KETUA DPRD yang juga Cabup Boltim 2016-2021, Sam Sachrul Mamonto, memicu
reaksi wartawan karena pernyataannya dianggap menyinggung para pewarta. Dalam
rapat bersama DPRD Boltim dan TAPD, Selasa (8 September 2015), sebagaimana yang
dikutip Totabuanews, dia mengatakan,
‘’Saya tahu wartawan Boltim banyak yang tidak independen. Berita selama ini
banyak yang miring sebelah.’’
Akibat pernyataan itu, media—terutama
yang berbasis online—menulis dengan
menggunakan frasa ‘’opini’’. Totabuanews
(http://totabuanews.com/2015/09/sejumlah-wartawan-kecam-pernyataan-sachrul-mamonto/),
misalnya, memulai pemberitaannya dengan
kalimat, ‘’Sikap kurang menyenangkan
kembali dipertontonkan Ketua DPRD Boltim….’’ Dengan ujian sederhana,
semacam pertanyaan ‘’Kurang menyenangkan untuk siapa?’’, dapat dibuktikan bahwa
kalimat pembuka berita Sejumlah Wartawan
‘Kecam’ Pernyataan Sachrul Mamonto itu adalah opini jurnalisnya.
Di hari yang sama, di bagian wilayah
Mongondow yang lain, wartawan Kompas TV,
Rahman Rahim, ditegur (keras) karena mengambil gambar di Polres Bolmong. Media—lagi-lagi
yang berbasis online—, misalnya totabuan.co (http://totabuan.co/2015/09/oknum-anggota-polres-bolmong-lecehkan-wartawan-kompas-tv/)
menulis dengan ‘’ideologi’’ seterang matahari kemarau di siang bolong yang
diwakili dengan kalimat, ‘’Sikap oknum anggota polisi yang bertugas di Polres Bolaang
Mongondow dinilai melecehkan profesi wartawan. Rahman Rahim wartawan Kompas tv
diusir dengan alasan tidak melapor ke bagian humas.’’
Apanya wartawan Kompas TV yang dilecehkan? Di tubuh berita yang diunggah totabuan.co saya tidak menemukan fakta,
penjelasan, atau diskripsi tegas bahwa ‘’yang mulia Rahman Rahim’’ (wartawan Kompas TV dan karenanya hebat betul)
dilecehkan dan diusir. Totabuan.co
hanya menggambarkan dia ditegur dengan suara keras oleh polisi yang sedang
bertugas (piket).
Dua peristiwa yang berkaitan dengan
wartawan itu, terus-terang, mengusik sikap saya, baik terhadap profesi pewarta,
pejabat publik (Ketua DPRD Boltim), dan pelayan umum (polisi), serta sikap adil
sebagaimana yang diatur dan diagungkan oleh kode etik dan kode profesional
jurnalistik. Ada yang bengkok dan merisaukan dari dua isu itu. Sesuatu yang
mendesak diurunrembukkan sebelum wartawan (dalam sebutan lain ‘’pewarta’’ atau
‘’jurnalis’’) di Mongondow menjadi tiran sendiri yang menakar baik-buruk,
benar-salah, lurus-bengkok, semata dari selera, kepentingan, dan keterbatasan
pengetahuan mereka sendiri.
Mari kita telisik adab, laku, dan produk
yang dihasilkan umumnya wartawan di Bolmong dengan bercermin dari dua peristiwa
yang terjadi berturut itu. Pertama,
mengapa pernyataan Ketua DPRD Boltim menjadi ‘’sesuatu’’ yang mengundang reaksi
keras, bahkan mesti ditulis tersendiri, sembari para jurnalis tampaknya
mengabaikan hal yang lebih subtansial: apa yang dihasilkan DPRD dan TAPD dari
rapat yang mereka selenggarakan. Yang ingin saya katakan, karena memiliki
kekuatan untuk mempengaruhi publik, saat ‘’merasa kepentingannya dikritik’’,
sejumlah wartawan (di Bolmong) melepeh pondasi profesinya sendiri: fakta.
Apakah yang dinyatakan oleh Ketua DPRD
Boltim tidak memiliki landasan fakta yang kuat? Apakah dugaan bahwa ‘’ada
wartawan di Boltim yang tidak independen’’ itu sekadar fitnah atau kegenitannya
menarik perhatian para pewarta supaya dikutip di media tempat mereka bekerja?
Apakah kalimat-kalimat Ketua DPRD yang membuat ego sejumlah jurnalis di Boltim
terluka itu semata berlatar hubungan buruknya—sebagaimana yang juga dispekulasi
oleh media—dengan Kabag Humas Pemkab Boltim?
Tidak perlu kecerdasan lebih, penelitian
saksama, atau analisis rumit untuk mengatakan bahwa ‘’ketidakindependenan’’
memang sudah menjadi tabiat wartawan di Mongondow, tidak hanya di Boltim. Jika
ada pewarta yang keberatan terhadap pernyataan ini, saya sungguh senang
berhadapan langsung, dan menyumpal mulut yang bersangkutan dengan aneka sampah
yang bertaburan di media-media di Mongondow, yang selama ini diklaim sebagai
‘’produk jurnalistik’’.
Pernyataan terbuka, apa adanya, dan
berlatar fakta dari seorang Ketua DPRD Boltim bisa membuat serombongan wartawan
gatal-gatal dan marah; sementara praktek jurnalisme berbayar (cash, koran, atau iklan) yang dipelopori
kelompok Harian Manado Post dibiarkan
lalu-lalang di depan mata? Inikah substansi dan esensi jurnalistik: merekam,
menguji, serta menakar dengan adil dan seimbang sebuah fakta, kejadian,
peristiwa, fenomena, atau bahkan sekadar wacana, kemudian menyajikan ke hadapan
publik?
Berhubung profesi jurnalis menuntut
syarat berat, termasuk kecerdasan memadai, saya serahkan jawabannya pada para
wartawan (di Bolmong khususnya) sendiri.
Akan halnya Ketua DPRD Boltim, dengan
sangat menyesal saya harus mengatakan, sebagai politikus yang sedang mencari
perhatian berkenaan dengan Pilkada Desember 2015 mendatang, pernyataan yang
mengundang reaksi (berlebihan) itu lebih dari sekadar terpeleset. Dia seperti
mulai membebek saingannya, Cabup yang juga petahana Bupati Boltim, Sehan
Landjar, yang kian senang menciptakan masalah (untuk diri sendiri) lewat
pernyataan-pernyataan yang kerap kurang pikir, kurang kontrol, dan emosional
semata.
Apa yang diharapkan dari para politikus,
pemimpin publik, atau baru sekadar kandidat Bupati yang pernyataannya kerap kurang pikir, kurang
kontrol, dan emosional, kecuali tontonan yang mirip kompetisi beo bicara? Orang
banyak tidak mendapatkan pelajaran, apalagi faedah, kecuali kegaduhan yang tak
perlu di media.
Sam Sachrul Mamonto barangkali perlu
belajar lebih keras bagaimana menangkap ikan tanpa membuat air keruh; menarik
rambut tanpa menjadikan tepung berantakan; mengkritik tanpa menimbulkan
perlawanan; dan meraup suara konstituen tanpa memaksakan kehendak. Dengan
demikian, sebagai pemimpin publik—yang punya peluang lebih 55% terpilih sebagai
Bupati Boltim 2016-2021—dia tidak gagal di ujian sesepele cara berkomunikasi
dan membangun hubungan dengan wartawan dan media.
Kedua, di peristiwa yang dilabeli sebagai ‘’pelecehan terhadap wartawan’’
oleh petugas piket di Polres Bolmong, menurut hemat saya, adalah manipulasi dan
framing murahan. Memangnya dengan
mengantongi kartu pers, mengaku wartawan, dan menenteng kamera, Anda lalu boleh
melakukan apa saja tanpa batasan sama sekali? Diperintahkan untuk melapor ke
Kabag Humas Polres Bolmong saat mengambil gambar, walau dengan bentakan sekali
pun, tidak serta-merta berarti penghalangan terhadap pewarta yang sedang
menjalankan profesinya.
Polisi memang sering over acting. Dan ini sudah menjadi pengetahuan umum. Demikian pula
dengan persepsi yang ada di benak publik, bahwa wartawan adalah mereka yang ‘’seolah-olah’’ punya hak
istimewa untuk berlaku sesukanya tanpa boleh ditegur atau diingatkan. Termasuk,
misalnya, mengendarai kendaraan tanpa SIM dan bersiasat dengan kartu pers saat
kepergok razia.
Menjadikan sekadar bentakan petugas piket
terhadap wartawan Kompas TV sebagai
isu besar, bahkan didorong kearah ‘’dugaan’’ pelecehan dan penghalangan kerja
jurnalis, cuma kecengengan yang mengada-ada. Kalau di hadapan pernyataan Ketua
DPRD Boltim sebagian besar pewarta di Mongondow tampak superior, mengapa sekadar bentakan seorang petugas piket (yang barangkali
seorang polisi muda yang baru lulus pendidikan) sudah menciutkan nyali hingga
perlu diberitakan agar seluruh dunia tahu dan memberikan dukungan?
Setiap profesi punya tanggung jawab,
kewajiban, hak, fakta, dan risikonya sendiri. Sedemikian pula dengan jurnalis,
yang –terutama—hak profesionalnya tidak lebih tinggi dari profesi yang lain.
Kalau para wartawan di Bolmong umumnya menutup mata dari keniscayaan ini, saran
saya: Mengapa tidak sekalian saja Anda-anda mengaku sebagai malaikat, nabi,
atau orang suci?***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
Bolmong:
Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Cabup: Calon Bupati; DPRD:
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Humas:
Hubungan Masyarakat; Kabag: Kepala
Bagian; Pemkab: Pemerintah Kabupaten;
Pilkada: Pemilihan Kepala daerah; Polres: Kepolisian Resor; SIM: Surat Izin Mengemudi; TAPD: Tim Anggaran Pemerintah Daerah;
dan TV: Televisi.