DIANGKAT dari novel Nelson DeMille yang terbit pada 1992, The General's Daughter (1999) telah saya
tonton berkali-kali. Film yang disutradarai Simon West dengan pemeran utama John
Travolta, Madeleine Stowe, dan James Cromwell, ini memang memukau. Kisahnya
tentang harga diri dan kehormatan seorang anak perempuan yang tergadai karena
alasan politik dan ambisi kekuasaan ayahnya.
Elisabeth Campbell (diperankan Leslie
Stefanson) adalah kadet perempuan brilian di Akademi Militer West Point.
Prestasinya, yang mengalahkan para kadet lak-laki, menimbulkan amarah dan
akhirnya balas dendam. Satu malam, dalam latihan perang yang dilakukan
sebagaimana aslinya, Elisabeth disergap, disumpal, dan ditunggak telentang
dengan pasak tenda, lalu diperkosa beramai-ramai.
Perempuan malang itu ditemukan sekarat,
remuk lahir-bathin, dan bahkan tertular penyakit kelamin. Ayahnya, seorang
jenderal yang karirnya tengah berkibar, terbang pulang dari penugasan di luar
negeri dengan tekad menuntut balas derita puterinya.
Malangnya, dengan mempertimbangkan
dampaknya terhadap program kadet perempuan di West Point serta iming-iming
karir cemerlang, sang ayah tunduk pada kompromi. Dia mengorbankan permohonan
menghiba-hiba puterinya dengan pernyataan dingin, ''Ayah mencintaimu dan mari
lupakan peristiwa itu.''
Bertahun kemudian perempuan itu sudah
menyandang pangkat ''Kapten'' dan berada di bawah pimpinan ayahnya, Letnan
Jenderal Joseph ''Fighting Joe'' Campbell, yang bersiap pensiun dan masuk arena
politik sebagai calon wakil presiden. Lalu tiba-tiba Kapten Elisabeth Campbell
ditemukan tewas, dalam posisi dan kondisi sama persis dengan saat dia
diselamatkan dari pemerkosaan sewaktu masih di akademi.
Bahkan setelah berulang menonton film itu,
menjajak bagian akhir saya tetap tak kuasa menahan getar. Menonton adegan anak
perempuan yang dalam putus asa memohon perlindungan ayahnya, seseorang yang
sesungguhnya punya kuasa tapi memilih berkompromi dengan mengorbankan buah
hatinya, sungguh melelehkan dada.
Itu sebabnya, tatkala diberitahu bahwa
seorang siswi PSG di Dinas PU telah dilecehkan dengan pencabulan disertai
kekerasan oleh seorang Kabid yang juga ketua organisasi kepemudaan terkemuka di
KK, saya bereaksi keras. Ya, barangkali ini saatnya saya mendeder, bahwa saya
sangat mengenal terduga korban itu, seorang pelajar berusia di bawah 16 tahun
yang bercita-cita jadi ahli teknik dari ITB, yang selalu menyapa saya dengan
panggilan ''Om''. Setiap kali saya berada di KK, dia dan para keponakan lain beriungan
di antara kami sekeluarga di rumah milik Sarif Mokodongan dan Ella Lamama di
Panang, Mogolaing.
Saya tahu persis gadis kecil pemalu itu,
yang kepolosannya-- sebagaimana remaja puteri rumahan lainnya--memang
menggemaskan. Dia bahkan cuma bisa tersipu-sipu malu dan buru-buru bersembunyi
di balik punggung tante-tantenya ketika digoda, ''Sapa ngana pe cowok? Bawa kamari dulu biar Pa' Tua' boleh lia, apa
dia buaya, bajingan, atau anak bae-bae.''
Orang waras mana yang tak murka terhadap
perilaku tak senonoh seorang ASN yang punya jabatan cukup tinggi, tokoh
organisasi kepemudaan, di kota yang Walikota dan jajarannya sejak Maret 2016
lalu mencanangkan ''Kota Ramah Perempuan dan Anak''. Inikah wajah pengembangan
P2TP2A yang diinginkan Walikota? Yang bahkan pada Rabu, 2 Maret 2016, menemui
dan mengundang Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana
Susana Yembise, bermuhibah ke KK?
Ingatan umum yang mudah selip barangkali
tinggal samar-samar mengingat kampanye ''Kota Ramah Perempuan dan Anak'' itu
serta kunjungan Menteri Yohana. Maka mari saya ingatkan: jika Walikota dan
jajarannya, yang belakangan ini panen macam-macam penghargaan, sungguh-sungguh
serius ''membereskan'' borok di KK, terutama di internal Pemkot, mohon
segeralah mengambil tindakan. Jangan sampai kelambanan-kelambanan tak perlu
menjadikan masyarakat berkonklusi, ''Butul
jo ini penghargaan-penghargaan yang Pemkot trima atau cuma oca-oca' pake
tipu-tipu politik dengan lobi-lobi?''
Di isu dugaan pencabulan dengan kekerasan
yang kini jadi gunjingan se-BMR itu, salah satu kelambanan parah birokrasi KK
adalah perlindungan terhadap korban. Sekalipun punya P2TP2A yang berada di
bawah BPMD PP & KB, hingga pengambilan keterangan oleh PPA Polres Bolmong,
Jumat, 2 Desember 2016, belum ada pendampingan sama sekali terhadap terduga
korban. Perempuan di bawah umur ini, korban yang semestinya dilindungi, hanya
didampingi kedua orangtuanya saja. Tidak ada ahli hukum, psikolog, atau pakar
perlindungan perempuan dan anak yang ''katanya'' telah dihimpun dengan saksama
di P2TP2A.
Pernyataan dan kampanye politik seringkali
memang cuma indah kabar dari rupa.
Tanpa tindakan serta-merta dan tegas dari
semua pihak, terutama Pemkot, siswi PSG yang diduga diperlakukan tak senonoh
itu bakal berulang kali jadi korban. Termasuk korban muslihat-muslihat genit para
pembela terduga pelaku yang kini menyebarkan aneka gosip dan rumor menyesatkan.
Untuk diingatkan, orang-orang yang kini tampil bersuara itu, alih-alih terduga
pelaku yang justru rapat-rapat menyembunyikan diri, hati-hati dengan langkah
kalian. Anak perempuan ini, yang harga diri dan kehormatannya telah dicemarkan,
juga punya kerabat, termasuk om-om dan tante-tante yang belum kalian cek siapa dan
apa saja mereka itu.
Dengan mengarusutamanya dugaan kasus ini,
segala dalih dan manuver-manuver genit--termasuk konon mendekati para wartawan
dengan iming-iming uang demi menyurutkan pemberitaan isunya--itu percuma
belaka. Tak ada lagi yang mampu membendung cemooh dan label semacam ''kakaw
abul'', ''asoing'', atau Ketua KNP*p*' terhadap terduga pelaku, karena fakta
yang terpapar memang demikian adanya.
Lagipula, harap diingat, amat banyak
perilaku terduga pelaku, baik sebagai ASN, Kabid, maupun tokoh, yang kini
bersiliweran dari tangan pertama ke umum yang luas, yang menunjukkan bahwa apa
yang ditampakkan selama ini cuma kosmetik. Jangan pula para pembela yang
belingsatan mencari-cari pembenaran bakal ditampar fakta baru, bahwa kelakuan
busuk Kabid yang juga ketua organisasi kepemudaan itu terhadap korban terbaru,
bukanlah peristiwa pertama. Sebelumnya sudah ada upaya coba-coba (setidaknya
yang saya ketahui pasti) terhadap seorang perempuan muda, yang segera dihentikan
karena dia digebrak kontan di tempat.
Bila Letnan Jenderal Campbell di The General's Daughter tega mengorbankan
harga diri dan kehormatan putrinya, jangan bermimpi hal yang sama bersedia
dilakukan keluarga terduga korban. Setahu dan seyakin saya, ''jenderal-jenderal''
di sekitar anak di bawah umur ini, yang masih diam dengan menahan dada nyaris
meledak, tidak bakal membiarkan seorang korban akhirnya berkali-kali
dikorbankan hanya demi menyelamatkan Kabid cabul yang kebetulan juga ketua
organisasi kepemudaan. Eso-eso jo stau!
***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
ASN:
Aparatur Sipil Negara; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong:
Bolaang Mongondow; BPMD PP & KB:
Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga
Berencana; ITB: Institut Teknologi
Bandung; Kabid: Kepala Bidang; Kakaw Abul: Kakak Cabul; KK: Kota Kotamobagu; P2TP2A: Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak; Pemkot:
Pemerintah Kota; Polres: Kepolisian
Resor; PPA: Perlindungan Perempuan
dan Anak; PSG: Praktek Sistem Ganda;
dan PU: Pekerjaan Umum.