BEBERAPA tahun silam saya berkesempatan menjejalahi sebagian wilayah
Thailand, melihat dan belajar kedasyatan penerapan OTOP yang didesain di bawah
pemerintahan (mantan) PM Thaksin Shinawatra (2001-2006). Konsep mendorong
kewirausahaan warga ini berbasis tambon
(setingkat kecamatan) dengan mendukung produk lokal dan pemasarannya.
Pemerintahan Taksin dan partai
pendukungnya, Thai Rak Thai, tak main-main dengan OTOP. Lewat program ini,
produk-produk komunitas-komunitas di kecamatan yang menerima dukungan
ditingkatkan kualitasnya, termasuk dengan memilih yang terbaik dari tiap tambon untuk menerima predikat ‘’starred
OTOP product’’.
Melalui OTOP produk-produk Thailand meroket
dan menyerbu pasar global. Memang tidak semassal barang-barang asal Cina,
karena yang dikirimkan keluar adalah seleksi dari produk-produk terbaik.
Hasilnya, kendati kuantitas ekspornya terbatas, produk OTOP (dari kerajinan
tradisional, pakaian katun dan sutra, tembikar, aksesoris fashion, peralatan
rumah tangga, hingga makanan jadi) sangat diminati konsumen AS dan Eropa karena
kualitasnya yang prima.
Di salah satu workshop tambon yang
memproduksi kerajinan berbahan dasar bambu, saya ternganga-nganga karena produk
yang dihasilkan kaum perempuan yang menjadi produsennya (umumnya mereka adalah
ibu rumah tangga) lebih dari pantas disebut karya para master seni. Halus,
berkualitas tinggi, dan sangat berkelas. Saya lebih ternganga lagi setelah
diberitahu harga satu tas tangan wanita dari bambu itu hingga bilangan (dalam
rupiah) puluhan juta, dengan antrian pemesan yang cukup panjang.
Konon, sukses perkuatan ekonomi lewat OTOP
pula yang membuat Thailand termasuk salah satu negara yang sangat cepat
berkelit dari krisis global pada 2008. Padahal, negara ini bukanlah
satu-satunya di Asia Tenggara yang menerapkan konsep ini. Di Filipina, di bawah
pemerintahan Presiden Gloria Macapagal-Arroyo, digagas pula OTOP (dengan ‘’T’’
adalah ‘’town’’) pada 2002 yang diimplementasikan pada 2004.
OTOP di Filipina, yang saya lihat tiga
tahun setelah dijalankan, tidak sesukses di Thailand. Sekalipun anggaran OTOP tetap dikucurkan,
Filipina—sebagaimana Indonesia—tidak jauh beranjak dari citra yang sudah
melekat: sebagai salah satu negara papan atas pengirim tenaga kerja (disektor
kerumahtanggaan) ke negara.
Apa rahasia OTOP hingga mampu mendongkrak
ekonomi masyarakat Thailand? Jawabannya terletak pada tiga aspek fundamental
yang diterapkan dengan disiplin tinggi oleh pemerintahan Thaksin dan komunitas
penerima manfaatnya. Pertama, produk
yang dihasilkan setiap tambon yang
terlibat dalam program OTOP memang sangat dikuasai, lekat dengan keseharian,
dan menjadi budaya produksi komunitas bersangkutan. Kedua, setiap keputusan yang berkaitan dengan OTOP harus melibatkan
kesepakatan dari minimal 75% KK di komunitas penerima program. Dan ketiga, dana OTOP yang merupakan bantuan
Pemerintah Thailand harus terus bertambah yang dibuktikan lewat rekening tambon.
Tuntutan kedisiplinan berkaitan dengan
pengelolaan dana OTOP memang tidak ringan. Misalnya, di tahun pertama satu OTOP
menerima bantuan 1 juta bath yang dikelola membiaya produksi yang diunggulkan,
lalu di akhir tahun komunitas penerima manfaat berhasil menggembalikan dana ini
dalam rekeningnya, maka Pemerintah Thailand akan memberikan lagi 1 juta bath. Dengan demikian, di tahun kedua,
selain produksi dan penjualan produknya tetap berjalan, komunitas penerima
manfaat memiliki 2 juta bath dana segar yang siap digunakan untuk penggembangan
usaha.
Walau telah menjadi salah satu penggerak
utama ekonomi negara, sejatinya OTOP bukanlah orisinal Thailand. Konsep ini
adalah adopsi dari gerakan OVOP yang diinisiasi Gubernur Provinsi (prefecture) Oita, Jepang, Morihiko
Hiramatsu, pada 1979. Berbeda dengan OTOP di Thailand yang bertujuan membangun
ekonomi lokal, OVOP versi Oita dengan slogan ‘’Let’s work together on what we can do in the present condition’’
adalah untuk merevitalisasi komunitas berdasar apa yang mereka miliki. Perbedaan
(penting) lainnya adalah, OTOP Thailand (juga Filipina dan—belakangan—Malawi sebagai
hasil introduksi JICA) adalah gerakan nasional, sedang di Oita bersifat
regional (provinsi).
Nah, dengan memahami OTOP dan OVOP di
Thailand, Filipina, Malawi, dan induknya di Oita, di manakah konteks ‘’satu
kampung satu produk’’ yang mendadak akan dijadikan program kerja Pemkot KK pada
2016? Sedang mimpi apakah Walikota dan jajarannya hingga tiba-tiba ingin
menerapkan konsep (yang mereka kira jenius) ala OTOP-OVOP sebagaimana yang
dikutip totabuan.co (http://totabuan.co/2015/09/inilah-empat-program-pemkot-kotamobagu-di-2016/)?
Menurut Walikota KK, Tatong Bara,
SKSP yang digagas Pemkot sebagai program kerja 2016 itu adalah bagian dari
empat program, masing-masing OVOP, Smart City, MEA , dan KSN. Maka
peninglah saya (yang tak malu mengakui hanya punya tingkat pendidikan tepat di
bawah pas) terhadap campur-aduknya yang teknis-praktis (SKSP atawa OVOP dan Smart City) dan yang konseptual (MEA dan
KSN).
Terus-terang, rencana pembangunan KK
di bawah kepemimpinan Walikota Tatong Bara-Wawali Jainuddin Damopolii, buat
saya sungguh membingungkan. Dalam pandangan saya, visi ’Terwujudnya Kota Kotamobagu Sebagai Kota Model Jasa di Kawasan
Bolaang Mongondow Raya Menuju Masyarakat Sejahtera Berbudaya dan Berdaya Saing’’
yang mereka usung sejak kampanye Pilwako, berjalan bagai orang mabuk. Tak jelas
arah.
Baiklah, Smart City yang belakangan saya dengar masih ada kaitannya dengan
‘’Kota Model Jasa’’. Setidaknya, industri jasa memang membutuhkan apa yang
berada dalam lingkup konsep ‘’smart city’’—walau harus dipertanyakan pula jasa
apa yang akan dimodelkan di KK? Tapi apa urusannya dengan OVOP yang berbasis
manufaktur, terlebih lagi MAE dan KSN? Sadar atau tidak, suka atau tidak, siap
atau tidak, KK yang menjadi bagian dari Indonesia pasti dicakup oleh MAE. Akan
halnya KSN, apanya yang ‘’strategis’’ yang dapat ditawarkan oleh KK?
Urusan Smart
City, MEA, KSN, dan konsep-konsep ‘’wah’’ lain yang membuat pening kita
parkir dulu. Kembali ke OVOP, apakah rencana memprogramkerjakan konsep ini
sudah dipersiapkan dengan matang? Tidak tahu (dan sadarkah) Pemkot bahwa pada
dasarnya di tempat-tempat di mana konsep ini cukup berhasil diterapkan,
komunitas yang disasar pada dasarnya sudah memiliki modal awal yang kuat.
Budaya dan etos kerja gigih di masyarakat Jepang atau entrepreneurship orang Thai.
Di atas semua modal masyarakat itu, ada
pemimpin yang berkeinginan kuat, sungguh-sungguh, disiplin, dan mau terlibat
langsung. Kecemerlangan OTOP tak lepas dari turun langsungnya PM Thaksin ke tambon-tambon dan Walikota Morihiko ke
sentra-sentra produk yang digarap OVOP.
Modal dasar apa yang kini kita miliki di KK
yang dapat menjadi pondasi pengembangan OVOP? Budaya, etos, kewirausahaan, atau
semangat seperti apa yang belakangan menjadi fakta di kota ini, bahkan wilayah
Mongondow secara keseluruhan? Saya tak berhak menjawab, karena memang buta tuli
terhadap perencanaan yang telah disusun Pemkot KK berkenaan dengan OVOP, Smart City, MEA, dan KSN itu. Dengan
berbaik sangka dan percaya bahwa sangat banyak orang pintai di jajaran Pemkot,
mudah-mudahan program-program itu memang telah direncanakan matang hingga ke
tingkat pengukuran kinerja dan capaiannya.
Namun, sebagai bagian dari masyarakat KK,
saya pantas kuatir konsep-konsep hebat itu pada akhirnya cuma sedap di telinga.
Tidak jauh berbeda dengan KUT zaman dulu, yang sejatinya adalah program
menguatkan ekonomi masyarakat (petani). Faktanya, KUT terbukti hanya sukses ditamatkan
sebagai ladang korupsi yang menyeret banyak orang ke pengadilan. Atau, yang
terkini, Program Lipu’ Modarit Lipu’ Mosehat yang cuma meriah sesaat setelah
dicanangkan. Setelah itu, Pembaca yang warga KK tentu bisa melihat dan menilai
sendiri.
Karenanya, mohon saya dimaafkan bila
jauh-jauh hari pesimis dengan program OVOP versi Pemkot KK. Saya hampir
meyakini program ini bakal berakhir sekadar sebagai sesuatu yang tampak
mentereng dan baru di kuping masyarakat. Walau, sebagai pengetahuan, setidaknya
warga KK telah terpapar informasi bahwa
ada yang namanya OTOP dan OVOP, yang sukses diterapkan di luar sana.
Sebab itu, jika akhirnya OVOP yang
digadang-gadang Walikota KK dan jajarannya ternyata cuma OMDO, kita mahfum
saja. Memang sudah demikian tabiat ide, konsep, dan program yang digagas
pemerintah yang lemah pikir, lemas kreativitas, dan malas
bersungguh-sungguh.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
AS: Amerika Serikat; ASEAN: The Association of Southeast Asian Nations;
JICA: Japan International Cooperation Agency; KK: Kota Kotamobagu/Kepala Keluarga; KSN: Kawasan Strategis Nasional; KUT: Kredit Usaha Tani; MEA:
Masyarakat Ekonomi Asean; OMDO:
Omong Doang; OTOP: One Tambon One Product/One Town One Product;
OVOP: One
Village One Product; Pemkot:
Pemerintah Kota; PM: Perdana Menteri;
dan SKSP: Satu Kampung Satu Produk.