KADISPARBUD, Nancy Mokoginta, keluar dari ruang Komisi III DPRD Bolmong dengan air mata bercucuran. Peristiwa ba’da magrib, Selasa, 28 Juli 2015, ini
segera menyebar, memercik spekulasi, dan memicu amarah sejumlah orang—mereka
yang bersimpati dan berempati, serta (yang terpenting) kerabat Kadisparbud.
Tangisan Kadisparbud itu (sebuah peristiwa
tidak biasa, bahkan dalam sejarah DPRD Bolmong) saya ketahui dalam perjalanan
di ruas tol Jakarta-Bogor. Kabar yang tiba menyatakan: air mata Ibu Kadis telah
membuat sejumlah orang—kerabat, teman, dan kenalan—berkumpul di Gogagoman
dengan darah mengelegak. Walau agak kurang mengerti konteknya, saya dapat
memahami. Di Mongondow, tangisan seorang perempuan—terlebih dia kakak atau
adik, ibu, nenek, atau sekadar kerabat—yang jatuh karena kesewenang-wenangan
yang menggores perasaan, semestinya mampu membuat gentar siapapun yang menjadi
penyebab.
Hanya ada daftar pendek masalah yang dapat
membuat ‘’seorang Mongondow’’ gelap mata. Salah satunya adalah hati yang luka
dari perempuan yang mereka hormati. Dan saya yakin sepenuhnya, lepas dari
posisi birokrasinya ‘’yang kebetulan’’ Kadisparbud, Nancy Mokoginta adalah anak,
adik, kakak, ibu, nenek, atau kerabat dari sekian banyak orang, baik yang
berpendidikan maupun tidak; yang waras maupun tidak; yang berpolitik maupun
tidak; yang berbudaya maupun yang masih tergolong barbar.
Walau dapat dikategorikan tak berpendidikan
tinggi (sekali), saya merasa cukup waras, sedikit paham politik, dan yakin masih
berbudaya, hingga informasi tangisan Kadisparbud itu saya sikapi dengan
hati-hati. Yang pertama tercetus adalah pertanyaan, dalam rangka apakah
Kadisparbud hadir di DPRD Bolmong? O, ternyata berkenaan dengan Rapat
Pembahasan Ranperda LPJ Kepala Daerah Bolmong 2014. Asumsi saya, pasti ada
debat, kritik, celaan, barangkali bentakan atau sejenisnya yang memang menjadi
tabiat khas anggota DPRD (dan politikus umumnya), yang membuat air matanya
tumpah.
DPRD yang melaksanakan tugasnya, berhak menyatakan,
mengeluarkan, mengumandangkan, bahkan meneriakkan apa saja. Bahwa ada Kadis
lemah hati, tipis rasa, yang tersinggung dan menangis, demikianlah risiko yang
harus diterima. Kalau tak sudi, letakkan jabatan dan tinggalkan Gedung DPRD
Bolmong.
Tapi, kisahnya tidak sesederhana
itu. Sebab urusan yang jadi penyebab ternyata tidak terkait dengan Rapat
Pembahasan Ranperda LPJ Kepala Daerah Bolmong 2014. Tidak pula ada
juntrungannya dengan pelaksanaan tanggung jawab, wewenang, kewajiban, tugas,
kerja, dan hak DPRD Bolmong dan anggotanya sesuai UU Nomor 17/2014 Tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD.
Peristiwa itu, yang informasinya
sepenuhnya terkonfirmasi, bermula dari jeda Rapat Komisi III dengan dinas-dinas
yang terkait berkenaan dengan Pembahasan Ranperda LPJ Kepala Daerah Bolmong
2014, karena waktu magrib tiba. Ketika Ketua Komisi rehat untuk sholat,
Sekretaris Komisi III, Tonny Tumbelaka, yang berasal dari PDIP, meminta seluruh
staf Sekretariat DPRD Bolmong dan staf yang mendampingi Kadisparbud untuk
meninggalkan ruang. Yang tersisa dalam ruangan hanyalah Kadisparbud, Sekretaris
Komisi III, dan beberapa anggota DPRD Bolmong yang lain.
Apa yang dibicarakan di dalam
ruangan itu? Pembaca, sebab topiknya sungguh memalukan dan hanya
mempertontonkan tumpul otak dan busuknya aurat politik segelintir anggota DPRD
Bolmong, maka sebaiknya saya tidak mengumbar sembarangan—kecuali di saat yang
memang sungguh-sungguh dibutuhkan. Singkatnya (yang sepenuhnya menjadi simpulan
dan penilaian saya), aksi dengan aktor utama Sekretris Komisi III cuma soal
‘’perampokan’’. Sayangnya, tersebab ‘’perampoknya’’ amatir dan pemula,
dilakukan dengan cara yang kasar, semena-mena, dan murahan.
Tonny Tumbelaka (saya tidak peduli
asal partainya, siapa dia, dan jabatan publik mentereng ‘’anggota DPRD yang
terhormat’’ yang dia sandang) tampaknya harus belajar lebih keras jadi ‘’rampok
profesional’’ yang tidak memerlukan suara keras, bentakan, pin Garuda diapit
padi dan kapas, dan SK anggota DPRD untuk mendapatkan semua yang diinginkan,
termasuk—misalnya—duit setoran dari Kepala SKPD. ‘’Rampok profesional’’,
apalagi dia politikus yang punya jabatan di partai dan di lembaga legislatif,
cukup tersenyum dan berbisik. Bahkan, yang sangat profesional, lebih lihai
lagi: hanya dengan kerlingan, yang dilirik rela menyerahkan segala yang dia
maui, dengan riang-gembira pula.
Politikus dengan modus
sewenang-wenang seperti yang diperlihatkan Tonny Tumbelaka menunjukkan dia
hanya sekelas coro. Dan di belahan dunia mana pun, perlakuan terbaik untuk coro
adalah diinjak atau dihantam hingga remuk. Perlu saya beritahu pada Tonny
Tumbelaka, dengan kasus ba’da magrib
itu dia tidak hanya sedang menguji nyali seorang Kadisparbud. Yang dia lakukan
adalah menantang harga dari penghormatan banyak orang terhadap seorang
perempuan, lepas dari jabatan formalnya sebagai Kadis.
Galibnya politikus dan angota
legislatif, kilahan pertama yang bakal terlontar tentu mengacu pada UU Nomor
17/2014 berkenaan dengan Hak Imunitas anggota DPRD kabupaten/kota sesuai Pasal
388, Ayat 1 sampai 4, dan Tatib DPRD Bolmong. Cemen! UU Nomor 17/2014 tidak melindungi anggota DPRD yang
melakukan tindak pidana dan melanggar Tatib.
Pertama, peristiwa yang menyebabkan
tangis Kadisparbud jatuh terjadi saat rapat di-skorsing. Dua, tidak ada
staf Sekretariat DPRD Bolmong yang berada di ruangan, menyaksikan, mencatat,
dan menotulensi peristiwanya sebagaimana yang diatur dalam Tatib DPRD Bolmong. Artinya,
pertemuan yang melibatkan Kadisparbud, Sekretaris Komisi III, dan beberapa
anggota DPRD Bolmong itu adalah rapat liar yang terlaksana karena pemaksaan dan
unjuk kekuasaan semata. Dan ketiga,
urusannya sama sekali tidak berkaitan dengan tanggung jawab, wewenang,
kewajiban, tugas, kerja, dan hak DPRD Bolmong dan anggotanya. Dengan demikian,
apapun yang terjadi di dalam ruangan Komisi III DPRD Bolmong yang menyebabkan
Kadisparbud melelehkan air mata, adalah peristiwa yang berkonsekwensi hukum
pribadi.
Maka, siapa pun pihak yang
keberatan—tidak hanya Kadisparbud—pantas membawa peristiwa itu ke ranah pidana
dan melaporkan ke Dewan kehormatan DPRD Bolmong. Di saat yang sama, anggota
DPRD yang menjadikan pin dan SK keanggotaan ‘’yang terhormatnya’’ sebagai alat
kesewenang-wenangan, lebih dari harus dibina dengan serius. Bila perlu, yang
bersangkutan di-PAW demi menyelamatkan muka partai dan lembaga DPRD yang
terhormat. Derajat preman jalanan lebih terhormat dari ‘’rampok’’ bersenjata
pin dan SK keanggotaan DPRD.
Karenanya, saya tidak melihat ada
satu pun alasan yang masuk akal, sahih, dan etis mempertahankan seorang anggota
DPRD yang melakukan pelanggaran seserius aksi yang diperanutamai Tonny
Tumbelaka.
Di luar itu, saya menyarankan yang
bersangkutan waspada dan berhati-hati. Ada perhitungan yang sedang
ditimbang-timbang penagihannya oleh sejumlah (banyak orang) terhadap ‘’penganiayaan’’
pada Kadisparbud Bolmong itu. Takarannya sederhana: kalau Tonny Tumbelaka boleh
menggunakan cara jalanan dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan, jangan
pernah menyalahkan jika ada pihak lain yang juga melakukan hal yang sama.
Coro Tonny, peringatan itu bukanlah
ancaman, melainkan sikap orang Mongondow yang menjunjung adab dan etika budaya
tinggi yang tak meluputkan kesantunan kendati dengan hati dididihi geram.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
Bolmong: Bolaang Mongondow; DPD:
Dewan Perwakilan Daerah; DPR: Dewan
Perwakilan Rakyat; DPRD: Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah; Kadis:
Kepala Dinas; Kadisparbud: Kepala
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan; LPJ:
Laporan Pertanggungjawaban; MPR:
Majelis Permusyawaratan Rakyat; PAW:
Pergantian Antar Waktu; PDIP: Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan; Ranperda:
Rancangan Peraturan Daerah; SK:
Surat Keputusan; SKPD: Satuan Kerja
Pemerintah Daerah; Tatib: Tata
Tertib; dan UU: Undang-undang.