MUNDUR
ke 2009. Sumber informasi saya mengisahkan, saat
itu Zakaria Sukaria Pota (setidaknya ini nama ‘’waras’’ yang diakuinya)
bermukim di Poyowa Kecil. Sebagaimana warga Mongondow kebanyakan, kesehariannya
dia menekuni pertanian sebagai pekerjaan utama.
Namun, yang istimewa, menurut klaim yang
dia sampaikan dengan sangat menyakinkan—setidaknya untuk para penggemar dongeng
mistis--, Zakaria mengetahui dan mampu membuka empat brankas berisi harta
bernilai tinggi yang tersimpan di Bolmong. Tak jelas benar di mana brankas itu
berada. Yang pasti, gudang harta ini dijaga aneka mahluk gaib yang hanya dia
seorang yang mampu menangani.
Demi kepentingan membuka brankas hebatnya,
Zakaria berkehendak bertemu dengan Bupati (saat itu) Marlina Moha-Siahaan. Entah
apa pula kaitan antara brankas maha penting itu dengan Bupati. Memangnya dengan
bertemu Bupati, lalu Satpol PP dikerahkan, lalu ‘’alakazam’’, brankas keluar,
aneka mahluk penjaganya diringkus,dan harta melimpah tersaji di depan mata?
Sejauh yang diketahui empunya informasi,
Bupati Marliha Moha-Siahaan tidak pernah bertemu dengan Zakaria. Entah karena
Bupati tidak percaya dengan dongeng pengantar tidur untuk anak TK itu, atau
sebab lain, yang jelas dia lolos dari kemungkinan masuk daftar korban mimpi dan
halusinasi milioner mendadak tanpa meneteskan keringat.
Dari 2009 kita bergeser ke 2011. Harta
karun yang diketahui Zakaria sudah berkembang dan konon tertanam di wilayah
Inuay. Maka berpindahlah latar kisah perburuan kekayaan ini ke Inuay, lengkap
dengan segala ritual dan upacara, serta—tentu saja—penggalian. Saksi mata,
seorang wartawan yang ketika itu turun meliput menuturkan, kerja menggaruk
lobang menguak harta karun yang dipimpin Zakaria bahkan dijaga aparat
berwenang.
Hasilnya, setelah seminggu memacul dan
menyekop, harta karun yang berhasil diangkat adalah gunungan tanah, batu, dan
gerombolan cacing yang terkan sial karena ‘’rumah’’ mereka diobrak-abrik.
Zakaria beralasan, harta yang seharusnya didapat tak dituai karena pewarisnya
belum mengizinkan.
Pepesan yang ternyata kosong itu terdiam
cukup lama dan keluar lagi pada 2013. Di periode ini kalangan media dan
wartawan tampaknya meluputkan peristiwanya. Hanya ada cerita yang samar-samar
yang saya dapatkan. Yang pasti, hasilnya seperti pada 2011: tumpukan tanah,
batu, dan—sekali lagi—segerombolan cacing yang kehidupan damainya terusik.
Serta, tentu saja, daftar yang kian panjang dari para ‘’investor’’ yang mimpi
kaya mendadak.
Sekali lagi, kisah Zakaria dan harta
karunnya menyurut, lalu mendadak terdengar kembali menjelang penghujung 2015
ini dengan bumbu yang kian sedap. Ada harta warisan Soekarno (katanya tongkat
komando emas, batangan emas, obligasi, serta tusuk konde emas Ibu Fatmawati),
peninggalan Jepang, dan yang terbaru—yang pagi ini infonya tiba di kuping
saya—juga harta karun Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Ternyata pula—setidaknya demikian yang
diinformasikan, yang tidak repot-repot saya verifikasi—gegar harta karun
Zakaria versi 2015 ini juga sedang diwarnai proses penggalian di Inuay.
Mengutip seorang saksi mata, yang jadi sumber info menuturkan, wakil pemerintah
desa bahkan memberikan sambutan sebelum penggalian dilakukan.
Di usia menjelang setengah abad, sepanjang
pengetahuan saya, kegilaan (di luar histeria) sama tidaklah menular. Tapi
Mongondow memang suka punya kasus-kasus aneh dan istimewa, terbukti dari wabah ‘’gila
harta karun’’ Zakaria yang ternyata menular ke banyak orang, mulai dari
masyarakat biasa, wartawan, pengusaha lokal, hingga sejumlah pejabat setingkat
Kadis. Tanpa dicari-cari, daftar mereka yang diduga dan terduga sebagai
‘’investor’’ perburuan harta karun yang diklaim dan diakui Zakaria, tiba begitu
saja di BBM dan komputer saya.
Sekali lagi saya tercengang-cengang. Jika
benar orang-orang pintar, bersekolah tinggi, bahkan punya jabatan dan pengaruh
publik itu turut terbius omong kosong harta karun ala Zakaria, sungguh
menyedihkan tingkat kewarasan mereka. Kalau itu harta karun warisan Soekarno,
jawaban sudah jelas: semua pihak, termasuk keluarga besar Soekarno, sudah
memastikan itu klaim dan pengakuan ngawur tingkat dewa. Jika harta karun
Jepang, sama halusinatifnya dengan mengatakan ditemukan gajah asli di hutan
Mongondow. Dan apabila yang diklaim harta Jenderal Soedirman, tak beda dengan
dengan mempercayai bahwa dulu ada jembatan yang menghubungkan Jateng dan
Inobonto.
Setelah membaca ‘’Drama’’ Zakarian dan harta Karun Soekarno (Minggu, 27 September
2015), seorang rekan jurnalis mengontak saya dan mengatakan, ‘’Jangan-jangan
mereka yang percaya dan yakin itu karena terkena hipnotis?’’ Dugaan ini ada
benarnya sekaligus membuat saya tersedak. Hipnotis apa? Satu-satunya yang
menghipnotis mereka hingga mengabaikan akal sehatnya adalah keserakahan.
Keserakahan, kata para ahli (termasuk ahli
agama), sudah menjadi salah satu sifat dasar dan naluri manusia. Demikian pula
dengan kemalasan. Tatkala keserakahan bertemu dengan kemalasan, ditambah
jampi-jampi mimpi dan janji kaya mendadak, mudah meruntuhkan kepala yang kurang
pikir dan berlangit pendek, sekalipun pemiliknya berpendidikan tinggi, tokoh
yang punya pengaruh, bahkan pada dasarnya telah berharta cukup.
Saya berkeyakinan, sifat dasar dan naluri
itulah yang dimanfaatkan oleh Zakaria—yang belum tentu punya pendidikan formal
memadai—menarik minat dan menjerumuskan orang-orang yang disebut ‘’investor
pencarian harta karun’’ itu. Yang memprihatinkan, walau berkali-kali hanya
memanen angin dan janji, sejumlah orang—termasuk seorang pengusaha yang kini
termehek-mehek membebek Zakaria—tak kapok juga. Seperti pemakan sambel yang berulang
kali sakit perut dan disergap maag, tetapi tetap kembali memamah cabe karena
sensasi pedasnya.
Kisah Zakaria ini, sejatinya tak beda
dengan kasus-kasus dukun cabul. Ribuan kisah bagaimana dukun cabul memperdaya
wanita yang ingin cantik, dapat jodoh, disayang pacar (atau simpanannya),
dijawab dengan metode dan alasan klasik: ada dedemit brengsek yang bersarang di
tubuh si wanita, dan karena harus dikeluarkan. Pembaca, ujung kisah dukun cabul
selalu mirip: yang keluar bukanlah hantu atau setan jahanam dari tubuh pasien
wanita, tetapi tuyul dari balik sarung atau celana dalam sang dukun.
Toh, selalu ada yang tertipu. Sebagaimana masih ada saja yang terkecoh
SMS ‘’Mama minta pulsa’’ dan ‘’Anda terpilih menerima hadiah’’. Korban dua
jenis penipuan ini, sekadar Rp 100-200 ribu hingga Rp 20 jutaan (dengan kilah
biaya administrasi dan pajak), masih bisa menghibur diri dengan mengusap dada.
Bagaimana dengan korban dukun cabul dan tuyul dari balik sarung atau celana
dalamnya? Pula iming-iming harta karun hingga menelantarkan usahanya atau
bahkan merogoh uang kantor demi investasi memburu kekayaan fiktif yang
dijanjikan itu?
Dan sebagaimana biasa, polisi pasti akan
sangat lambat bertindak. Di kasus Zakaria Sukaria Pota, aparat berwenang konon
pura-pura tidak tahu (atau barangkali beralasan belum menerima laporan masyarakat),
karena beberapa petingginya di Bolmong juga pernah terlibat ‘’berinvestasi’’.
Bukankah cukup menampar wajah ketika Zakaria di BAP dan dia menyanyikan
siapa-siapa saja yang sudah berhasil dibius halusinasi ‘’harta karun’’
karangannya?***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
BAP:
Berita Acara Pemeriksaan; BBM: BlackBerry Messenger;
Bolmong: Bolaang Mongondow; Kadis: Kepala Dinas Jateng: Jawa Tengah; PP: Pamong Praja; Satpol: Satuan Polisi; dan SMS:
Short Message.