TELEPON yang saya terima, satu hari pada 2010 lampau, tetap segar dalam
ingatan. Yang mengontak adalah Ahmad Alheid, kini PNS di Pemkab Boltim, yang
bertahun akrab dengan saya—dari masa menjadi pewarta hingga pindah ke dunia
korporasi—yang rumah orangtuanya selalu menjadi tempat menginap tiap kali saya
berkeliaran hingga Tombolikat.
Setelah bertukar sapa dan tawa,
Mat—demikian saya menyapa dia—menanyakan kapan saya (yang saat itu masih
bekerja di NPN) punya rencana perjalanan ke Boltim. Dia tahu saya rutin
mengunjungi area PT NMR yang sudah memasuki fase akhir penutupan operasi
tambang. Juga, beberapa hari sebelumnya, selintas saya menginformasikan dalam
waktu dekat ingin ke Boltim bertemu dengan Sehan Mokoagow.
Niatan mengontak dan bertemu Sehan Mokoagow
sederhana belaka. Pertama, tetap
menjaga tali silahturrahim. Kedua, mengingatkan dia, yang diusung PG
sebagai Cabup Boltim 2010-2015, agar mengubah model dan pendekatan kampanyenya
yang terlampau percaya diri. Walau, hasil sigi berbagai lembaga memang menempatkan
tingkat keterpilihannya di atas 80%.
Pembaca, tanpa menjelaskan konteks, tentu
Anda akan menganggap saya gila urusan karena cawe-cawe di Pilkada Boltim. Telepon berulang kali ke Sehan
Mokoagow, yang tentu karena kesibukannya tak pernah tersambung, serta upaya
bertemu, saya lakukan karena beberapa waktu sebelumnya kami sempat
mendiskusikan peluang emasnya menduduki kursi Bupati Boltim 2010-2015.
Realitas politik waktu itu sepenuhnya
berpihak pada Sehan Mokoagow. Dia diusung partai besar, berstatus sebagai Wabup
Bolmong (induk), berasal dari Boltim, dengan keluarga besar yang tersebar
merata dari perbatasan dengan Kabupaten Mitra, Kota Kotamobagu, dan Kabupaten
Bolsel. Kelemahannya cuma satu: Saking percaya dirinya, Sehan Mokoagow bahkan
yakin andai dipasangkan dengan tiang listrik, dia tetap terpilih sebagai
Bupati.
Barangkali dengan bercakap-cakap lewat
telepon atau bertemu langsung, saya bisa mengingatkan Sehan Mokoagow bahwa
dengan tetap bersahaja dan merendahkan hati, peluang emas kursi Bupati Boltim
lebih mudah diraih. Sayangnya, saat itu—di tengah gempita menuju
Pilkada—rupanya sungguh sulit bertemu dengan tokoh politik sepenting dia.
Mudah-mudahan ingatan saya tak silap, di
tengah sulitnya komunikasi dengan Sehan Mokoagow, saya menerima telepon dari
Mat Alheid itu, yang mempromosikan kandidat Bupati pesaing Sehan Mokoagow,
yaitu Sehan Landjar yang berpasangan dengan Medi Lensun sebagai Cawabup. Namun
Mat tidak meminta dukungan. Dia hanya memohon izin menghubungi kawan-kawan, kerabat,
tokoh-tokoh berpengaruh, dan kontak-kontak yang saya jalin cukup lama, untuk
memperkenalkan Sehan Landjar.
Mat tentu tidak lupa ‘’kecap politik’’ yang
dia guyurkan di kuping saya. Bahwa Sehan Landjar adalah tokoh idealis,
sederhana, mumpuni, dan kredibel, yang apabila terpilih sebagai Bupati, bakal
membawa Boltim sukses hingga langit ketujuh. Mat bahkan dengan rinci
menggambarkan kecerdasan politik, kemampunian kepemimpinan, kedasyatan orasi,
dan kerendahan hati Sehan Landjar yang melampaui tunduknya pohon tomat sarat
buah.
‘’Kecap Ahmad Alheid’’ yang sungguh memukau
saya beli dengan meng-iya-kan permohonan izinnya.
Saya tidak tahu seberapa efektif Mat
mengolah ‘’kecapnya’’. Yang jelas, beberapa kawan, kerabat, tokoh, dan
kontak-kontak saya di Boltim menghubungi dan menceritakan banyak hal luar biasa
tentang Eyang. Begitu luar biasanya hingga dua-tiga pekan sebelum Pilkada
dilaksanakan, saya sudah berkeyakinan Boltim akan dipimpin duet Sehan
Landjar-Medi Lensung. Dan nyatanya demikian yang terjadi.
Belakangan, saya sangat akrab dengan Eyang
dan Medi. Bahkan dengan Eyang, hingga tulisan ini dibuat, saya tak segan
menyatakan kedekatan kami bagai dua saudara—sekali pun dia barangkali tidak
merasa demikian. Akan halnya Mat Alheid dan teman-teman yang lain (termasuk Ahmad
Ishak—yang lebih dikenal dengan nama populernya, Matt Jabrik), setahu saya tetap berhubungan dengan Eyang.
Tentu relasi mereka kadang pasang-surut dan jauh-dekat, tetapi pasti baik-baik
saja karena tidak pernah ada hal negatif tentang Eyang yang mereka sampaikan.
Kalau hubungan antara orang-orang seperti
Ahmad Alheid atau Matt Jabrik yang relatif independen dan agak ‘’pemberontak’
dengan Eyang berlangsung tanpa dinamika, saya justru tak percaya mereka
baik-baik saja. Itu sebabnya, saya hanya menanggapi sambil lalu ketika seorang
kawan mengirimkan rekaman suara Bupati Boltim yang dengan meledak-ledak mencaci
Mat Alhaeid dan Matt Jabrik sebagai: “Orang Boltim murahan itu. Saya tahu orangnya, orang kampung goblok, sok
pintar.” Saya juga hanya tertawa karena pernyataan Eyang di depan sejumlah
wartawan ini, diimbuhi ‘’ancaman’’ meninju duo Mat dan Matt.
Di benak
saya, apa yang disampaikan Eyang itu sekadar akting. Dengan mengenal dekat
Eyang, kerap sulit buat saya membedakan kapan dia tampil sebagai politikus atau
aktor yang piawai memainkan benak publik dengan keterampilan aktingnya.
Ternyata
saya salah, karena Ahmad Alheid kemudian menanggapi tudingan berapi-api Eyang
dengan ‘’gugatan’’ yang dipublikasi Harian Radar
Bolmong, Kamis, 16 April 2015, dengan tajuk Surat Terbuka untuk Sehan Landjar. Saya menangkap kemarahan
yang mengelegak dalam tulisan ini. Mat Alheid bahkan lebih dari sekadar marah. Dia
sedang murka. Barangkali hal yang sama juga melanda Matt Jabrik, yang saya
yakin dengan cepat menjalar ke sejumlah orang di sekitar mereka, lalu berganda
menjadi bola salju, mengingat keduanya bukanlah sekadar anggota masyarakat
biasa.
Mat
Alheid adalah mantan Ketua IMM Sulut, jurnalis, dan politikus PAN. Sedang Matt
Jabrik adalah jurnalis yang secara informal ditokohkan oleh kalangan pewarta
generasi kini di Bolmong. Politikus seperti Eyang, yang masih berkeinginan
menduduki kursi Bupati untuk periode kedua, semestinya menghindar sejauh
mungkin bersilang-selisih dengan orang-orang seperti duo Mat dan Matt. Kecuali
dia sejenis politikus kapiran yang memang bersuka rela membakar investasi
sosial-politiknya.
Apa dikata, sekali lagi Eyang terpeleset
dan kali ini bukan sekadar kulit pisang. Dia terjerembab pada sejenis zat
lengket yang beracun, menyebar bagai virus, dan mudah terbakar. Tuduhannya
terhadap Mat Alheid dan Matt Jabrik yang tampaknya berasal dari sumber
‘’asbun’’ dan meletus karena provokasi para pewarta, kian memperbanyak
‘’tabungan kelemahan’’ yang tak henti dia produksi.
Sekalipun begitu, saya berharap dalam
urusan Mat dan Matt ini, Eyang tidak sekadar ‘’sesumbar’’. Sebagai tokoh
publik, seorang Bupati—saya selalu senang mendengar penegasannya, serius atau
sekadar gurauan, ‘’Babagini, Bupati
ini!’’—yang kata-katanya adalah harga diri, dia harus menjawab gugatan Mat
Alheid.
Eyang harus mampu menunjukkan dan
membeberkan bukti-bukti bahwa duo terduga itu memang menjadi sumber dan
penyebar rumor Bupati sudah menukar tapal batas Boltim-Mitra dengan iming-iming
jabatan Ketua DPC PDIP (yang ternyata juga sekadar ‘’pemberian harapan
palsu’’). Setelah itu, Eyang harus meninju duo Mat dan Matt, sebagaimana pernyataan
yang dia lontarkan dan direkam oleh para pewarta.
Jika Bupati Boltim tidak mampu menunjukkan
dan membeberkan bukti-bukti yang sudah dituntut Ahmad Alheid lewat surat
terbukanya; tentu alasan meninju Mat dan Matt dengan sendirinya gugur.
Konsekwensinya, sebagai laki-laki (frasa ini juga sering dilontarkan Eyang),
dia mesti meminta maaf secara terbuka. Bukankah sungguh memalukan bila urusan
ini didiamkan begitu saja, sementara publik terbahak-bahak sembari menuding dia
sekadar Bupati yang tukang fitnah. Sama dengan lelucon ‘’tambio politik’’ yang
sejak awal pekan ini beredar bersama foto Eyang tengah bersalaman dengan Ketua
Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo.
Sikap saya sendiri? Dengan kerendahan hati
sebagai orang yang tak sungkan mengumumkan kedekatan dengan Eyang pada orang
banyak, saya menyarankan sesegera mungkin dia meminta maaf—jika perlu dengan
rangkulan dan cipika-cipiki di depan para pewarta—pada Mat dan Matt. Rumor yang
membuat Eyang ‘’terlepas mulut’’ itu tidaklah berasal dari dua terduga ini,
sebab saya tahu persis dari mana dan siapa yang jadi muasalnya.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
Asbun: Asal Bunyi; Bolmong:
Bolaang Mongondow; Bolsel: Bolaang
Mongondow Selatan; Boltim: Bolaang
Mongondow Timur; Cabup: Calon Bupati;
Cawabup: Calon Wakil Bupati; DPC: Dewan Pimpinan Cabang; IMM: Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah; Mitra: Minahasa Tenggara; NMR: Newmont Minahasa Raya; NPN: Newmont Pasific Nusantara; PAN: Partai Amanat Nasional; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan; Pemkab: Pemerintah
Kabupaten; Perindo: Persatuan
Indonesia; PG: Partai Golkar; PNS: Pegawai Negeri Sipil; PT: Perseroan Terbatas; dan Wabup: Wakil Bupati.