Anda tahu fakta-fakta yang terungkap di dalam sidang dan bisa menyimpulkan sendiri.’’

Yang saya dengar, sama seperti beberapa orang yang mengontak saya untuk menanyakan hal sama, si penelepon hanya bisa mengerutu jengkel. ‘’So talalu memang ini mulu-mulu di Mongondow. Biar nyanda butul, dorang bekeng rupa butul jo.’’

Pembaca, fakta di persidangan sebagian besar sudah saya tulis di blog ini. Bahwa dari saksi-saksi dan bukti yang diajukan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk untuk gugatan Didi Moha-Norma Makalalag dan oleh KPU Bolmong untuk gugatan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit; dari perspektif yang awam hukum pun, sangat meyakinkan membatahkan gugatan yang diajukan. Kesaksian beberapa saksi yang dianggap otoritatif membuktikan semua ijazah Salihi Mokodongan abal-abal dan tak sah bukan hanya dipatahkan bukti yang dimiliki tergugat; tapi juga didukung saksi-saksi yang bahkan berkedudukan dan berwenang lebih tinggi. Termasuk dari aparat kepolisian yang sudah melakukan penyelidikan.

Bukti-bukti tertulis yang juga diterima MK tidak ada yang baru dan signifikan. Didi Moha-Norma Makalalag, hingga Rabu (20 April 2011) misalnya, hanya memasukkan bukti-bukti antaranya keputusan-keputusan KPU Bolmong terkait penetapan calon peserta Pilkada; berita acara perhitungan suara di TPS 3 Motabang (di mana  pemilih di DPT sejumlah 460 orang, sedang yang memilih 468 orang karena ada 8 orang yang  menggunakan KTP) yang diduga diwarnai kecurangan; surat pernyataan Raula Sugeha dan Lukman Lobud; serta surat pernyataan Devi Rumondor bahwa KPU Bolmong tak pernah melakukan verifikasi langsung soal keabsahan ijazah Salihi Mokodongan.

Pasangan penggugat itu juga memasukkan surat pernyataan Ulfa Paputungan bahwa Surat Keterangan Pengganti Ijazah Salihi Mokodongan tidak sah; tanda terima laporan pengaduan Roni Mokoginta ke KPU Bolmong bahwa ijazah Paket C Salihi Mokodongan palsu; laporan Widi Mokoginta ke Bareskrim; surat pernyataan Napi mamonto bahwa telah menerima Rp 100 ribu dari Bekang Damopolii, serta video rekaman Salihi Mokodongan dan istri sedang membagi-bagi duit di Desa Babo dan Desa Cempaka.

Itu saja bukti-bukti tertulis dan rekaman yang dikantongi MK dari pasangan Didi Moha-Norma Makalalag. Di antara semua itu, bukti mana yang tidak berhasil dimentahkan dengan meyakinkan oleh bukti dan kesaksian dari pihak Salihi Mokodongan-Yani Tuuk? Tergugat bahkan bisa membuktikan sebaliknya, pasangan Didi Moha-Norma Makalalag-lah yang mempraktekkan politik uang di Pilkada Bolmong.

Pembaca, Anda berhak curiga jangan-jangan yang dituliskan di sini sudah dikreasi hingga hanya menguntungkan pasangan tertentu, karena saya memihak Salihi Mokodongan-Yani Tuuk (saya secara terbuka menyatakan mendukung pasangan ini sejak tahu akan ada gugatan dari calon Bupati-Wabup yang kalah). Kalau begitu, silahkan dibandingkan apa yang saya papar dengan risalah sidang yang bisa diunduh di situs MK (http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/).

Setengah Kebenaran

Kabar yang sengaja dihembuskan di Mongondow, bahwa gugatan sengketa Pilkada Bolmong dimenangkan para penggugat dan karenanya Pilkada bakal diulang dengan menyertakan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit; serta menganulir Salihi Mokodongan karena ijazahnya abal-abal, bisa saya pastikan cuma mulu-mulu tak bertanggungjawab.

Mulu-mulu itu turut dikipasi beberapa media massa (termasuk situs berita), yang terus-menerus sengaja menyajikan liputan yang secara telanjang memihak penggugat. Saya tidak mengatakan apa yang ditulis tidak benar; melainkan yang disajikan hanyalah setengah kebenaran dari apa yang terjadi selama persidangan berlangsung. Setengah kebenaran tentulah tak beda dengan setengah kebohongan.

Menyampaikan cuma setengah kebenaran tampaknya sudah menjadi praktek politik yang dilembagakan sejumlah orang di Mongondow. Ini pula yang menjerumuskan beberapa kandidat Bupati-Wabup di Pilkada Bolmong, hingga mereka terlampau yakin dengan prediksi bakal memetik kemenangan. Saya kira masyarakat Bolmong khususnya sudah belajar, bagaimana selama hampir dua pekan menjelang hari H Pilkada, mereka dicecoki keyakinan tim pemenangan dua pasang Bupati-Wabup (didukung data yang tampaknya sempurna karena diperoleh dengan pendekatan ilmiah) yang mengklaim kandidatnya bakal terpilih dengan angka di atas 39 persen.

Fenomena sama saya lihat dari upaya membangun persepsi masyarakat bahwa gugatan Didi Moha-Norma Makalalag dan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit pasti dimenangkan MK. Ada pun pembacaan putusannya, yang diperkirakan Selasa (26 April 2011), adalah konfirmasi yang mengabsahkan persepsi itu.

Dari fakta-fakta persidangan dan bukti kedua penggugat, saya yakin Majelis Hakim MK Yang Terhormat akan menolak gugatan mereka. MK akan mengeluarkan putusan yang menyatakan ijazah Salihi Mokodongan sah sebagai dasar keikut-sertaannya di Pilkada Bolmong; bahwa politik uang yang dituduhkan tidaklah benar. MK juga akan menolak gugatan Suharjo Makalalag-hasna Mokodompit dengan dasar jumlah dukungan terhadap keikut-sertaan mereka memang gagal mencapai angka minimal.

Terhadap mulu-mulu dan berbagai spekulasi yang kini ditiupkan di Mongondow, saya kira kita pahami saja. Ada cukup banyak orang yang sulit menerima kekalahan. Satu-satunya hiburan yang paling mungkin kita berikan untuk jenis orang seperti itu adalah merelakan mereka berharap besok pagi, saat terbangun, dunia tiba-tiba berubah dan dialah yang keluar sebagai pemenang.***

Tuesday, April 19, 2011

MK, Satu Kali Lagi

GUGATAN Pilkada Bolmong yang disidangkan di Mahkamah Konstitusi hari ini, Selasa (19 April 2011), bagai anti klimaks. Saksi-saksi terakhir yang dihadirkan baik oleh penggugat maupun tergugat, boleh dibilang hanya mengkonfirmasi fakta-fakta yang sudah disampaikan di sidang-sidang sebelumnya.

Gugatan pasangan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit, misalnya, datar-datar saja. Menurut hemat saya, klimaks pembuktian gugatan pasangan ini berlangsung di sidang kemarin (Senin, 18 April 2011). Sedang untuk gugatan Didi Moha-Norma Makalalag, saksi-saksi yang mereka hadirkan dengan menyesal saya katakana tak membawa greget baru.

Kita sama tahu, ada dua kasus yang diajukan Didi Moha-Norma Makalalag, yaitu politik uang (money politic) yang lakukan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk; dan ijazah SD, Paket B, dan Paket C Salihi Mokodongan yang ‘’dianggap cacat’’ hingga secara administratif Pilkada Bolmong juga dianggap bermasalah. Terhadap gugatan politik uang, saya tidak perlu berpanjang-panjang. Aspek terpenting dari pembuktian terhadap tuduhan ini berubah sebaliknya; karena justru pihak tergugat (yang menghadirkan sejumlah Kepala Desa) berhasil mangungkap fakta Didi Moha-Norma Makalalag-lah yang mempratekkan politik uang dengan cara terencana dan terstruktur.

Kepala-kepala desa yang dihadirkan masih mengingat dengan jelas tanggal berapa utusan pasangan Didi Moha-Norma Makalalag menemui mereka, memberikan amplop berisi uang (jumlah amplopnya pun mereka sebutkan), untuk dibagikan pada para pemilih.

Kesaksian aparat utama desa itu tak dapat dikesampingkan sebagai hal penting, karena merekalah yang dijadikan operator lapangan. Tepat seperti dugaan saya –yang bisa ditelusuri dari artikel-artikel yang saya unggah di blog ini--, menggugat dengan dasar politik uang bakal menjebak penggugat sendiri. Rekam jejak gugatan politik uang di Pilkada yang disidangkan di MK juga menunjukkan mayoritas kasus ditujukan pada incumbent; bukan sebaliknya oleh incumbent pada penantangnya.

Incumbent untuk konteks Pilkada Bolmong tak lain Didi Moha-Norma Makalalag; karena faktor Bupati Marlina Moha-Siahaan yang adalah Ibu Kandung Didi Moha. Bagi yang paham persis praktek dan budaya politik di Bolmong dalam 10 tahun terakhir, gugatan Didi Moha-Norma Makalalag akhirnya harus dimaknai seperti pepatah ‘’menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri’’.

Mengetahui gugatan politik uang itu berpotensi jadi bumerang untuk Didi Moha-Norma Makalalag, mendorong saya menelepon Sekretaris Partai Golkar (PG) Bolmong, Widi Mokoginta, sebelum pasangan ini mendaftarkan gugatannya. Widi yang di masa studi Perguruan Tinggi (PT)-nya menjadi bagian dari kelompok anak-anak Mongondow yang bergaul dekat dengan saya –bahkan hingga hari ini, walau pun kami kerap berbeda ide dan pandangan terhadap banyak hal—hanya menjawab bahwa apa yang dilakukan Didi Moha-Norma Makalalag adalah ikhtiar pendidikan politik.

Saya setuju saja dengan dalih ikhtiar itu, tapi tetap bersikukuh lebih banyak mundarat jangka panjang, khusus untuk Didi Moha, ketimbang manfaatnya. Pikiran sederhana saya, kalau tergugat bisa membuktikan sebaliknya (seperti yang tampak di siang MK hari ini), masyarakat bisa menghubung-hubungkan ke belakang dan mendapat pembenaran terhadap gosip yang pernah meruyak, bahwa terpilihnya Didi Moha sebagai anggota DPR RI pada Pemilu 2009 tak jauh dari hasil politik uang.

Mari kita tutup saja hal-ihwal politik uang yang kalau diolah dan dikilik-kilik pasti beranak-pinak gosip dan bisik-bisik baru.

Ijazah Lagi: Capek Deh

Yang tetap menarik –walau bikin capek bila terus-menerus diulas—adalah ijazah Salihi Mokodongan yang menjadi alasan gugatan cacat proses Pilkada Bolmong.  Ada dua aspek: Pertama, Surat Tanda Lulus yang dikantongi Salihi Mokodongan dari SD Negeri Motabang tak diutak-atik lagi, karena memang tak ada masalah di situ. Kedua, ijazah Paket B dan Paket C ditanda-tangani Kepala Dinas Pendidikan (Kadiknas) Kota Kotamobagu, adalah benar dan sah.

Bagaimana dengan kesaksian Kepala Diknas Bolmong, Ulfa Paputungan, serta Raula Sugeha yang sejak awal mengesankan dua ijazah itu abal-abal? Kengototan Ulfa dengan mudah dipatahkan oleh Kesaksian Kadiknas Provinsi Sulut, HR Makagansa dan Kadiknas Kota Kotamobagu, Hamri Manoppo.

Subtansi dari kesaksian dua Kadiknas ini –ditunjang saksi lain-- adalah: Pertama, Ulfa Paputungan tidak punya urusan dengan sah-tidaknya ijazah Paket B dab C Salihi Mokodonga serta proses mendapatkannya. Yang berwenang adalah Kadiknas Provinsi dan Kadiknas Kabupaten/Kota di mana ijazah itu dikeluarkan. Kedua, dekatnya jarak waktu antara didapatnya ijazah Paket B dan C, tidak menjadi masalah, apalagi dari arsip yang dimiliki Kadiknas Provinsi dan Kadiknas Kota Kotamobagu, cukup banyak yang mengantongi ijazah Paket B dan C di Sulut dengan jarak waktu perolehannya hanya 18 bulan.

Gong dari kelindang ijazah itu adalah kesaksian Kasat Reskrim Polres Bolmong, AKP Diari Astetika dan Kasat Intelkam, Tedi Pontoh. Dua pejabat kepolisian ini menyampaikan kesaksian bahwa mereka memproses laporan dari Ketua Forum Pemuda Peduli Bolaang Mongondow (FP2BM), Roni Mokoginta –kendati Polres Bolmong hanya menerima tembusan, namun mereka tetap melakukan penyelidikan. Yang dilakukan Polres Bomong tidak hanya meminta keterangan dari Diknas Kota Kotamobagu dan Diknas Provinsi Sulut, tapi bahkan menanyakan keabsahannya ke Sekretaris Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP).

Seluruh penyelidikan yang dilakukan aparat Polres Bomong menghasilkan simpulan tidak ada masalah dengan ijazah Paket B dan C milik Salihi Mokodongan. Laporan Roni Mokoginta tidak dilanjutkan ke penyidikan sebab tak ditemukan bukti permulaan yang cukup kuat. Fakta lain,  tak ada pula rekomendasi apapun dari Panwas dan ini menguatkan temuan Polres Bolmong bahwa dugaan ijazah paket B dan C Salihi Mokodongan sebagai abal-abal, hanya isapan jempol.

Kesaksian Kasat Reskrim dan Kasat Intelkam itu secara tidak langsung juga mementahkan laporan Roni Mokoginta ke Mabes Polri.

Setelah saksi-saksi dan bukti-bukti, dibeberkan di hadapan Majelis Hakim MK, siapa pun yang mengukuti prose’s persidangan sudah bisa menyimpulkan kemungkinan putusan yang bakal jatuh. Pembaca, Anda mesti bersabar karena Rabu (20 April 2011) masih ada pemasukan simpulan dan bukti-bukti tambahan dari penggugat dan tergugat. Diperkirakan putusan Majelis Hakim MK akan dijatuhkan Selasa pekan depan (26 April 2011).

Ketika itu kita tahu siapa yang bersorak ‘’hore’’ dan siapa yang  balik mabur terkaing-kaing dengan ekor terlipat di antara kedua kaki bagai anjing dihantam balok.***

Monday, April 18, 2011

Gugatan Pilkada Bolmong: Pasti Ada yang Dusta di Antara Kita!

SENGKETA Pilkada Bolmong yang tengah disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK) memasuki babak krusial. Di sidang yang berlangsung hari ini (Senin, 18 April 2010), banyak kejutan yang terungkap setelah saksi-saksi dari pihak tergugat, baik KPU Bolmong maupun pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, menyampaikan kesaksiannya.

Kita mulai saja dari yang paling ringan, gugatan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit. Saksi yang dihadirkan KPU Bolmong, tiga orang pengurus partai (tingkat provinsi dan pusat) dari partai politik (Parpol) yang diklaim Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit sebagai pendukung; menyampaikan mereka justru menyokong pasangan Samsurijal Mokoagow-Nurdin Mokoginta. Kesaksian tiga pengurus Parpol itu diperkuat saksi lain, anggota KPU Pusat, Putu Artha.

Sepengetahuan saya, aturan dukungan terhadap pasangan kandidat peserta Pilkada tidaklah rumit. Cukup didukung pengurus Parpol –dalam hal ini yang bertanda-tangan Ketua dan Sekretaris; atau yang ditunjuk sebagai pengganti-- setingkat kabupaten/kota, kemudian dikuatkan pengurus tingkat provinsi. Bila ada konflik di tubuh Parpol pendukung, misalnya kepengurusan ganda, maka prosesnya mungkin lebih panjang, yaitu melibatkan pengurus tingkat provinsi dan kemudian dikuatkan pengurus pusat.

Dalam kasus Suharjo Makalag-Hasna Mokodompit, bila pengurus tingkat kabupaten memberikan dukungan, tetapi dianulir di tingkat provinsi; dan keputusan pengurus tingkat provinsi dikuatkan pengurus pusat, duduk soalnya terang sudah: yang harus digunakan adalah keputusan otoritas yang lebih tinggi. Repotnya, karena Parpol yang berkoalisi menyokong Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit pas-pasan jumlahnya, satu partai saja yang menarik diri, gugurlah persyaratan minimal yang mesti dipenuhi pasangan ini.

Kesaksian pengurus Parpol yang dihadirkan di sidang hari ini, serta anggota KPU Pusat, bila diterima oleh Majelis Hakim, tanpa perlu perdebatan lagi sudah mengakhiri gugatan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit.

Kontroversi Ijazah

Sekarang bagaimana dengan saksi-saksi yang dihadirkan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk menangkis gugatan pasangan Didi Moha-Norma Makalalag? Saya tidak akan menyebut satu per satu, tapi yang paling penting adalah bersaksinya Kepala Sekolah SD Negeri Motabang 1964-1974, Hadijah Paputungan-Damopolii. Kesaksian wanita yang sudah memasuki usia (kalau saya tidak salah) 74 tahun, mementahkan spekulasi yang selama ini simpang-siur dipercakapkan dan dispekulasikan di Mongondow.

Memang benar SD Negeri Motabang baru berdiri 1964, tapi sudah meluluskan murid pada 1968. Latar belakangnya, begitu SD Negeri itu mulai beroperasi, murid-murid yang berasal dari sekitar sekolah, yang sebelumnya menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) Lolak dan (SR) Mokoinit, dipindahkan ke SD Negeri Motabang. Salah satu murid itu adalah Salihi Mokodongan, yang kelas 1-nya ditempuh di SR Lolak, kemudian kelas 2 di SR Mokoinit, dipindah dan langsung duduk di kelas 3 SD Negeri Motabang. 

Surat Tanda Lulus yang dikantongi Salihi Mokodongan dari SD Negeri Motabang ditanda-tangani oleh Hadijah Paputungan-Damopolii. Tanda lulus itu pula yang bukti kerasnya saat ini masih di tangan Salihi Mokodongan.

Bagaimana dengan Surat Keterangan Pengganti Ijazah yang dipersoalkan Kadis Pendidikan Bolmong, Ulfa Paputungan, Ketua Forum Pemuda Peduli Bolaang Mongondow (FP2BM, Roni Mokoginta, dan sejumlah saksi lain? Di sinilah persoalannya, karena beberapa saksi –termasuk KPU Bolmong—menyatakan bahwa mereka mengacu pada Tanda Lulus yang dikantongi Salihi Mokodongan. Untuk mendapatkan ijazah Paket B dan Paket C, Salihi Mokodongan mendasarkan pada Tanda Lulus yang ditandatangani Hadijah Paputungan-Damopolii, dan bukan Surat Keterangan Pengganti Ijazah yang ‘’katanya’’ bertanda 2008 tapi dengan materai yang baru beredar 2010.

Di persidangan juga terungkap pengakuan saksi ahli dari Badan Nasional Standar Nasional Pendidikan (BNSP) yang diajukan pasangan penggugat Didi Moha-Norma Makalalag, yang mengakui bahwa yang berhak menyatakan seseorang lulus dari pendidikan Paket B dan Paket C adalah panitia penyelenggara. Dengan kata lain di tangan Kepala Bidang Kesetaraan Pendidikan di Diknas Provinsi. Sedang yang berhak mengeluarkan ijazah adalah Kepala Diknas setempat, di mana peserta Paket B atau C melaksanakan pendidikannya.

Mantan Kepala Diknas Kota Kotamobagu, yuridiksi di mana Salihi Mokodongan mendapatkan ijazah Paket B dan Paket C-nya, Hamri Manoppo, bersaksi bahwa setelah memeriksa semua dokumen dan mendapatkan laporan dari para staf (termasuk melihat daftar nilai yang dicapai peserta), dia lalu menanda-tangani ijazah dari semua mereka yang dinyatakan lulus. Kesaksian Hamri Manoppo ini mementahkan spekulasi bahwa ijazah Salihi Mokodongan abal-abal dan tidak sesuai prosedur.

Lalu jarak ijazah Paket B dan Paket C Salihi Mokodongan yang hanya berselisih 18 bulan; dan bukan dua tahun? Tampaknya masalah ini terletak pada penafsiran apakah dua tahun yang dimaksud adalah jumlah bulan yang harus 24; atau dua tahun dalam pengertian tahun ajaran. Kalau pengertiannya tahun ajaran, maka tidak ada lagi perdebatan.

Kita semua tahu, anak sekolah tidaklah ujian di setiap Juni, tapi mundur beberapa bulan ke belakang (saat ini ujian akhir sekolah bahkan dilaksanakan paling lambat April). Kalau standarnya harus tepat 24 bulan (sesuai kalender), maka pastilah semua ijazah yang dikeluarkan di negeri ini tergolong abal-abal karena pasti jumlah bulan di mana anak didik menempuh pendidikan kurang dari 36 bulan (kalau itu untuk tingkat SMP dan SMU).

Saya tidak akan menginterpretasi lebih jauh fakta-fakta yang diajukan ke depan MK lewat saksi-saksi dari Salihi Mokodongan-Yani Tuuk. Apalagi besok (Selasa, 19 April 2011) Majelis Hakim MK akan meng-konfrontir saksi-saksi yang diajukan Didi Moha-Norma Makalalag dan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk. Di antara para saksi itu, saya ingin tahu bagaimana Lukman Lobud yang bersaksi sebagai Pengawas Pengganti, bahwa dalam mendapat ijazah Paket B, Salihi Mokodongan menggunakan ‘’joki’’, Linda SS.

Siapa yang benar antara Lukman Lobud dan Linda SS (yang menyatakan dia tidak pernah menjadi joki ujian Paket B untuk Salihi Mokodongan), kita ketahui setelah konfrontir. Satu hal yang mengganggu saya: Kalau Lukman Lobud adalah Pegawas Pengganti –tentu dia punya kuasa mengawasi proses ujian--, mengapa tidak mengambil tindakan apa-apa saat mengetahui ada peserta yang diwakili ‘’joki’’?

Persidangan sengketa Pilkada Bolmong, bagi kita orang Mongondow, memang menyedot perhatian dan keingintahuan. Khusus bagi saya pribadi, makin jelas ada yang berdusta di antara orang-orang yang terlibat, boleh jadi  penggungat, yang digugat, atau saksi-saksi yang dihadirkan (dan akan dihadirkan). Siapa para pendusta itu, kita tunggu saja bersama akhir ‘’drama’’ ini.***

Sunday, April 17, 2011

William Kamkwamba, Salihi Mokodongan dan Keberanian Bermimpi

DARI namanya, Walliam Kamkwamba, tentu bukanlah orang Mongondow. Tidak ada hubungannya pula dengan wilayah yang membentang di leher ujung Pulau Sulawesi yang kini terbagi menjadi empat kabupaten dan satu kota ini.

Saya ingin bercerita tentang anak muda dari Malawi, Afrika, ini karena dua sebab: Pertama, sepanjang akhir pekan (sejak dari Kota Kotamobagu hingga kembali ke Jakarta, Sabtu, 16 April 2011), saya membaca The Boy Who Harnessed the Wind: Creating Currents of Electricity and Hope (2009) yang dia tulis bersama Bryan Mealer. Buku luar biasa ini sudah diterbitkan di Indonesia awal April lalu oleh Penerbit Literati dengan tajuk Bocah Penjinak Angin. Kedua, selama menyimak halaman demi halaman pahit-getir riwayat William Kamkwamba, anehnya yang terbayang di kepala saya adalah sosok calon Bupati Bolmong 2011-2016 yang sudah terpilih, Salihi Mokodongan.

Alkisah, William Kamkwamba yang dilahirkan 5 Agustus 1987 di Dowa, Malawi, tumbuh di Desa Masitala, Wimbe (sekitar 2,5 jam perjalanan dari ibukota Malawi), putus sekolah di usia 14 tahun karena keluarganya –yang hidup dari bertani tembakau dan jagung— tak mampu membiayai. Ketika itu Malawi dilanda wabah kelaparan dan seluruh daya yang dimiliki keluarganya harus dikerahkan sekadar bertahan hidup.

Dihimpit derita dan kelaparan, William berpaling ke perpustakaan reyot di sekolah dasar dekat rumahnya dan menemukan buku Using Energy. Buku ini menginspirasi dia untuk membuat kincir angin penghasil listrik –yang masih menjadi barang langka di desanya, bahkan di seluruh Malawi. Anak putus sekolah ini kemudian memulung material apa saja yang mungkin digunakan mewujudkan mimpinya. Begitu terobsesinya William dengan mimpinya hingga dia dianggap gila oleh kebanyakan penduduk desa.

Tatkala dia akhirnya berhasil membangun kincir angin yang mengalirkan listrik ke rumahnya dan hanya cukup menghidupkan bola lampu mobil –tapi bagi keluarganya yang hanya mengenal lampu minyak tanah, itu sudah sebuah keajaiban--, William Kamkwamba segera jadi pusat perhatian. Mula-mula hanya oleh orang-orang sedesa, lalu meluas ke seluruh Malawi, Afrika, dan akhirnya dunia.

Kincir angin itu mengubah hidupnya dari bocah miskin Malawi menjadi salah satu anak muda yang dianggap sebagai ‘’berlian’’ Afrika di masa datang. Dia diundang dan bicara di konferensi serta pertemuan internasional energi dan elektronika pretisius; didukung kembali ke bangku sekolah –yang sudah lima tahun dia tinggalkan--; dan bahkan menerima sejumlah penghargaan kelas dunia.

Kegigihan William yang sejak 2010 melanjutkan pendidikannya di Amerika  membuat media sekaliber Wall Street Journal menulis khusus profil tentang dia. Hasil kreasinya, yang membuat namanya mendunia, sebagian besar kini dipajang di Meseum Ilmu Pengetahuan dan Industri Chicago. Sedang buku yang dia tulis bersama Bryan Mealer dipilih sebagai salah satu dari 10 buku terkemuka Amazon.Com pada 2009.

Berani Bermimpi

Pertanyaannya: dimana hubungan antara William Kamkwamba dan Salihi Mokodongan? Kalau ada yang menganggap saya cuma mau pamer buku dan menghubung-hubungkan antara dua sosok itu, mari saya uraikan lebih jauh.

Dua orang itu sesungguhnya tak jauh beda. Hanya kisah hidup Salihi Mokodongan masih dianggap ‘’terlalu biasa’’ dan belum spektakuler ditulis, kecuali bila dia akhirnya dilantik sebagai Bupati Bolmong 2011-2016 (bayangkan, dia akan menjadi Bupati pertama di Indonesia yang hanya mengantongi Surat Tanda Lulus SD, Ijazah Paket B untuk SMP, dan Ijazah Paket C untuk SMU).

Kesamaan terdekat William Kamkwamba dan Salihi Mokodongan adalah keberanian mereka bermimpi. Juga kerja keras mewujudkan mimpinya. Saya tidak mengatakan mimpi Salihi Mokodongan yang dimaksud adalah menjadi Bupati Bolmong; melainkan sesuatu yang ditarik ke belakang ketika dia menamatkan SD di Lolak dan setelah itu putus sekolah.

Di satu percakapan panjang dengan Om Salihi, terungkap bahwa dia tak pernah bercita-cita jadi pengusaha perikanan (pemilik armada kapal penangkap ikan) sukses dengan ekonomi yang mapan –apalagi jadi calon Bupati terpilih—seperti saat ini. Kerja kerasnya, mulai dari jadi pedagang ikan kecil-kecilan, kemudian pedagang pengumpul, lalu pemilik perahu, dan akhirnya penguasa armada kapal tangkap (mungkin satu-satunya dari etnis Mongondow), tak lebih dari upaya untuk hidup lebih baik. Karena dia kapok menjadi orang susah.

Mimpi Om Salihi yang berharap bisa makan cukup dan tidur nyenyak  ‘’atas karunia laut”, tak beda dengan William Kamkwamba yang bersusah payah membangun kincir angin agar punya listrik, hingga mereka mereka sekeluarga dapat mendengarkan radio dan punya penerang supaya tak buru-buru naik ke tempat tidur setelah malam turun. Kalau kemudian mereka mendapatkan yang melebihi mimpi sederhananya, itu karena ‘’siapa yang menanam, dia pula yang menuai’’. Dan, ‘’hanya mereka yang berjalan malamlah yang akan melihat fajar merekah’’.

Keduanya, untuk skala yang berbeda, juga membawa harapan (minimal) pada orang-orang di sekitarnya. Jauh sebelum Salihi Mokodongan digadang-gadang ikut serta di Pilkada Bolmong, namanya sudah kerap disebut sebagai contoh baik kerja keras, kerendahan hati, dan rasa syukur. Yang datang dari keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi, bukan ‘’anak sekolahan’’ di Mongondow, dan bukan pula kerabat dari elit politik dan birokrasi, punya penghiburan, sebab: Lia pa Salihi Mokodongan, nyanda skolah tapi karna karja kras boleh hidop sanang deng banya doi.

Kata terakhir, ‘’doi’’, sangat mengganggu saya setiap kali mempercakapkan Om Salihi, seolah-olah siapa saja yang berhubungan dengan dia semata karena ingin ikut merasakan uang yang dimilikinya. Sama dengan rumor yang disebar kemana-mana bahwa menjelang Pilkada Bolmong, Rabu (22 Maret 2011) lalu, pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk membanjiri para pemilih dengan uang yang tak terhitung jumlahnya. Betapa berbahayanya imajinasi yang lalu dianggap sebagai fakta.

Kenyataannya, di Pilkada lalu pemilih Salihi Mokodongan-Yani Tuuk umumnya adalah ‘’orang-orang kecil'' yang melihat pasangan ini sebagai harapan mereka sendiri. Sama seperti William Kamkwamba yang mendunia karena mereka yang sama miskin dan hampir kehilangan harapan melihat dia sebagai representasi dari mimpi mereka.

Usai membaca membaca The Boy Who Harnessed the Wind: Creating Currents of Electricity and Hope, ketika Garuda 601 menurun mendekati Bandara Soekarno-Hatta, saya memutuskan tidak ambil pusing lagi apakah Salihi Mokodongan-Yani Tuuk akan dilantik sebagai Bupati-Wabup Bolmong 2011-2016 atau tidak. Kalau gugatan Didi Moha-Norma Makalalag dan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit akhirnya berbuah Pilkada ulang (dan yang terburuk Salihi Mokodongan tak boleh ikut serta karena satu dan lain hal); hormat, simpati, dan empati saya terhadap Om Salihi tidak bakal berkurang sedikit pun.

Buat saya, dia (seperti William Kamkwamba dan banyak orang hebat lain di muka bumi ini) selalu bisa menjadi contoh bagaimana mimpi yang paling mustahil pun bisa diwujudkan.***

Friday, April 15, 2011

Sengketa Pilkada Bolmong: Media Amatir, Wartawan Asal-Asalan


HARIAN Tribun Manado, Kamis (14 April 2011) menurunkan berita Penggugat Hadirkan 8 Saksi, dengan dua anak judul, Pojokkan Salihi dan KPUD Bolmong serta Sidang Gugatan Pemilukada di MK. Untuk isu yang sama Manado Post menulis Saksi ADM Norma: Ijasah Salihi Asli. Sedangkan Komentar memajang tajuk ADM-NM Ajukan Bukti Ijazah Palsu: Saksi Akui Keasliannya.

Di blog ini, sebelum tiga harian rujukan pembaca di Sulut itu terbit, Rabu malam (13 April 2011) saya mengunggah tulisan Kesaksian yang Memalukan: Fakta, Lamunan dan Fantasi, yang menyoroti bagaimana saksi utama Didi Moha-Norma Makalalag yang menggugat KPU dan pasangan pemenang Pilkada Bolmong, Salihi Mokodongan Yani Tuuk di MK; justru mementahkan gugatan mereka sendiri. Yang khusus saya soroti adalah kesaksian Kepala Dinas Pendidikan (Kadiknas) Bolmong, Ulfa Paputungan, dan Ketua Forum Pemuda Peduli Bolaang Mongondow (FP2BM), Roni Mokogonta. Musababnya karena dua orang inilah yang tampaknya punya ‘’dendam membara’’ terhadap Salihi Mokodongan, dengan alasan yang hanya mereka dan Tuhan yang tahu.

Amatir dan Asal-Asalan

Menulis artikel blog tentu bukanlah kerja jurnalistik. Bagi pembaca yang mampir melogok isinya, juga mungkin sekadar lucu-lucuan, apalagi yang saya tulis bukanlah berita atau analisis rumit, melainkan essay ringan atau artikel biasa saja. Walau demikian, saya tidak akan menggunakan sumber info yang sumir dan samar-samar sebagai dasar menulis; apalagi cuma kotek ayam atau lenguhan burung hantu.

Itu sebabnya saya sangat terkejut saat menyimak berita yang diturunkan Tribun Manado, yang nyaris sepenuhnya hanya mengutip Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Sulut, Anton Miharjo. Sumber lain,  anggota KPU Bolmong, Uyun Pangalima, disitir hanya untuk mengkonfirmasikan kehadiran saksi lain di sidang MK yang akan dilanjutkan Senin depan (18 April 2011).

Sepengetahuan saya Tribun Manado adalah media yang berada di bawah payung Kelompok Kompas. Menyebut Kompas, awam pun akan sepakat bahwa dalam praktek jurnalistiknya media ini terkenal sangat hati-hati dan profesional, apalagi kalau sudah menyangkut etika jurnalistik dan aspek-aspek paling dasar jurnalisme. Kehati-hatian Kompas bahkan membuat tagline-nya, Amanat Hati Nurani Rakyat kerap dipelesetkan jadi Amat Hati-Hati.

Seluruh kesan positif terhadap Kelompok Kompas itu runtuh setelah saya berulang kali membaca berita Penggugat Hadirkan 8 Saksi. Berita ini bukan hanya mengutip sumber yang tak jelas kompetensinya, tetapi juga ditulis serampangan dan jauh dari panduan dasar yang mestinya ditaati jurnalis yang bahkan baru belajar menjadi profesional, dan tentu saja standar sebuah media  kredibel. Dibandingkan dengan dua harian lain yang menurunkan isu yang sama, kita bisa pula menyimpulkan berita tersebut bukan hanya sumir tetapi juga ditulis dengan ‘itikad yang patut dipertanyakan’’.

Dengan menggunakan standar generik, Kode Etik Jurnalistik Indonesia (versi 2006 yang ditanda-tangani 29 organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers), berita yang diturunkan Tribun Manado itu cacat secara etika. Media ini –dan wartawannya—setidaknya melanggar Pasal 1 hingga 3 Kode Etik Jurnalistik Indonesia.

Tiga pasal yang saya maksudkan itu itu menyebutkan, pasal 1:  Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Pasal 2: Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Dan pasal 3:Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Sumber yang dikutip Tribun Manado sangat patut dipertanyakan independensi dan kredibilitasnya. Dia memang mengaku sebagai Ketua KIPP, tapi di seluruh tubuh berita pernyataannya jelas memihak pasangan  Didi Moha-Norma Makalalag. Tidak ada satu pun penjelasannya yang mengungkap bahwa secara substantif saksi-saksi yang diajukan Didi Moha-Norma Makalalag justru membenarkan bahwa ijazah Paket B dan C Salihi Mokodongan sah adanya. Media dan wartawan mestinya sadar bahwa gugatan terhadap ijazah Salihi Mokodongan adalah soal sah atau tidaknya; bukan berkaitan dengan proses mendapatkannya.

Dalam catatan saya Anton Miharja sendiri bukan lagi pengamat yang independen terhadap proses politik di Sulut. Di Pilkada Gubernur-Wakil Gubernur (Wagub) Sulut lalu, dia jelas berdiri bersama-sama pasangan SH Sarundajang-Djouhari Kansil. Demikian pula di Pilkada Walikota-Wakil Walikota (Wawali) Manado dia menjadi bagian dari tim Hanny J Pajouw-Anwar Panawar. Di Pilkada Bolmong, hanya dengan membaca pernyataan-pernyataannya, kita bisa menyimpulkan dia jelas mendukung Didi Moha-Norma Makalalag.

Media –juga para wartawan—boleh tidak menyukai Salihi Mokodongan dan pasangannya, Yani Tuuk. Tapi dalam menulis dan menyiarkan berita, mereka harusnya tidak ‘’mengencingi’’ kode etik yang merupakan aspek paling dasar seseorang layak disebut ‘’wartawan’’ atau sekadar tukang ketik belaka. Dengan kata lain, saya tegas mengatakan dalam konteks berita Penggugat Hadirkan 8 Saksi, Tribun Manado menulis berita dengan mengutip sumber yang tidak independen, tidak akurat dan berimbang, dan karenanya juga patut diduga beritikad buruk. Cara mendapatkan berita tersebut juga dilakukan jauh dari standar profesional, terutama karena tidak diuji , jauh dari berimbang, serta mencampurkan antara fakta dan opini.

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (Three Rivers Pers, New York, 2001), menulis Sembilan elemen penting yang harus dijadikan pegangan oleh para jurnalis. Mereka menyatakan, 1) Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran; 2) Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga; 3) Intisari jurnalisme adalah sebuah disiplin verifikasi; 4) Wartawan harus tetap independen dari pihak yang mereka liput; 5) Memantau Kekuasaan dan Menyambung Lidah Mereka yang Tertindas; 6) Jurnalisme sebagai Forum Publik; 7) Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting, menarik, dan relevan; 8) Jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional; dan 9) Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.

Khusus tentang intisari jurnalisme, yaitu disiplin verifikasi, Kovach dan Rosenstiel memberikan penegasan lewat lima konsep, yaitu jurnalis diharamkan menambah atau mengarang apa pun; menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar; jurnalis harus pula bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasinya dalam melakukan reportase;  jurnalis harus bersandar terutama pada reportasenya sendiri; serta bersikaplah rendah hati.

Mari kita menilai berita Penggugat Hadirkan 8 Saksi menggunakan Sembilan elemen jurnalistik-nya Kovech dan Rosenstiel. Pembaca, Anda yang punya pengetahuan pas-pasan berkenaan dengan media, wartawan, dan cara kerja mereka pun pasti sepakat, bahwa Tribun Manado terperosok menjadi sekadar media amatir dengan wartawan yang bekerja asal-asalan. Yang memiriskan, berita itu dipampang pula di halaman utama.***

Wednesday, April 13, 2011

Kesaksian yang Memalukan: Fakta, Lamunan dan Fantasi


MANADO-KOTAMOBAGU biasanya saya tempuh sekitar 3,5 jam. Itu perjalanan yang sepenuhnya santai. Sudah pula dengan memperhitungkan ‘’sepanjang jalan berlobang’’ yang mulai terasa begitu memasuki wilayah Bolmong.

Saya, yang biasanya mengambil waktu tidur dalam perjalanan, bahkan tanpa membuka mata bisa menduga berapa menit lagi tiba di Jalan Amal, Mogolaing (rumah ayah-ibu), hanya dari hentakan mobil yang menerjang lobang. Semakin banyak hentakan, artinya mobil sudah melewati Inobonto. Tampaknya setelah sekian tahun saya kritik habis-habisan, Bolmong memang masih ‘’Kabupaten Ongol-Ongol’’.

Nah, kali ini dalam perjalanan ke Kotamobagu –yang akan dilanjutkan ke Bolmong Selatan Kamis (14 April 2011)— saya harus berjibaku dengan signal telepon, yang mengabarkan proses sidang gugatan Pilkada Bolmong di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh pasangan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit dan Didi Moha-Norma Makalalag. Sidang hari ini, yang dimulai pukul 17.00 WIB, adalah mendengarkan kesaksian saksi dari dua pasangan penggugat itu.

Didi Moha-Norma Makalalag yang ‘’menuduh’’ KPU Bolmong berkonspirasi dengan Salihi Mokodongan untuk meloloskan yang bersangkutan sebagai calon Bupati Bolmong 2011-2016 (padahal ijazah Paket B dan Paket C yang dikantongi Om Salihi) menghadirkan sejumlah saksi yang selama ini memang dikenal ngotot. Mereka adalah Kepala Dinas Pendidikan (Diknas) Bolmong, Ulfa Paputungan, Raula Sugeha, Lukman Lobud, Roni Mokoginta, Oli Mokodongan, Yaman Mokoagow dan Dewi Miftah. Sedangkan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit menghadirkan Aljufri Kobandaha dan Ketua DPC PPDI Bolmong.

Kali ini saya tidak akan membahas saksi yang diajukan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit. Kecuali agak kurang paham apa relevansi dihadirkannya Aljufri Kobandaha, yang bukan ketua partai politik (Parpol). Yang harus dibuktikan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit adalah bahwa benar dukungan Parpol agar dia layak diloloskan oleh KPU Bolmong mencapai angka minimal (15 persen). Kalau Aljufri hanya dihadirkan sebagai Ketua Tim Pemenangan untuk menceritakan proses verifikasi, menurut saya cuma menjadi alasan yang tepat buat dia untuk jalan-jalan ke Jakarta sebagai ‘’wisatawan politik’’.

Ulfa dan Roni Memang Perkasa

Di satu pertemuan dengan beberapa elit Mongondow pekan lalu, ada cerita tentang Kadiknas Bolmong, Ulfa Paputungan, yang membuat saya terbahak-bahak. Menurut empu-nya cerita, beberapa waktu lewat Ulfa menelepon Ketua DPW PAN Sulut yang juga Wawali Kota Kotamobagu, Tatong Bara, dan meminta ampun dan memohon-mohon dengan alasan dia tampak mencari-cari masalah dengan ijazah Salihi Mokodongan karena berada di bawah tekanan.

Entah siapa yang menekan Ulfa Paputungan; entah apa pula bentuk tekanan itu. Yang jelas, si pencerita dengan sangat meyakinkan mengutip pernyataan Ulfa via telepon, bahwa, ‘’Ibu mo suruh apa lei kita mo bekeng skarang ini. Ampun jo kasiang.’’ Tak urung saya terbahak-bahak mendengar cerita itu.

Sewaktu berjumpa Wawali Kotamobagu, saya iseng bertanya apakah benar Ulfa Paputungan menelepon dia dan meminta ampun berkaitan dengan segala ulah dan manuver-nya pasca Pilkada Bolmong, 22 Maret 2011 lalu. Tatong Bara tidak menjawab pertanyaan saya, tapi malah terbahak-bahak. Saya tidak bisa menafsirkan apa maksud tawa itu. Dan tidak pula mengejar jawaban dari pertanyaan yang saya lontarkan. Ulfa kok repot diurusin. Buat saya, dia memang menjengkelkan dan cukup diejek-ejek saja.

Terbahak-bahak itu pula yang menjadi respons saya ketika mendengarkan laporan langsung dari sidang MK hari ini (Rabu, 13 April 2011), saat Ulfa dihadirkan sebagai saksi. Kesaksiannya bukan hanya lucu tapi juga menunjukkan Ulfa memang cuma kelas teri yang menjadi Kepala Dinas entah dengan pertimbangan apa. Saat ditanya oleh pembela pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, berkaitan dengan ijazah Om Salihi, dalam sekejap kegarangan Ulfa yang digambarkan di media massa seolah-olah sudah mengantongi bukti segudang, langsung melempem.

Pembaca, Ulfa membenarkan bahwa ijazah Paket B dan Paket C milik Salihi Mokodongan adalah sah adanya. Kalau dugaan ijazah bermasalah yang dijadikan dasar gugatan Didi moha-Norma Makalalag ternyata sah, lalu lelucon apa sebenarnya yang sedang mereka pentaskan?

Tidak kurang konyol adalah Ketua Forum Pemuda Peduli Bolmong (FP2BM), Roni Mokoginta, yang dihadirkan karena punya riwayat gigih menyoal keabsahan ijazah Salihi Mokodongan. Dia pulalah yang melaporkan dugaan Om Salihi menggunakan ijazah bermasalah ke KPU Bolmong dan bahkan terakhir ke Markas Besar (Mabes Polri). Di hadapan Majelis Hakim MK, ketika ditanya dari mana dia mendapatkan bukti bahwa ijazah Salihi Mokodongan bermasalah (palsu kek, bodong kek, atau apa kek), jawabannya patut diacungi jempol: ''Dari internet!''

Luar biasa Ketua FP2BM ini, yang memetik informasi entah dari situs, blog, atau facebook mana, lalu menjadikan dasar menyerang kredibilitas seseorang yang mungkin tidak dia kenal (untunglah Roni tidak menjawab bahwa kecurigaan terhadap ijazah Om Salihi dia petik dari pohon beringin di halaman Kantor Bupati Bolmong yang tumbang beberapa waktu lalu). Berapa besar Roni Mokoginta dibayar untuk memberikan kesaksian yang justru melecehkan isi kepalanya sendiri?

Jangan-jangan Roni ini sama sekali tidak makan sekolahan. Curiga boleh, toh. Bagaimana saya tidak punya syak wasangka terhadap pendidikan (dan kualitasnya) dari orang macam Roni –juga Ulfa Paputungan—yang berani-beraninya menjadi saksi di mahkamah terhormat seperti MK, hanya dengan modal campuran antara reka-reka, lamunan, dan fantasi mereka (dan gerombolannya) sendiri. Jangan salahkan bila orang seperti saya (yang memang gagal makan sekolahan dan berulang kali ‘’patah pensil’’) meremehkan mereka dengan semena-mena.

Lagipula sejak tahu akan ada gugatan terhadap kemenangan pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk di Pilkada Bolmong, saya memang mengumumkan akan berdiri bersama mereka. Kalau sejumlah orang boleh berduyun-duyun mendukung Didi Moha-Norma Makalalag, mengapa saya tidak boleh menyokong Salihi Mokodongan-Yani Tuuk?

Bagaimana dengan saksi-saksi lain dari pasangan penggugat Didi Moha-Norma Makalalag? Setali tiga uang dengan Ulfa Paputungan dan Roni Mokoginta, mereka tidak lebih baik. Secara subjektif saya berpendapat kesaksian mereka justru menguntungkan posisi Salihi Mokodongan.

Tanpa bermaksud menakut-nakuti, Ulfa Paputungan dan Roni Mokoginta perlu menghentikan lamunan serta fantasi mereka; dan segera melihat fakta-fakta yang ada di hadapan. Bila ijazah Salihi Mokodongan terbukti absah tanpa cacat-cela di MK, dua orang ini harus siap-siap menghadapi gugatan yang saya yakin bakal menyakitkan. Apa yang mereka lakukan dalam isu ijazah itu, lebih dari sekadar mencemarkan nama baik.***