DARI bilangan almanak, Minggu, 4 Desember 2016, dugaan cabul dengan
kekerasan (bahkan dari fakta yang kian terungkap sebenarnya sudah masuk
kategori percobaan pemerkosaan) oknum Kabid di Dinas PU yang juga Ketua KNPI KK
telah menginjak hari keenam. Yang mengherankan, Pemkot--termasuk Walikota,
Sekkot, dan MKE--, polisi, LSM perlindungan perempuan dan anak, termasuk
organisasi tempat oknum mesum itu berkiprah, bersikap seolah peristiwanya
adalah kasus kecil.
Masya
Allah, belakangan bahkan ada sejumlah oknum yang
terang-terangan ingin menutup-nutupi kasusnya dengan menyuap media dan
wartawan. Petandanya terang-benderang. Telusuri saja di antara sekitar lebih 35
situs berita di BMR, yang sama sekali tak memberitakan kasus ini adalah mereka
yang harganya cuma berada di kisaran Rp 500-Rp 1 juta. Terlalu murah untuk
reputasi dan tak beda dengan ''makan uang lendir''.
Lebih menjijikkan lagi, oknum-oknum yang
bergerak itu selama ini adalah yang omongannya paling koar dan sok idealis.
Yang kemana-mana membanggakan diri sebagai kelas orang berpendidikan, punya
komitmen terhadap kemaslahatan Mongondow, dan merasa paling layak dianggap tokoh.
Tai kucinglah mereka semua.
Menutup-nutupi borok bernanah yang sudah
menjadi pengetahuan umum, bahan gunjing dan cela, sama dengan berkubang lumpur
bersama pelakunya. Tapi memang tidak mengherankan. Orang bijak dan para tetua
selalu menasihati, waspadalah dalam pergaulan. Ajak hanya berhimpung dengan
ajak. Babi cuma cocok dengan kumpulan babi. Tentu absah belaka jika kita, umum
yang akhirnya tahu persis kasusnya hingga detil, berkonklusi mereka yang masih
berusaha melindungi oknum cabul, sama belaka kelakuannya. Sesama cabul dan
mesum memang tak malu-malu saling melindungi.
Pewarta siapapun yang sudah makan pelatihan
jurnalistik dasar pasti sadar, isu pencabulan dengan kekerasan sungguh gurih, terlebih
melibatkan tokoh yang sedang jadi perhatian publik, terkait pula masalah yang
diprihatini secara nasional. Sebagai materi berita, kasusnya memenuhi seluruh
mimpi media dan jurnalisnya.
Melihat fenomena gigihnya konspirasi dan
komplotan jahat yang berusaha menimbun isu gawat ini dari kewarasan publik,
saya mengapresiasi tinggi beberapa media (cetak dan situs berita) yang masih
terus memperbaharui isu pencabulan dengan kekerasan itu. Mereka adalah benteng
terakhir yang menunjukkan tetap dipeliharanya kewarasan di KK. Apalagi
korbannya, seorang perempuan di bawah umur, pelajar berusia 16 tahun, disenonohi
pelaku yang selain punya kuasa, duit, juga didukung segerombolan bajingan yang
cukup punya kemampuan persuasi dan agitasi.
Bila dikuak lebih dalam, jejaring dan
temali oknum tercela itu juga terkait--setidaknya di KK--dengan politikus papan
atas, birokrat elite, dan tokoh-tokoh publik terkemuka. Bukan rahasia lagi,
misalnya, terpilihnya dia menjadi Ketua KNPI tak lepas dari adanya campur
tangan beberapa tokoh. Mungkin pula dengan dana tak sadikit. Sebagai sebuah
investasi, galib jika ada upaya menyelamatkan oknum cabul ini, walau itu
melawan seluruh fakta, keinginan pubik, termasuk pula lampu merah bahaya
kekerasan dan pelecehan perempuan dan anak yang tengah digiatkan di negeri ini.
Karenanya, betapa pandir dan omong-kosongnya
peryataan Sekretaris KNPI KK, Hendra Manggopa, yang dikutip totabuan.co (http://totabuan.co/2016/12/hendra-knpi-kotamobagu-masih-hargai-asas-praduga-tak-bersalah/).
Tuan Sekretaris, kilahan Anda, ''Biarkan proses hukum berjalan dulu. Kita hargai
asas praduga tak bersalah,” sungguh tak bermutu. Kasus cabul yang makin jelas bukan
dugaan lagi, terlebih tak beraninya oknum pelakunya sedetik saja tampil di
depan umum, tidak memerlukan pembelaan yang melecehkan intelektualitas pengurus
dan seluruh kader organisasi seperti KNPI.
Gawatnya isu kekerasan dan pelecehan
perempuan dan anak semestinya menempatkan setiap oknum pelakunya sebagai
''terduga bersalah'' hingga dia membuktikan sebaliknya. Sebagai ketua
organisasi yang butuh publikasi, minta (bahkan instruksikan) Ketua KNPI KK
tampil di depan media dan wartawan, menjelaskan duduk-soalnya seterang dan
selengkap-lengkapnya. Kami tidak akan risih kok,
sekalipun kisahnya barangkali sama birunya dengan novel-novel porno Enny Arrow
atau Nick Carter. Pula, apa susahnya seluruh jajaran pengurus yang lebih
sebulan lalu beriaan berjaket organisasi dilantik mengampuh KNPI KK, meminta
keterangan langsung pada yang bersangkutan?
Ketua KNPI KK dipilih oleh para anggota.
Maka seluruh anggota organisasi ini, terutama mereka yang memilih dia dan
pengurus yang dia pilih, wajib tahu dengan segera kebenaran (atau
ketidakbenaran) dugaan kasus pencabulan dengan kekerasan itu. Kecuali jika para
pemangku kepentingan utama ini terpaksa memilih orang yang salah karena sogok,
tekanan, kepentingan sesat, atau sebab terlalu dungu menilai mana yang
emas dan yang cuma loyang.
Organisasi yang punya kehormatan, norma,
etika, dan mekanisme, memiliki cara sendiri menegakkan marwahnya. Berlindung
pada logika mesti menunggu proses pembuktian hukum oleh pihak berwenang
(polisi, kejaksaan, dan hakim), adalah cara cuci tangan murahan. Lalu apa kerja
nyata pengurus organisasi ini? Untuk apa ada pengurus tingkat provinsi dan DPP?
Katakanlah, kalau aparat hukum memerlukan waktu berbulan menyelesaikan
kasusnya, apakah dengan demikian organisasi ini juga harus menunggu sedemikian
lama untuk akhirnya membersihkan kotoran ayam encer yang ditempelkan di jidat?
KNPI adalah organisasi tempat berhimpun
kaum muda yang pengurus dan anggotanya dikenal berpendidikan di atas rata-rata.
Didirikan oleh Kelompok Cipayung, forum bersama lima organisasi mahasiswa (HMI,
GMKI, GMNI, PMII, dan PMKRI), yang menandatangani Kesepakatan Cipayung, Jawa
Barat, pada 22 Januari 1972, akar organisasi mahasiswa ini menempatkan KNPI
sejak mula dipercaya punya pemihakan yang solid.
Sayangnya, pemihakan itu tak saya lihat ada
di KNPI KK dan Sulut. Berpusingnya mereka seperti kucing mengejar ekor dalam
kasus yang melibatkan ketuanya, sama dengan maklumat organisasi ini sekadar
tempat berhimpun orang-orang muda yang bingung dan nir-ideologi. Gampang
diseret dan diarahkan sekadar meramaikan dinamika sosial atau politik praktis. Bahwa
akhirnya organisasi ini hanya berisi sekumpulan boneka dan ''pak turut'' yang
gampang bilang ''proses'' dan ''mekanisme'' tanpa tahu bagaimana menjalankan
dan menerapkannya.
Jadi, begini saja, teruslah mencari-cari
alasan dan mengulur waktu. Tapi jika akhirnya hukum berjalan dan membuktikan oknum
terujung birahi itu cabul disertai kekerasan, jangan salahkan jika umum juga
tidak lagi hanya menuntut tindakan terhadap dia. Sekalian saja organisasi ini
dibubarkan supaya bisa menghemat APBD. Bukankah aktivitas organisasi ini di KK,
sedikit-banyak, juga turut menggunakan uang rakyat?***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
BMR: Bolaang Mongondow Raya; DPP:
Dewan Pengurus Pusat; HMI: Himpunan
Mahasiswa Islam; GMKI: Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia; GMNI: Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia; Kabid:
Kepala Bidang; KK: Kota Kotamobagu; KNPI: Komite Nasional Pemuda Indonesia;
LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; MKE: Majelis Kode Etik; Pemkot: Pemerintah Kota; PMII: Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia; PMKRI: Perhimpunan Mahasiswa
Katolik Republik Indonesia; PU:
Pekerjaan Umum; dan Sekkot:
Sekretaris Kota.