SUBTITLE
film Downfall, tulis The Telegraph dalam artikel Hitler Downfall parodies: 25 worth watching (http://www.telegraph.co.uk/technology/news/6262709/Hitler-Downfall-parodies-25-worth-watching.html), Selasa, 6 Oktober 2009, ‘’… telah menjadi meme paling abadi
(jaringan) digital.’’ Meme (biasa
dibaca ‘’mim’’) ini pula, dalam versi Pilkada Boltim, yang saya terima Sabtu
petang (26 September 2015) dan sungguh (tetap) mengocok perut.
Berasal dari bahasa Yunani, ‘’mimeme’’ (yang
berarti ‘’sesuatu yang menyerupai, menirukan’’), kata meme pertama kali diperkenalkan oleh Richard Dawkins melalui
bukunya, The Selfish Gene (1976). Di
era digital ini, ketika internet nyaris menjadi kebutuhan pokok setengah
populasi dunia, kreativitas menemukan tambang ide dan ekspresi baru sekaligus
memperluas pengertian meme menjadi ‘’parodi’’.
Seingat saya, di Indonesia khususnya,
subtitle Downfall mulai diparodikan
ketika mantan Gubernur DKI, Fauzi Bowo, kalah dari pasangan penantangnya, Jokowi-Ahok, pada Pilgub 2012 lalu. Parodinya masih dapat dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=aEjw2nSqXs0.
Pertama kali menonton parodi itu, saya ngakak abis sembari membayangkan wajah
petahana Gubernur DKI. Konotasi ini kian kuat karena Fauzi Bowo juga populer
dengan kumisnya—sama dengan Hitler yang bahkan menjadi ciri khas dan merk-nya
sendiri. Saya membayangkan, andai Fauzi Bowo pernah menonton parodi itu, pasti
tohokannya terasa hingga ulu hati.
Potongan adegan yang sama kemudian
diparodikan lagi di Pilpres 2014 ketika pasangan Capres Prabowo
Subianto-Cawapres Hatta Rajasa berhadapan dengan Jokowi-JK. Jika parodi Pilpres
ini ditonton kembali di https://www.youtube.com/watch?v=JxmQ1gHUMl0,
kita tahu pasti Capres siapa yang diserupakan dengan Hitler.
Namun, sesungguhnya Downfall (judul aslinya adalah Der
Untergang) yang disutradarai Oliver Hirschbiegel adalah film sangat serius.
Menceritakan tentang 10 hari terakhir Hitler dengan rezim NAZI-nya pada 1945,
film ini melibatkan sejarawan Joachim Fest dan bukunya Inside Hitler’s Bunker: The Last Days of the Third Reich (edisi
Inggris, 2004) dan buku Until the Final
Hour (edisi Inggris, 2003) yang ditulis salah satu mantan Sekretaris
Hitler, Traudl Junge, bersama Melissa Muller.
Tatkala diedarkan, Downfall langsung memicu kontroversi, sekaligus menuai banyak
pujian dari para kritikus. Salah satu yang paling disoroti adalah akting Bruno
Ganz yang berperan sebagai Hitler. Akting aktor Swiss penerima sederet
penghargaan (terutama di Eropa) ini bahkan disebut-sebut sebagai pemeran
sempurna Hitler dalam sejarah perfilman.
Untuk saya pribadi, Downfall dan Bruno Ganz cukup membekas di ingatan karena pernah
secara khusus didiskusikan bersama beberapa kawan yang kebetulan alumni Jerman.
Sebagai penggemar film (tidak hanya Hollywood), tanpa latah mengikuti puja-puji
dan sanjungan para kritikus, saya harus bilang film ini, dan khususnya pemeran
utamanya, memang layak mendapat penilaian lima jempol.
Walau demikian, sebagai salah satu
nominator Best Foreign Language Film
di Academi Award 2004, Downfall gagal
meraih Oscar. Penghargaan pretisius ini justru diterima The Sea Inside (Mar adentro),
film Spanyol yang disutradarai Alejandro Amenabar.
Cukup dengan hal-ihwal Downfall yang memang mengasyikan dibahas dari ujung ke ujungnya. Kita
kembali ke parodi subtitle-nya yang mengusung isu Pilkada Boltim. Calon yang
dikonotasikan dengan Hitler tak pelak lagi adalah petahana, Bupati Sehan
Landjar, yang secara umum digambarkan ‘’sangat terganggu’’ dengan pesaingnya,
Sam Sachrul Mamonto. Tak beda dengan Fauzi Bowo dan Prabowo yang diparodikan
gerah dengan Jokowi di Pilgub dan Pilpres.
Mereka yang sudah menonton parodi Fauzi
Bowo dan Prabowo, setelah menonton versi Eyang, dapat menyimpulkan: ide dasar Downfall Pilkada Boltim diambil dari parodi
film ini di Pilpres 2014. Sebagian subtitle yang ditampilkan bahkan
terang-terangan hanya melokalkan konteksnya dan menyulih dari bahasa Indonesia
ke Melayu Manado.
Tapi penyulihan ke konteks sangat lokal
itulah yang justru menjadi kekuatan parodi Downfall
ala Boltim. ‘’Semua wartawan bayaran,
LSM, Sangadi, deng tim yang diam-diam dukung Smile, kaluar….’’ terasa kontekstual, faktual, dan (pasti) Boltim banget! Saya bahkan bersyak,
jangan-jangan kalimat ini tidak sekadar parodi, melainkan sudah menjadi fakta.
Saya memang sempat kehilangan pengertian
ketika tiba pada bagian yang menyebutkan ‘’komkomci’’. Apa hubungannya
‘’komkomci’’, kata-kata yang biasanya disertai gerakan tangan di Mongondow
untuk merangsang motorik balita, dengan Pilkada Boltim? Setelah mengirim
beberapa BBM dan menelepon satu-dua orang, tahulah saya juntrungan ‘’komkomci’’
ini. Sesuatu yang tidak akan saya bahas, namun apa boleh buat, telah menjadi
fakta lain yang memperiuh dan mengairahkan Pilkada Boltim 2015.
Dari informasi yang saya terima, ‘’komkomci’’
sudah menjadi isu gawat yang tampaknya harus menjadi perhatian Eyang dan tim yang
mendukung sukses keinginannya meneruskan jabatan Bupati di periode kedua. Untuk
para pembaca, khususnya warga Boltim yang bahkan sudah punya nyanyian (lengkap
dengan gerakan) dan yel-yel ‘’komkomci’’, pelajaran penting dari isu ini
adalah: yang cocok untuk balita memang belum tentu tepat untuk yang berusia di
atas 50 tahun.
Kelucuan lain yang cukup otentik adalah’’keluhan’’
di antara amarah Hitler tentang SK dukungan dari PAN, yang, ‘’Mahal skali ada bayar itu …!’’ Ini
pernyataan jenis dugaan atau fakta? Tetapi karena frasa itu, syak yang lain
yang melintas di kepala saya adalah: jangan-jangan parodi Downfall yang men-downgrade
Eyang ini adalah produksi oknum di internal tim suksesnya sendiri yang
diam-diam ‘’so balipa pa Smile’’.
Saya tidak bermaksud memperkeruh situasi, tetapi perkembangan terakhir dinamika
Pilkada Boltim kelihatannya jauh dari menguntungkan Eyang.
Kampanye resmi memang belum dimulai. Namun,
dengan beredarnya berbagai isu dan produk kreatif, baik yang mendukung atau
mengecilkan salah satu dari tiga pasang kandidat yang akan bertarung,
kecenderungan para pemilih tampaknya kian kuat mengarah ke Sam Sachrul
Mamonto-Medi Lensun. Yang memprihatinkan, Eyang yang didukung barisan partai,
‘’konon’’ pula calon boneka, serta sejumlah ‘’katanya’’ wartawan, LSM, dan
aktivis, seperti kehilangan ekspresi dan pendekatan kreatif.
Eyang terlihat hanya mengandalkan modal
lama, yang pernah sukses membawa dia ke kursi Bupati: pidato. Padahal, di zaman
manusia sebentar lagi siap mengeksplorasi Mars ini, lapangan politik terbuka
lebar terhadap aneka kemungkinan ekspresi dan implementasinya. Atau, syak
terakhir yang memercik di kepala saya, jangan-jangan seluruh subtitle parodi Downfall versi Boltim benar-benar
gambaran nyata yang kini dihadapi Eyang dan timnya?***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
Ahok: Basuki Tjahaya Purnama; Balita:
Bawah Lima Tahun; BBM: BlackBerry Messenger; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Capres: Calon Presiden; Cawapres: Calon Wakil Presiden; DKI: Daerah Khusus Ibukota; JK: Jusuf Kalla; Jokowi: Joko Widodo; LSM:
Lembaga Swadaya Masyarakat; PAN:
Partai Amanat Nasional; Pilgub:
Pemilihan Gubernur (dan Wakil Gubernur); Pilkada:
Pemilihan Kepala Daerah; Pilpres:
Pemilihan Presiden (dan Wakil Presiden); dan SK: Surat Keputusan.